Pengendalian Pandemi Vs Kebebasan Sipil

Pengendalian Pandemi Vs Kebebasan Sipil
(Dok. Unair)

PERANG melawan pandemi covid-1 9 makin berkobar. Presiden Joko Widodo optimistis akhir tahun pandemi ini tuntas. Setelah itu, Jokowi memprediksi wisata (utamanya) akan booming. Tentu saja, optimisme memang harus terus dijaga. Agar optimisme itu jadi kenyataan, selain terus berdoa, butuh ikhtiar yang lebih tangkas dan terukur tingkat keberhasilannya.

Hingga saat ini, gerak pemerintah masih belum bisa mengimbangi kecepatan penyebaran virus, yang pernah di istilahkan Gubernur Negara Bagian New York, seperti kereta peluru. Setelah meremehkan di awal pandemi, pemerintah kini menghadapi dilema. Apakah memenuhi saran pakar medis agar bertindak cepat untuk membatasi pergerakan sipil secara ketat dan tegas atau lebih mendengar saran pakar ekonomi-sosial yang menginginkan jangan ada pembatasan yang terlalu ketat agar ekonomi tidak drop dan menghindari gejolak sosial.

Gubernur DKI Anies Baswedan langsung bergerak cepat mengajukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hanya sehari setelah Peraturan Menteri Kesehatan resmi dikeluarkan.

Kepada menghambat penularan diperlukan tindakan mengekang dan membatasi pergerakan sipil. Sekolah dan kantor diliburkan, jam buka mal dibatasi, kapasitas angkut transportasi publik dibatasi, acara publik dan kerumunan dilarang, ibadah berjemaah ditiadakan, juga mencegah mudik serta sejenis lainnya.

Pada daerah yang sudah menerapkan PSBB, warga yang melanggar aturan ini terancam dikenai sanksi. Makin ketat pengekangan, makin besar peluang untuk keberhasilan memutus penularan. *Pengereman hasrat berkumpul dan mobilitas ini memang berat bagi manusia sebagai makhluk sosial (homo socius), tetapi kita mesti melihat sisi peluangnya. Keharusan work from home, bekerja dari rumah (jadarum), mempercepat optimalisasi pemanfaatan teknologi digital sebagai bagian dari kehidupan milenial yang bermartabat.

Mendadak ramai penyelenggaraan rapat virtual dengan berbagai aplikasi video conference yang banyak tersedia. Mal dan pasar jadi sepi, tetapi antaran barang lewat aplikasi ojek meningkat. Sederhananya, rutinitas kita berubah drastis seakan tatanan sosiobudaya- ekonomi mengalami kocok ulang. *Memang, tidak semua warga mampu melakukan pesanan kebutuhan makan tiap hari dengan aplikasi ojek. Gaji dan pendapatan warga secara agregat merosot, perusahaan mulai merumahkan karyawannya, dan pengangguran meningkat.

Pemerintah mencoba menambal dengan mengucurkan bantuan sosial, seperti dapur umum, kartu prakerja, operasi pasar, dan lain lain. Program ini dibiayai dengan menerbitkan surat utang negara.

Cek Artikel:  Herd-Covidiotity

Kalau situasi ini berlangsung lama, bisa muncul resistansi. Apalagi, bila kekangan pembatasan dinilai tak sebanding dengan hasil pengendalian pandemi. Ditambah kewalahan rumah sakit dan petugas medis karena jumlah pasien mengalir makin deras.

Kita sudah melihat betapa banyaknya kematian petugas medis. Tingkat kematiannya bisa 11% dari keseluruhan yang wafat resmi. Padahal, ini belum puncak; kita sudah terlalu banyak kehilangan ‘jenderal’ lapangan pemimpin perlawanan terhadap covid-19.

Positif bukan aib

Oleh karena itu, pembatasan sosial perlu diimbangi dengan percepatan uji tes massal. Presiden Jokowi berada di jalur yang benar ketika memerintahkan 10 ribu tes polymerase chain reaction (PCR) atau swab test per hari.

Kepada itu, perlu diperkuat fungsi laboratorium- laboratorium medis di Tanah Air, termasuk, di kampus-kampus, agar bisa menuntaskan target ini. Kepmenkes No HK.01.07/Menkes/214/2020 menunjuk jejaring laboratorium pemeriksaan covid-19. Jumlahnya puluhan di 34 provinsi, baik milik Kemenkes maupun RS dan universitas.

Meski kapasitas terpasang, mereka masih di bawah 10 ribu tes per hari, perlu dipacu. Kepada itu, peningkatan tenaga profesional terampil dan penyediaan instrumennya, terutama reagen (seperangkat bahan untuk pemeriksaan PCR), perlu dipercepat.

Penyebaran fasilitas uji tes ini akan memancing warga untuk melakukan uji tes sendiri, sepanjang biayanya terjangkau. *Penduduk bisa mendatangi fasilitas layanan yang sudah mendapat izin uji tes, membayar sendiri.

Memperpendek antrean selama ini. Asal reagen yang diperlukan untuk uji tes dalam skala besar-besaran tersedia segera.

Hasil uji tes mandiri oleh warga ini, selanjutnya dimasukkan ke pusat data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 sehingga tergambarkan pemetaan secara nasional, gabungan hasil uji pemerintah, dan uji tes mandiri warga.

Bila dilihat dari statistik Gugus Tugas, penderita positif covid-19 menonjol di kota-kota besar. Terutama ibu kota negara dan provinsi. Di Nusa Jawa, yang dominan di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya. Seluruhnya daerah ‘merah’.

Bisa saja ini fakta riil karena penduduknya padat dan mobilitas orang lebih aktif.

Cek Artikel:  Geopolitik Sistem Pembayaran Mendunia akibat Perang Rusia-Ukraina

Tetapi, bisa jadi juga karena tesnya kebanyakan dilakukan di kota-kota besar itu. Yang fasilitas kesehatannya lebih memadai daripada di kota-kota kecil atau kecamatan. Kesenjangan pemerataan tes ini perlu segera ditutupi, juga dengan wilayah luar Nusa Jawa.

Bagaimana bila dari hasil tes ternyata positif atau terpapar? Tentu harus diisolasi atau diasingkan 14 hari sebagaimana yang sudah di terapkan akhir-akhir ini. Kepada itu, perlu dipilih kebijakan, apakah si positif perlu diumumkan di lingkungannya atau tidak.

Bila diumumkan, demi melindungi tetanggatetangganya, dibuat skema yang tidak menstigma si positif karena mengidap covid-19 itu bukanlah aib, melainkan musibah yang tak seorang pun menginginkannya. Sudah muncul banyak semangat gotong royong untuk membantu si positif dan keluarganya yang mengisolasi diri, tetapi tetap perlu bantuan resmi dari pemerintah agar menjamin kebutuhan dasarnya, sesuai UU Kekarantinaan Kesehatan.

Tindakan terhadap targeted random (acak terpilih) ini memang mengurangi kebebasan. Tak hanya orang yang terinfeksi, baik yang sudah jatuh sakit maupun yang belum menampakkan gejala dan masih kelihatan sehat, tetapi juga kemungkinan orang yang berinteraksi dengan mereka. Teladan yang sudah terjadi, bila ada penumpang kapal positif terpapar, ketika mendarat, seluruh penumpang dan awak kapalnya harus menjalani prosedur pemeriksaan dan isolasi ketat agar tidak menularkan virus yang mungkin dibawanya dari kapal ke keluarga.

Pengetatan dan pemilahan

Perlu terus diingat, virus ini sangat menular dan fatal pada kelompok rentan (usia lebih 60 tahun, diabetes, gagal ginjal kronis, dan penyakit kronis lainnya), serta memiliki rentang waktu penularan yang panjang. Bisa 10 hingga 14 hari, tetapi bisa juga lebih lama.

Penularan ‘sembunyi-sembunyi’ dapat terjadi selama masa inkubasi ini, tanpa menimbulkan gejala, tidak tampak sakit. Bahkan, mutasinya sangat cepat. Dari pemicu awal gangguan pernapasan, kini berkembang ke diare, morbili (campak), gangguan mata, juga gangguan otak. Makin sulit ditebak.

Karena itulah, harus tegas pembatasan atau penghentian sementara bus-bus dan kereta api serta pesawat. Setidaknya kapasitas angkutnya dibatasi dengan prosedur ketat.

Cek Artikel:  Demokrasi dan Kebenaran

Karena pada kerumunan, ketika orang-orang di dalamnya berdekatan dalam waktu cukup lama, risiko terjadinya penularan sangat besar.

Kita perlu belajar dari kejadian di kapal pesiar dan kapal induk yang jadi ‘kolam’ penularan massal covid-19. Maka, semestinya perlu pengekangan kebebasan bergerak secara massal dan ketat.

Restriksi moda transportasi umum antarwilayah memang harus ketat dan massal.

Tetapi, untuk PSBB antarwilayah tidak harus serentak bersamaan. Tergantung pada tingkat kedaruratan di wilayah itu.

Restriksi massal dengan beberapa pengecualian ini jauh lebih ideal daripada menerapkan hukum karantina total secara serentak dan seketika, yakni menarget spot atau titik yang benar-benar jadi episentrum penularan. Metode mendeteksinya, sekali lagi, dengan tes massal di wilayah yang ditarget (targeted random).

Diperlukan pemetaan dan pengawasan pada seluruh populasi, untuk mengidentifi kasi siapa saja yang masuk kategori PDP dan ODP. Kepada itu, uji tes secara massal dengan rasio yang memadai.

Menurut worldometer.com/coronavirus, per 18 April, Indonesia tergolong negara paling sedikit melakukan uji tes, dengan rasio 136 orang per 1 juta populasi. Sebagai pembanding, Filipina 440, Thailand 1.440, Vietnam 2.119, Taiwan 2.167, Malaysia 2.988, Korsel 10.659, dan Singapura 16.203.

Dengan memetakan dan mengidentifi kasi siapa saja yang paling berpotensi untuk menularkan infeksi, tindakan pencegahan bisa lebih akurat. Siapa saja yang sangat berisiko sehingga harus diisolasi atau dikarantina. Siapa yang tidak begitu berisiko sehingga boleh tetap beraktivitas secara terbatas dan harus rutin melakukan pengecekan. Dan, siapa saja yang dinyatakan sehat, sehingga boleh beraktivitas bebas, tetapi tetap dengan kewaspadaan protokol kesehatan.

Penilaian kadar risiko ini bisa dibuat menjadi empat kategori, yakni merah, oranye, kuning, dan hijau. Dengan cara ini, bisa saja dibuat kebijakan, misalnya, orang dengan kategori hijau (sehat dan tidak berisiko menularkan) boleh kembali bekerja di luar rumah (ke kantor, pasar, dan angkutan umum).

Dengan demikian, pemerintah bisa memadukan kebijakan antara pembatasan ketat untuk mencegah penularan dan kebijakan relaksasi untuk menjaga agar aktivitas ekonomi dan sosial tidak lumpuh layu. Semoga.

Mungkin Anda Menyukai