Pengaruh Kebuntuan Gencatan Senjata Hamas-Israel

Dampak Kebuntuan Gencatan Senjata Hamas-Israel
Ilustrasi MI(MI/SENO)

PERUNDINGAN gencatan senjata tidak langsung antara Hamas dan Israel–dimediasi Amerika Perkumpulan, Mesir, dan Qatar–selama dua hari (15-16 Agustus) di Doha, Qatar, belum membuahkan hasil. Hamas absen dalam perundingan yang dihadiri wakil Israel. Tetapi, Hamas diberi laporan ringkas tentang progres negosiasi. Kendati AS menyatakan perundingan berjalan serius dan konstruktif, dan tinggal menyelesaikan masalah mekanisme implementasi dari proposal gencatan senjata yang diajukan AS pada Mei silam, nyatanya masih ada kendala serius.

Proposal itu terdiri dari tiga fase, yang masing-masing berlangsung selama enam minggu. Intinya, kalau proposal gencatan senjata berjalan sesuai harapan, militer Israel (IDF) akan mundur dari seluruh Gaza, bantuan kemanusiaan internasional leluasa memasuki Gaza, dan ribuan tahanan Palestina dibebaskan dari penjara-penjara Israel dengan imbalan Hamas membebaskan seluruh 111 sandera Yahudi, termasuk jenazah prajurit IDF dan sandera yang tewas. Menurut rencana, perundingan lanjutan akan dilaksanakan pekan ini.

Perundingan dilangsungkan di tengah ancaman Iran akan membalas darah Ismail Haniyeh, Kepala Biro Politik Hamas, yang diduga dibunuh Israel di ibu kota Iran, Teheran, pada 31 Juli. Hezbollah, milisi bersenjata pro-Iran di Libanon, juga bersiap melancarkan serangan besar ke Israel untuk membalas pembunuhan Fuad Shukr, komandan senior Hezbollah, di Beirut, ibu kota Libanon, pada 30 Juli. Kendati pembalasan Iran dan Hezbollah nyaris ‘pasti’ untuk mengimbangi kekuatan deterrence Israel, dunia meyakini pembalasan keduanya dapat dicegah bila gencatan senjata Hamas-Israel bisa terwujud secepatnya.

Baca juga : Paus Kembal Panggilkan Perdamaian di Palestina dan Ukraina

 

Unsur penghalang

Kegagalan perundingan disebabkan Israel menambahkan dua klausul ke dalam proposal, yaitu, pertama, Israel harus mempertahankan kehadiran IDF di Koridor Philadelphi, zona penyanggah antara Rafa dan Mesir. Hamas tegas menolak tuntutan Israel itu. Sesuai perjanjian Mesir-Israel pada 2005, koridor tersebut akan dikelola Hamas yang sejak 2007 memerintah Gaza. Koridor itu satu-satunya akses Hamas ke dunia luar. Israel ingin mengamendemen perjanjian itu karena Rafah di selatan Gaza dituduh dimanfaatkan Hamas untuk menyelundupkan senjata dari Mesir. Kairo menolak keinginan Israel demi memelihara pengaruhnya atas Hamas.

Cek Artikel:  Domino Perang Gaza dan Masa Depan Timur Tengah

Baca juga : Dunia Desak Perdamaian Kekal di Palestina

Kedua, Israel ingin mempertahankan sabuk buatannya yang membelah Gaza utara dan selatan. Tujuannya mencegah masuknya senjata ke Gaza utara yang berbatasan dengan Israel selatan. Tentu saja serta-merta Hamas menolak keinginan Israel ini. Pasalnya, bila IDF tetap hadir di Gaza, penjajahan Israel tetap berlangsung dan cita-cita kemerdekaan Palestina tidak akan terwujud. Apalagi, entitas Palestina yang akan mengelola Gaza harus dengan persetujuan Israel. Memang ini akal-akalan Israel untuk mencegah two-state solution yang telah menjadi konsensus internasional.

Upaya mencegah berdirinya negara Palestina dengan teritori Tepi Barat, Gaza, dan Jerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina sesuai Resolusi DK PBB No 242, 338, 181, dapat juga kita saksikan melalui operasi IDF di Tepi Barat sejak meletus perang Israel-Hamas. Bahkan, pemukim Yahudi bersenjata, khususnya Batalion Nehzat Yehuda, ikut menyerang warga Palestina di Tepi Barat guna merampas tanah mereka.

Pada saat bersamaan, pemimpin Partai Zionis Religius sekaligus Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, mengeluarkan kebijakan pembangunan permukiman Yahudi di wilayah pendudukan agar cita-cita berdirinya negara Palestina kehilangan relevansi ketika tak ada lagi tanah bagi negara Palestina.

Baca juga : Pasca Resolusi PBB, Lodewijk: Kita Harapkan Konflik Israel-Palestina Segera Gencatan Senjata

Sikap kepala batu PM Israel Benjamin Netanyahu untuk mempertahankan IDF di Gaza tak bisa dilepaskan dari dua hal berikut. Pertama, mundurnya Israel dari Gaza tanpa mencapai total victory atas Hamas sebagai tujuan perangnya akan dilihat sebagai kekalahan Israel. Ini akan meruntuhkan pemerintahannya karena, selain Smotrich, pemimpin partai ekstrem kanan lain, yakni Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir, menyatakan akan mundur dari kabinet bila IDF ditarik pulang. Kedua, karier politik Netanyahu akan berakhir di penjara karena terlilit kasus korupsi dan kelalaiannya menjaga teritori Israel.

 

Sikap Hamas

Baca juga : Beri Solusi Adil Atasi Konflik Israel-Palestina

Hamas, yang kini dipimpin Yahya Sinwar menggantikan Ismail Haniyeh yang lebih moderat dan pragmatis, berada di atas angin dalam perundingan. Tuntutannya agar IDF mundur sepenuhnya dari Gaza sejalan dengan proposal yang dikatakan Presiden AS Joe Biden sebagai milik Israel. Proposal itu juga didukung Resolusi DK PBB 2735 yang diprakarsai AS.

Cek Artikel:  Greenflation dan Kompleksitas Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia

Sementara itu, semua pakar militer dunia, termasuk Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant, berpendapat mustahil Israel bisa meraih total victory karena Hamas adalah sebuah ideologi yang berakar di kalangan Palestina. AS menyatakan IDF telah mencapai titik batas sehingga meneruskan perang merupakan tindakan konyol. Prancis, Inggris, Jerman, dan Italia juga berbagi pandangan dengan AS. Tak mengherankan jika para sekutu Israel ini menekan Netanyahu untuk segera menyetujui proposal itu tanpa ditunda.

Dalam konteks pemilu AS pada November mendatang, prospek kemenangan capres Kamala Harris dari Partai Demokrat sangat bergantung pada suara konstituen antiperang. Mereka juga menuntut penghentian bantuan militer AS terhadap Israel yang digunakan untuk membunuh warga sipil Palestina. Di bulan kesepuluh ini, perang telah menewaskan lebih dari 40 ribu warga Gaza. Di Tepi Barat, hampir 700 orang tewas. Buat membantu Harris, Biden harus menggunakan otoritasnya untuk mengakhiri perang secepatnya.

Dus, menekan Hamas dengan lebih banyak membunuh warga Palestina justru kontraproduktif bagi Israel. Apalagi, akibat genosida terhadap warga Gaza–sebagaimana dikatakan Mahkamah Dunia (ICJ)–membuat Israel terisolasi saat sumber daya militer, ekonomi, dan politiknya kian tergerus. ICJ juga memutuskan pembangunan permukiman Yahudi di daerah pendudukan adalah ilegal dan harus dihentikan segera. Tekanan terhadap Israel tidak sampai di situ. Kini dunia menanti surat perintah penangkapan (arrest warrant) dari Mahkamah Kriminal Dunia (ICC) untuk Netanyahu dan Gallant, bersama tiga pemimpin Hamas lainnya, atas permintaan Ketua ICC Karim Khan.

Di dalam negeri, tekanan publik agar Netanyahu segera deal dengan Hamas semakin besar. Di utara, Israel harus menghadapi serangan Hezbollah yang menyedot kekuatan IDF. Sementara itu, tidak ada lagi kartu tawar (bargaining chip) Israel yang tersedia untuk menekan Hamas. Hamas dalam posisi nothing to lose.

Di pihak lain, warga Palestina di seluruh wilayah pendudukan mendukung posisi Hamas, termasuk Fatah pimpinan Mahmoud Abbas yang berbasis di Tepi Barat. Dalam perundingan rekonsiliasi–bersama 12 faksi Palestina lainnya–di Beijing, Tiongkok, Hamas-Fatah sepakat membentuk Pemerintahan Persatuan Nasional Sementara untuk menghadapi Israel. Fatah harus berdamai dengan Hamas karena Israel tidak lagi mengakui eksistensinya sebagai entitas yang berkuasa di Tepi Barat sesuai Kesepakatan Oslo 1993.

Cek Artikel:  Agenda Busuk di Balik Isu Depresi dalam Pendidikan Spesialis

 

Ancaman Iran dan Hezbollah

Kendati pemimpin tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei dan pemimpin Hezbollah Hassan Nasrullah telah memastikan akan menyerang Israel, janji itu belum dilaksanakan. Sangat mungkin, serangan balasan yang dijanjikan itu sengaja ditunda untuk membuka kesempatan Hamas-Israel mencapai gencatan senjata.

Argumen inilah yang mendorong AS dan Barat berkejaran dengan waktu untuk mewujudkan gencatan senjata secepatnya. Mereka yakin balasan Iran kali ini akan lebih keras ketimbang yang dilakukan ketika meluncurkan ratusan drone, rudal balistik, dan rudal jelajah ke Israel pada April silam guna membalas serangan Israel ke konsulatnya di Damaskus, yang menewaskan dua jenderal Garda Revolusi Iran.

Israel memang keterlaluan. Membunuh tamu negara di wilayah tuan rumah melanggar hukum internasional, Piagam PBB, dan kedaulatan Iran, sehingga pembelaan diri dibenarkan hukum internasional. Netanyahu tadinya berpikir menyerang Haniyeh di Teheran dan Shukr di Beirut akan memprovokasi Iran dan Hezbollah untuk membalas secara membabi buta. Dengan demikian, Israel dapat menggeser fokus internasional dari perang Hamas-Israel menjadi perang Israel versus Iran bersama proksinya. Dus, Israel akan bertransformasi dari pelaku kejahatan perang di Gaza menjadi korban kejahatan Iran dan proksinya.

Tetapi, skenario itu lagi-lagi gagal karena Iran cepat memahami motif Israel. Pertimbangan lain, Iran harus memastikan serangannya bersifat terbatas dan terukur untuk mencegah meletusnya perang regional yang meluas. Serangan yang terbatas, yang hanya dimaksudkan untuk menyelamatkan muka Iran dan bisa diterima AS dan sekutu Barat, diharapkan tidak memprovokasi Israel untuk kembali membalas.

Bisakah Netanyahu keluar dari situasi sulit yang diciptakannya sendiri? Apakah ia akan deal dengan Sinwar, arsitek serangan 7 Oktober? Kelihatannya tak banyak lagi ruang dan waktu yang tersedia baginya untuk bermanuver.

Mungkin Anda Menyukai