Pengamat Proses Seleksi Pimpinan KPK hanya Bentuk Kompromi Politik

Pengamat: Proses Seleksi Pimpinan KPK hanya Bentuk Kompromi Politik
Logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung Merah Putih, Rasuna Said, Jakarta.(MI/Susanto)

SERETARIS Jenderal Transparansi Global Indonesia Anggaranng Widoyoko menegaskan bahwa proses seleksi pimpinan dan dewan pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya bentuk kompromi politik bukan profesionalitas.

“Jangan sampai pansel membuat KPK bunuh diri berkali-kali dan justru menghadirkan ‘boneka baru’ untuk jadi alat politik rezim ke depan”, ungkap Anggaranng, Kamis (12/9).

Panitia seleksi (Pansel) calon pimpinan (capim) KPK telah mengumumkan 20 nama yang lolos profile assessment. Mereka akan mengikuti tahapan tes berikutnya, yakni wawancara serta tes kesehatan jasmani dan rohani.

Baca juga : Pelanggaran Etik Nurul Ghufron jadi Catatan Komisi III DPR

Anggaranng mengatakan dari 20 kandidat Capim dan Dewas KPK yang lolos seleksi hanya menunjukkan keterwakilan saja tetapi tidak menyasar pada integritas, kemampuan dan keberpihakan pada agenda pemberantasan korupsi.

Cek Artikel:  Golkar Bantah Interaksi Jokowi dan Prabowo Retak Akibat Parpol Berbeda Pilihan di Pilkada

Sementara itu, Ketua PBHI sekaligus mewakili Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi, Julius Ibrani menyebut kinerja Pansel perlu diapresiasi mengingat tidak meloloskan Nurul Ghufron.

Tetapi selanjutnya, Pansel seharusnya transparan dalam berbagai hal, dalam segi keterbukaan timeline, dan alasan mengapa meloloskan kandidat dengan rekam jejak bermasalah. Pansel seharusnya berpihak pada kepentingan publik, bukan titipan elite.

“Kedua puluh nama kandidat Capim-Dewas yang diloloskan harus diperiksa Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) karena banyak dari pada kandidat yang kenaikan harta kekayaannya tidak wajar. Selain itu, masih ada nama-nama dengan rekam jejak kinerja buruk yang korup, harusnya dicoret sejak awal proses,”tegasnya. (P-5)

Mungkin Anda Menyukai