
GENAP 80 tahun Republik Indonesia berdiri. Sebuah bangsa yang terbentuk berkat peluh dan semangat juang para pendahulu. Dalam kisah hidupnya, memang Enggak melulu bicara kegembiraan. Eksis duka dan lara yang sesekali menyelinap.
Ini merupakan keniscayaan bagi bangsa yang sedang begelut dengan usaha kemapanannya. Enggak mudah menjadi suatu bangsa yang Independen. Pelbagai krisis multidimensional kerap datang dan pergi.
Eksis yang Dapat ditanggulangi dengan segera, Eksis pula yang bak penyakit kronis yang membutuhkan penanganan intensif berjangka waktu panjang. Sangat Awal Kepada menyebut republik ini sudah merdeka 100% seperti yang diteriakkan oleh Tan Malaka dalam risalahnya, Tetapi bukan Enggak mungkin negara ini menjadi salah satu kekuatan yang dikagumi negara lain di seluruh penjuru dunia.
Setidaknya, Eksis dua agenda yang Batal diselesaikan oleh pemangku kebijakan negeri ini. Dua ini tentu Lagi kurang, Apabila menengok pada masalah lain yang Enggak kalah urgen dibicarakan. Bidang stabilitas sosial dan pendidikan adalah dua di antara yang banyak itu.
Mari kita berpikir logis, bahwa dua bidang itu sesungguhnya adalah dua sokoguru Kepada membedah aneka ketimpangan yang Lagi membekap negeri ini.
AKAR RUMPUT
Pemberitaan demi pemberitaan yang tersiar belakangan ini, agaknya cukup menyentak relung kesadaran kita. Betapa Enggak, Distrik Pati yang sebelumnya terkenal karena keramahan penduduknya, dengan sungging senyum yang indah dan bersahaja, belakangan menjadi garang dan gahar bicara tentang pemakzulan kepala daerah.
Dalam struktur budaya Jawa, ini adalah anomali yang jarang ditemukan dalam sejarah. Perubahan sikap Kaum Pati menimbulkan kegoncangan tersendiri. Rakyat kebanyakan yang hanya dianggap sebagai mayoritas Tenang, hanya karena satu atau dua pemantik, dapat merubah diri menjadi barisan laskar yang siap meruntuhkan kewibawaan penguasa.
Ini bukan pemandangan yang elok bagi negeri demokratis. Bukan pula sesuatu yang Layak dipersalahkan. Adalah suatu kearifan Kepada membaca kasus ini secara lebih komprehensif. Kekuatan rakyat yang dihadapkan dengan kepentingan penguasa, memang selalu menjadi pembicaraan yang hangat dalam sejarah dan budaya Jawa.
Ingatan kita tentu Lagi segar, dengan lakon pewayangan Petruk dadi Ratu, di mana sesekali rakyat jelata mempunyai kans Kepada menjadi penguasa. Petruk, tokoh punakawan, yang sehari-hari hanya dikenal sebagai abdi para ksatria, karena kekecewaannya pada para penguasa, dapat berubah menjadi seorang raja.
WAKILI KERESAHAN
Ya, rakyat Biasa adalah rakyat Biasa, Tetapi apabila mereka mereka tersakiti, bukan Enggak mungkin mereka akan bertindak sewenang-wenang. Raja Petruk mempunyai kekuatan tak tertandingi, ia mendapat wahyu keprabon yang Bisa mengalahkan kekuatan-kekuatan para ksatria yang biasanya tampil memukau dengan ajian dan pusakanya. Sejatinya, Petruk mewakili keresahan rakyat yang Batal tersampaikan, karena takut dan khawatir Apabila menegur penguasa.
Kezaliman penguasa yang kelewat batas, Malah memangggil keberanian itu, menjadi sesuatu dorongan besar akan perubahan sosial. Sekalian kalangan tentu perlu memaknai kemerdekaan Indonesia dengan bijak. Kita jadikan kasus Pati sebagai bahan muhasabah, agar para pihak senantiasa menahan diri. Pemimpin harus Dapat menguasai diri dalam memegang amanahnya, agar Enggak sembarangan dalam berujar, bertindak atau memutuskan sesuatu.
Rakyat pun demikian, hendaknya menggunakan kebebasan berekspresi dalam tahap yang wajar. Saluran komunikasi harus terjaga dengan Bagus, agar Selaras mendasari hubungannya.
KECAPAKAN PENDIDIKAN
Lain halnya dengan bidang pendidikan, ini juga menjadi masalah yang krusial. Kemerdekaan hakiki, bukan hanya tentang pembangunan berskala luas, yang melibatkan beton dan aksesibilitas ekonomi. Ini juga menyangkut bagaimana membangun Kepribadian dan mental sebagai bangsa yang berperadaban luhur.
Eksis kebanggaan, haibah dan kemandirian di dalamnya. Masalah ini hendaknya selesai di tempa di ruang pendidikan. Kahlil Gibran (1883-1931), sastrawan Libanon, sempat berujar bahwa anak-anak adalah anak panah, yang sewaktu-waktu akan terlepas dari busurnya. Ungkapan ini Lagi perlu dimaknai lebih lanjut.
Bagaimana kita siap melepaskan anak panah, tatkala mata panah itu Lagi tumpul, tanpa Mempunyai ketajaman yang berarti. Tumpul ini harusnya terlebih dahulu diasah oleh kecakapan pendidikan, kelembutan ajaran budi dan keberanian bersuara, di mana ketiganya hanya dapat diperoleh di ruang sekolah dan kuliah.
Akses pendidikan harus ditata dengan seksama. Segenap pembaruan, termasuk aksesibilitas digital Kepada pembelajaran, sudah harus dinikmati di ruang kelas. Ini merupakan keharusan yang Enggak Dapat ditawar, mengingat era digital semakin melingkupi kehidupan kita. Peremajaan ini memang membutuhkan modal yang Enggak sedikit, Tetapi kita perlu Menurunkan kepercayaan di langkah itu. Pendidikan berbasis kemajuan teknologi informasi adalah perangkat belajar yang solutif di masa kini.
PERAN PENGAJAR
“Segalanya tentu Enggak Dapat diserahkan ke mesin” – begitu menurut penggerutu pendidikan. Eksis beberapa ruang yang Enggak Dapat ditawarkan teknologi, seperti bagaimana Metode membentuk Kepribadian bijaksana. Di sini peran pengajaran Religi bagi siswa dan mahasiswa. Di tataran perguruan tinggi, pemaknaan Religi hendaknya menyesuaikan dengan pola pokir mahasiswa.
Langgam kurikulum hendaknya sudah disistematisasikan dengan proporsional, agar berdampak Kepada memugar kebesaran hatinya, sehingga kelak Demi mereka menjadi ilmuwan, mempunyai rasa emosional dan empati yang tinggi pada kemanusiaan.
Presiden Prabowo Subianto dalam sambutannya di acara pada Peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2025 dan Peluncuran Program Hasil Terbaik Segera (PHTC). Presiden, pada awal Mei tahun ini, menegaskan bahwa pendidikan merupakan kunci pembangunan nasional. Dengan pembaruan pendidikan, tokoh terdidik seperti Soekarno dan Sutan Sjahrir lahir dan menjadi pelita bagi masyarakatnya.
Tamat Bilaman pun, elan vital ini menjadi laboratorium pencetak insan unggul yang membawa negeri ini ke arah berperadaban.
Kemerdekaan sejati memang Lagi jauh di ujung jalan. Kita Enggak Dapat menyinari jalan itu dengan nyala api yang besar.
Setidaknya, dengan reformasi di bidang sosial dan pendidikan, langkah ini ibarat menyalakan lilin kecil di jalan tersebut, dengan pancaran yang hening Tetapi mengisyaratkan keberlanjutan. (P-3)

