BEBERAPA waktu lalu kontroversi muncul ketika guru mencukur rambut siswanya hingga setengah botak. Informasi ini menyebar melalui media sosial setelah ibu siswa tersebut mengunggah video keluhannya.
Kejadian serupa juga terjadi ketika seorang anggota Babinsa mencukur rambut siswa di sebuah sekolah dengan alasan untuk menjaga disiplin. Salah satu alasan mengapa sekolah mengeluarkan kebijakan mengenai rambut ialah agar siswa terlihat rapi.
Rambut yang rapi kemudian ditafsirkan sebagai rambut tidak panjang atau gondrong. Itu merupakan salah satu bentuk kedisiplinan yang diterapkan di hampir banyak sekolah di Indonesia, termasuk di sekolah tempat saya mengajar. Kedisiplinan diyakini sebagai kunci keberhasilan siswa dalam menjalani kehidupan di lingkungan sekolah ataupun di dalam masyarakat kelak.
Ekses kedisiplinan
Kebijakan rambut di sekolah selalu menyangkut masalah disiplin, yang dapat diajarkan melalui keteladanan dan pembiasaan. Penelitian yang dilakukan Fidya Isthifa dan M Turhan Yani tentang Strategi dan Gambaran Pembentukan Perilaku Disiplin Siswa Melalui Program Pengembangan Diri di SMP Negeri 1 Kembangh, Gresik, yang diterbitkan dalam jurnal Kajian Moral dan Kewarganegaraan, vol 2, no 2 (2014), menemukan bahwa strategi pembentukan perilaku disiplin siswa di SMP Negeri 1 Kembangh Gresik melalui keteladanan merupakan strategi yang direspons baik oleh siswa, yaitu direspons 74 siswa dari 84 siswa responden.
Perilaku disiplin itu terus meningkat seiring peningkatan kelas, yang berarti keteladanan dan pembiasaan merupakan strategi yang baik untuk mendisiplinkan siswa. Tetapi, terkait dengan rambut, meskipun guru pria menunjukkan keteladanan dengan rambut pendek, siswa belum mengikuti.
Selain itu, penelitian itu juga menemukan bahwa program pengembangan diri di sekolah, terutama melibatkan bimbingan konseling dan kegiatan ekstrakurikuler merupakan sarana pembentukan perilaku disiplin siswa. Dari segi gambaran perilaku disiplin siswa— temuan lain dalam penelitian ini— siswa kelas VII, VIII, dan IX menunjukkan tingkat perilaku disiplin yang baik hingga sangat baik dalam program pengembangan diri. Skor rata-rata perilaku siswa semakin meningkat seiring dengan peningkatan kelas.
Sementara itu, penindakan pelanggaran disiplin yang serampangan, seperti memotong rambut siswa, cenderung memberi dampak negatif bagi siswa terdampak dan mendoroang siswa lain melakukan perundungan secara verbal kepada siswa terdampak.
Bahkan, menurut Sri Dewi Ani dan Tati Nurhayati, dalam penelitiannya Pengaruh Bullying Verbal di Lingkungan Sekolah terhadap Perkembangan Perilaku Siswa, yang diterbitkan dalam Edueksos: Jurnal Pendidikan dan Ekonomi, Vol 8, No 2, (2019), menemukan bahwa perundungan verbal yang terjadi di lingkungan sekolah memiliki dampak signifikan terhadap perkembangan perilaku siswa, seperti yang mereka temukan di MTs Karangmangu, Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Akibat dari perundungan verbal termasuk penurunan kepercayaan diri, kemampuan sosialisasi yang terganggu, peningkatan tingkat kemarahan, dan mungkin siswa menjadi pemurung.
Pendidikan damai
Begitu sekolah memutuskan untuk menerapkan disiplin pada siswa, terdapat kemungkinan besar terjadinya kekerasan dalam pelaksanaannya karena prinsip disiplin melibatkan unsur kepatuhan. Dalam konteks ini, pendidikan damai merupakan suatu proses yang bertujuan untuk mengedukasi warga sekolah dengan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang diperlukan agar dapat menghasilkan perubahan perilaku.
Perubahan ini akan memungkinkan anak-anak, remaja, dan orang dewasa untuk mencegah konflik dan kekerasan, menyelesaikan konflik dengan cara damai, serta menciptakan kondisi yang mendukung perdamaian (Fountain, 1999).
Kekerasan dapat terjadi dalam bentuk fisik ataupun psikis dan berpotensi membahayakan kesejahteraan mental dan sosial siswa. Itulah tempat pentingnya peran pendidikan damai dalam menyelesaikan konflik semacam itu.
Terkadang, meskipun seorang siswa telah mematuhi peraturan, seperti mencukur rambut dengan baik dan merasa nyaman, guru mungkin merasa kurang puas karena rambut siswa tidak sesuai dengan standar guru.
Dalih tersebut sering digunakan untuk mengancam dan menakut-nakuti siswa dengan ancaman mendapatkan nilai buruk, yang pada akhirnya bisa berujung pada pemaksaan. Tindakan semacam itu jelas melanggar kode etik guru yang seharusnya menjalankan tugas mereka secara profesional, yaitu mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi proses serta hasil pembelajaran, dan bukan mengancam atau menakut-nakuti siswa.
Guru seharusnya membangun hubungan yang didasari oleh rasa kasih sayang dengan peserta didik dan menghindari penggunaan kekerasan. Guru tidak boleh dengan sepihak menerapkan tindakan kekerasan fisik terhadap siswa yang mungkin memiliki rambut panjang, sebagai contoh.
Sebaliknya, guru dapat memulainya dari dalam kelas dengan melibatkan siswa dalam kegiatan yang mengajarkan mereka bagaimana mengatasi masalah, menyelesaikan konflik antarsiswa, serta belajar melalui kolaborasi dan diskusi ilmiah.
Guru dapat menciptakan lingkungan yang mendorong siswa untuk mengembangkan perilaku sosial yang positif, bekerja sama, berkomunikasi secara efektif, mengungkapkan emosi dan perasaan, menghargai perbedaan, dan mencari solusi untuk konflik. Melalui diskusi ini, guru dapat mempertimbangkan pandangan siswa sebagai dasar untuk membuat kebijakan yang lebih baik.
Pendekatan pendidikan damai menekankan pentingnya menciptakan lingkungan belajar yang bebas dari kekerasan, baik dalam bentuk fisik maupun psikologis. Memaksa siswa mencukur rambut, mengancam dengan penilaian buruk, atau melakukan perundungan dapat dianggap sebagai bentuk kekerasan.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih bijak dan damai dalam mengatasi isu itu. Guru seharusnya menyadari pentingnya menghindari tindakan kekerasan dan lebih berfokus pada pendidikan yang menjunjung nilai-nilai kedamaian dan positif.
Solusi terbaik ialah menciptakan lingkungan belajar yang positif dan damai tanpa menghadapi konflik terkait dengan panjang rambut siswa. Kebijakan sekolah sebaiknya mempertimbangkan pendekatan yang lebih edukatif untuk mencegah konflik daripada mengandalkan tindakan pemaksaan.
Apabila pemotongan rambut masih diperlukan, sebaiknya dilakukan oleh ahli potong rambut dan selalu setelah mencapai kesepakatan dengan siswa. Dengan demikian, hal itu dapat menciptakan suasana yang lebih nyaman dan memungkinkan siswa untuk lebih fokus pada proses pembelajaran mereka.
Penanganan peraturan mengenai panjang rambut siswa seharusnya lebih cerdas, dengan berfokus pada pendekatan yang memberikan pemahaman dan damai. Hal yang penting untuk menciptakan lingkungan belajar yang positif dengan menghindari tindakan kekerasan, dan memastikan bahwa kebijakan sekolah didiskusikan secara terbuka dengan melibatkan semua pihak yang terlibat, termasuk siswa.