Pengamat Ketahanan Daya Indonesia Dekati Lampu Merah

Pengamat: Ketahanan Energi Indonesia Dekati ‘Lampu Merah’
Konsumen antre mengisi BBM di SPBU wilayah Serpong, Tangerang Selatan(MI/AGUNG WIBOWO)

 

 

Baca juga : Tingkatkan Suplai, Pertamina Patra Niaga Operasikan 3 Terminal LPG Baru

INDONESIA dinilai mesti mawas diri perihal ketahanan energi nasional. Asal Mula, boleh dibilang kondisi ketahanan energi dalam negeri berada dalam kondisi yang rentan. Pasokan minyak dan gas, misalnya, mayoritas berasal dari impor. Padahal keduanya merupakan komponen yang amat penting.

“Jadi sebetulnya ketahanan energi kita itu dalam kondisi yang sudah mendekati lampu merah. Bukan hanya lampu kuning, tapi lampu kuning mendekati lampu merah,” ujar Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro dalam acara bincang-bincang bertajuk Dayazing Tomorrow: Menjawab Tantangan Transformasi Daya Menuju Net Zero Emission, Jakarta, Selasa (10/9).

Baca juga : Pertamina: Harga BBM dan Gas Meningkat Tajam, Beban Subsidi Pemerintah Rp9.000-Rp11.000 per liter

Cek Artikel:  Keterisian Penumpang KA Daop 7 Tembus 100 saat Libur Maulid

Dia mencontohkan, sekitar dua dekade lalu saat LPG diperkenalkan ke masyarakat luas, tingkat konsumsi LPG masih berada di bawah 1 juta metrik ton per tahun. Sementara kapasitas produksi gas yang dimiliki berada di angka 1,8 juta metrik ton.

Seiring berjalannya waktu, penggunaan LPG kian masif. Konsumsi LPG kian meningkat, bahkan menembus 10 juta metrik ton per tahun. Sayangnya, peningkatan konsumsi tersebut tak diikuti dengan peningkatan kapasitas produksi.

“Sekarang ini sekitar 75-80% LPG kita itu impor dari dua kawasan, 45% dari Amerika Perkumpulan, 55% dari Timur Tengah,” jelas Komaidi.

Baca juga : Negara Hadir! Pemerintah Bayar Kompensasi Rp 64.5 T, Perkuat Arus Kas Pertamina, Perlindungan Daya Beli Masyarakat

Cek Artikel:  Faisal Basri adalah Inspirasi bagi Para Peneliti Ekonomi Muda

Kerentanan energi juga dimiliki Indonesia dari sisi minyak. Indonesia saat ini setidaknya mengimpor 1,2 juta barel minyak per hari dalam bentuk minyak mentah dan produk untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Impor itu untuk menambal kemampuan produksi minyak dalam negeri yang hanya 600 ribu barel per hari. Sementara konsumsi minyak per hari di Indonesia mencapai 1,6 juta barel per hari.

Apabila terdapat gangguan dalam distribusi minyak, kata Komaidi, maka Indonesia akan mengalami kelangkaan. “100% port kita itu impornya lewat Singapura. Seringkali saya sampaikan ke teman-teman BIN, ke teman-teman militer, era perang ke depan, misalnya Malaysia mau invasi ke Indonesia, itu sebetulnya tidak perlu datang ke Indonesia pesawatnya. Cukup duduk di Singapura selama 30 hari, Indonesia sudah habis,” terang Komaidi.

Cek Artikel:  Bahlil Lahadalia Izin Pengelolaan Tambang PBNU sudah Beres

“Itu karena cadangan operasional minyak kita hanya 25 hari. Jadi BBM itu cuma 25 hari. Itu pun stoknya Pertamina yang belum dijual, bukan punya negara. Maka apa yang akan terjadi dalam 30 hari? Indonesia sudah tidak punya bahan energi,” tambahnya.

Ketiadaan energi, lanjut Komaidi, akan membuat kegaduhan pada aspek sosial dan ekonomi. Itu karena berbagai aktivitas dan mobilitas membutuhkan energi, utamanya minyak yang masih menjadi tumpuan. (Mir/M-4)

Mungkin Anda Menyukai