Pengamat Seleksi Calon Personil Kompolnas sudah Janggal Sejak Awal

Pengamat: Seleksi Calon Anggota Kompolnas sudah Janggal Sejak Awal
Menko Polhukam Hadi Tjahjanto (tengah) bersama Pansel Kompolnas.(ANTARA FOTO/ Rivan Awal Lingga)

INDONESIA Police Watch (IPW) menilai bahwa seleksi calon anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) terdapat banyak permasalahan. Hal itu diketahui dari beberapa pihak yang merasa keberatan terkait dengan hasil seleksi calon anggota.

“Seleksi calon Kompolnas ini saya melihat banyak masalah. Yang saya tahu ada 3 orang kecewa dan keberatan dengan hasil seleksi. Terdapat dua kemungkinan, karena memang tidak lolos jadi kecewa, namun ada juga kecewa dengan argumentasi yang cukup,” kata Ketua IPW Sugeng Kokoh Santoso saat dihubungi, Kamis (26/9).

Menurut Sugeng, dengan adanya tiga orang yang merasa keberatan dengan keputusan hasil seleksi calon anggota Kompolnas ini, maka permintaan transparansi dari ketiga pihak tersebut harus direspon dan dipenuhi oleh pihak panitia seleksi (Pansel).

Baca juga : Pengamat Minta Polri Transparan soal Pengadaan Gas Air Mata

Cek Artikel:  Korban Kasus Penyekapan di Jaktim Ngaku Disuruh Makan Batu hingga Jual Ginjal untuk Bayar Utang

Dia juga mendorong agar presiden dapat memerintahkan Pansel Kompolnas untuk transparan terkait dengan proses seleksi yang dilakukan.

“Transparansi ini dilakukan agar tidak menimbulkan polemik yang dapat menyudutkan pemerintah. Antara lain bahwa para calon yang lulus ini pesanan dan Pansel ini bekerja tidak profesional,” ujarnya.

Terkait menggugat ke jalur hukum, Sugeng mengatakan bahwa pihak yang merasa dirugikan tersebut tentu bisa membawa hal yang membuat keberatan itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Baca juga : Kompolnas Pantau Laporan Terhadap Aep dan Dede oleh 7 Terpidana Kasus Vina

“Tentu sangat bisa (membawa ke PTUN), tuturnya.

Dihubungi terpisah, Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menyebut bahwa kejanggalan dalam seleksi calon anggota Kompolnas sudah terlihat sejak awal. Kejanggalan itu terlihat dari adanya pembagian antara Ahli Kepolisian dan Tokoh Masyarakat yang merujuk Perpres 17 tahun 2011.

Cek Artikel:  Tahanan Ditemukan Tewas di Dalam Lapas Cipinang, Diduga Nyeri

Menurutnya, dengan adanya persyaratan yang diminta Pansel dan adanya dikotomi pakar kepolisian dengan tokoh masyarakat itu malah akan mempersempit partisipasi masyarakat yang hendak mendaftar seleksi Kompolnas.

Baca juga : Kuasa Hukum Pegi tak Khawatir Polisi Keluarkan Sprindik Baru Kasus Pembunuhan Vina

“Kriteria pakar kepolisian itu apa merujuk pada pengalaman atau keilmuan? Demikian juga dengan tokoh masyarakat, siapa yang disebut tokoh masyarakat? Ini sejak awal sudah ada kejanggalan,” kata Bambang.

Padahal, kata Bambang, yang terpenting untuk menjadi anggota Kompolnas idealnya adalah orang-orang yang benar-benar memahami dan mengerti harapan masyarakat pada Polri. Tentunya, itu juga harus ditunjukkan dari rekam jejak dalam isu-isu kepolisian.

Cek Artikel:  Calon Dokter-Perawat Diminta Buka Hijab di RS Medistra, Dirjen HAM: Cederai Toleransi

“Apa fungsinya mewakili unsur masyarakat bila tak pernah memiliki rekam jejak keberpihakan pada masyarakat bila berhadapan dengan polisi? Demikian juga, tak ada jaminan seorang mantan personel kepolisian bisa menjadi pengawas yang independen sebagai anggota Kompolnas,” ujarnya.

Oleh karena itu, menurutnya, dikotomi pakar kepolisian dan unsur masyarakat itu harusnya dihilangkan. Karena nantinya pun keputusan akan ada di Presiden.

“Dengan adanya perubahan status ini dampaknya akan memunculkan asumsi memang ada indikasi nama-nama titipan dan memaksakan nama seseorang untuk masuk 12 besar. Karena sudah ada 3 nama yang kemungkinan besar didorong untuk calon jadi dari unsur pakar kepolisian. 2 purnawirawan Polri dan 1 dosen STIK,” tuturnya. (P-5)

 

Mungkin Anda Menyukai