OLIMPIADE 2024 di Paris, yang berlangsung dari 26 Juli hingga 11 Agustus, telah usai. Indonesia berhasil meraih dua medali emas dan satu perunggu dari tiga cabang olahraga yang berbeda. Emas pertama untuk Indonesia di olimpiade tahun ini diperoleh Veddriq Leonardo dalam nomor speed putra di cabang panjat tebing—yang juga merupakan medali emas pertama Indonesia di cabang olahraga ini. Sebuah prestasi yang sangat membanggakan.
Dalam wawancaranya dengan salah satu media nasional, Veddriq menjelaskan bahwa salah satu faktor kunci yang membantunya meraih kemenangan di Paris ialah adanya ekosistem keunggulan dalam tim panjat tebing Indonesia (Kompas, 9 Agustus 2024).
Menurut Veddriq, ekosistem ini sangat mengutamakan rasa kekeluargaan, di mana anggota tim saling mendukung dan memotivasi satu sama lain, meskipun terdapat persaingan yang kuat dan kompetitif di antara mereka. Hal itu dibuktikan dengan tidak hanya keberhasilan Veddriq meraih medali emas, tetapi juga lolosnya empat atlet lain dalam kualifikasi olimpiade di Paris, yang memperbesar peluang Indonesia untuk menjadi juara di cabang olahraga tersebut.
Baca juga : Keluarga Kita Gandeng ParagonCorp Luncurkan Beasiswa Instrukturan Guru
Kelebihan dalam konteks olimpiade sering kali dikaitkan dengan dorongan manusia untuk menjadi yang terbaik, khususnya dalam berbagai cabang olahraga yang diperlombakan. Sering kali, keunggulan yang diraih dalam ajang tersebut dianggap sebagai representasi dari keunggulan negara-negara peserta, yang diukur melalui banyaknya medali yang berhasil diraih dan menjadi kebanggaan tersendiri.
Lebih jauh lagi, meraih keunggulan dalam olimpiade, seperti yang dicapai oleh Veddriq, kerap dilihat sebagai tanda adanya ekosistem keunggulan di suatu negara. Tetapi, hal ini belum tentu benar. Dalam kenyataannya, ekosistem keunggulan tersebut mungkin hanya ada dalam lingkup yang terbatas dan tidak meluas secara keseluruhan.
Selain olimpiade dan ajang kompetisi lain yang digunakan untuk menunjukkan keunggulan suatu negara, banyak tolok ukur lain yang sering digunakan oleh negara-negara di dunia untuk mendukung klaim keunggulan mereka. Misalnya, berbagai indeks seperti ekonomi, teknologi, hingga penerapan hukum, yang menggunakan beragam indikator untuk menilai keunggulan dalam bidang-bidang tersebut. Selain itu, indeks seperti world happiness index, yang mengukur konsep abstrak seperti kebahagiaan, juga sering dijadikan acuan oleh negara-negara yang berada di peringkat atas sebagai bukti keunggulan dalam tata kelola, yang dianggap berhasil membuat masyarakat mereka sejahtera dan bahagia.
Baca juga : Oakwood Suites La Maison: Hunian Nyaman dan Ramah untuk Keluarga
Sejatinya, pencapaian dalam berbagai indeks dan kemenangan dalam ajang kompetisi hanya memberikan gambaran sementara tentang keunggulan suatu negara. Gambaran ini sebenarnya adalah efek samping dari keberadaan ekosistem keunggulan di negara tersebut. Apabila ekosistem ini memang ada, seharusnya tolok ukur apa pun yang digunakan akan menunjukkan hasil yang positif.
Tetapi, bagaimana ekosistem keunggulan ini dapat diwujudkan di suatu negara? Menurut saya, pendidikan memegang peran kunci dalam hal ini. Lebih lanjut, sekolah, keluarga, dan masyarakat adalah aktor-aktor penting dalam menciptakan ekosistem keunggulan melalui proses pendidikan. Ki Hadjar Dewantara menyebut ketiga ranah ini sebagai tri pusat pendidikan, yang terdiri dari keluarga, perguruan, dan pergerakan. Ketiga ranah ini, jika dihubungkan dengan penciptaan ekosistem keunggulan, menekankan tiga aspek berbeda, di mana warga negara, terutama anak-anak, dapat berkembang menjadi unggul sesuai dengan potensi mereka.
Keluarga dapat berperan dalam mewujudkan ekosistem keunggulan, dengan menjadikan orangtua sebagai teladan dalam nilai-nilai dan etika. Di samping itu, keluarga bertanggung jawab untuk membentuk karakter yang mendorong anggotanya mencapai keunggulan. Misalnya, orangtua dapat menanamkan nilai gotong royong dan saling membantu dengan membagi tugas-tugas rumah tangga secara adil sesuai dengan usia dan jenis kelamin anggota keluarga.
Baca juga : Survei: 68% Masyarakat Pertimbangkan Punyai Perlindungan untuk Lindungi Diri dan Keluarga
Orangtua juga dapat membangun kepercayaan diri dan kemampuan berkomunikasi anak melalui pola komunikasi yang terbuka dan demokratis, di mana anak dapat menyampaikan pendapatnya dan turut didengarkan dalam pengelolaan rumah tangga.
Perguruan sebagai tri pusat kedua pendidikan diwakili oleh sekolah. Sekolah dapat berperan dalam mewujudkan ekosistem keunggulan dengan menerapkan kurikulum yang mendorong siswa untuk berpikir kritis dan kreatif, serta membangun budaya sekolah yang menanamkan nilai-nilai etika. Proses pembelajaran dapat dirancang sedemikian rupa untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan yang mendukung keunggulan di berbagai bidang. Selain itu, budaya sekolah juga harus mendorong interaksi dan hubungan yang saling menghormati, menghargai perbedaan, serta sikap dan perilaku yang berfokus pada keunggulan, baik di dalam maupun di luar kelas.
Kebijakan sekolah juga harus memastikan bahwa setiap siswa memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensinya. Dalam hal ini, sekolah perlu menerapkan pendidikan inklusif yang tidak hanya terbatas pada penerimaan siswa berkebutuhan khusus. Ini berarti sekolah harus menormalisasi keberagaman kemampuan dan potensi, serta mendorong guru untuk menghargai semua jenis kecerdasan dengan menciptakan proses pembelajaran yang ramah terhadap keberagaman tersebut.
Baca juga : Sprinter Jamaika Shelly-Ann Fraser-Pryce Akan Pensiun Setelah Olimpiade Paris
Dengan demikian, keunggulan menjadi pencapaian yang inklusif dan bermakna bagi setiap siswa, bukan hanya keunggulan yang didasarkan pada indikator sempit dan diukur melalui pola interaksi menang-kalah.
Masyarakat adalah aktor penting ketiga dalam ekosistem keunggulan melalui proses pendidikan. Masyarakat dapat mendorong keunggulan dengan menciptakan lingkungan yang merdeka dan madani.
John W Gardner menyebut masyarakat merdeka sebagai prasyarat untuk keunggulan karena memberikan kemandirian dan kebebasan individu, sementara Dawam Rahardjo menggambarkan masyarakat madani sebagai komunitas etis dan progresif yang membentuk peradaban unggul.
Kelebihan di sini mencakup bukan hanya kemampuan individu, tetapi juga lingkungan yang mendukung dan berfokus pada keunggulan, seperti yang ditunjukkan tim panjat tebing yang digambarkan Veddriq, dengan ekosistem yang kekeluargaan dan saling mendukung.
Dengan mempertimbangkan proses pendidikan dari tiga perspektif–keluarga, sekolah, dan masyarakat–kita seharusnya tidak terpaku pada pandangan bahwa keunggulan hanya dapat dicapai melalui pengajaran dan persekolahan semata. Kelebihan sering kali diukur dengan indikator yang sempit dan dangkal. Idealnya, keunggulan dalam pendidikan harus menjadi fokus dari seluruh aktivitas dan interaksi di ketiga ranah tersebut. Dengan demikian, kita dapat membagi tanggung jawab pendidikan secara adil dan berperan aktif dalam mewujudkan ekosistem keunggulan di negara kita.