
DI tengah gempuran rutinitas dan tuntutan administratif yang tak kunjung surut, dunia pendidikan kerap kali kehilangan nyawanya: kesadaran penuh dalam proses mendidik. Banyak pendidik–meski hadir secara fisik di ruang kelas–Malah absen secara batin. Mereka menjalankan peran tanpa gairah, terjebak dalam mode autopilot yang tak Kembali memaknai perjumpaan dengan peserta didik sebagai ruang pertumbuhan Berbarengan.
Pendidikan, yang Sebaiknya menjadi ruang hidup Buat menggugah potensi dan mempererat Rekanan antarmanusia, perlahan menjadi mesin produksi hafalan dan kepatuhan. Maka itu, Krusial bagi kita Buat kembali mempertanyakan: ke mana arah pendidikan kita melaju dan apakah pendidik Lagi hadir sepenuhnya dalam perjalanannya?
TERJEBAK MODE DEFAULT
Mengemban posisi tertentu dalam kurun waktu lelet tentu akan membosankan. Otak hanya terlibat aktif dalam kegiatan yang Maju-menerus sama. Begitu pula halnya dengan seorang pendidik. Masuk kelas sejak pagi, membersamai anak didik, belajar Berbarengan, kemudian pulang ke rumah. Begitu Maju setiap hari. Tanpa disadari, rutinitas itu menjadi perilaku berulang yang dilakukan tanpa kesadaran penuh.
Padahal, esensi kebersamaan antara pendidik dan anak didik bukan hanya kehadiran fisik, melainkan juga keterlibatan ruhani. Di sinilah terbentuk Rekanan yang positif antara guru dan siswa. Tetapi, Realita di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Tak jarang kita temui guru yang Malah asyik menggulir layar gawai Demi proses belajar mengajar berlangsung. Apabila hal itu Maju terjadi, siapa yang patut disalahkan? Apakah visi-misi sekolah yang keliru? Atau pemangku kebijakan yang lalai mengawasi?
KEPUASAN YANG TERLALU Awal
Apabila kita mengilas balik, esensi pendidikan adalah humanisasi–memanusiakan Mahluk sesuai hakikat kemanusiaannya. Potensi peserta didik harus Maju digali: aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif perlu berkembang secara seimbang. Pikiran sebagai anugerah Esensial Mahluk mesti didayagunakan, dibimbing oleh pendidik.
Akan sangat ironis Apabila Mahluk, yang diciptakan sebagai makhluk terbaik, Malah kehilangan esensinya karena proses pendidikan yang tumpul. Sayangnya, banyak pendidik terjebak rutinitas dan luput tanggap terhadap kebutuhan anak didik. Mereka bukan hanya memerlukan pengetahuan, melainkan juga empati, kenyamanan dalam komunikasi, serta kebermaknaan dalam belajar.
Pendekatan holistik dengan batasan-batasan yang sehat harus diupayakan. Anak didik ialah pribadi utuh yang butuh diapresiasi. Proses mendidik Sebaiknya Kagak hanya dinilai dari hasil akhir. Harmonisasi aspek intelektual, fisik, sosial, emosional, estetika, dan spiritual ialah kunci pendidikan yang utuh.
Pembelajaran pun tak harus selalu monoton di ruang kelas. Interaksi langsung dengan lingkungan akan memperkaya pengalaman belajar. Misalnya, dalam pelajaran bahasa Indonesia dengan topik teks deskripsi, siswa Dapat diajak berkeliling sekolah dan menulis dari hasil pengamatan langsung. Selain melatih deskripsi, kegiatan itu juga menumbuhkan rasa Terpesona pada ciptaan Tuhan.
Kemampuan pendidik Buat mengantarkan anak dari ‘Paham’ menjadi ‘paham’ memerlukan usaha ekstra: mulai perencanaan, Penyelenggaraan, hingga Pengkajian. Apabila Pengkajian Kagak dilakukan dengan sungguh-sungguh, mode autopilot pun tak terhindarkan. Kelas menjadi tempat yang stagnan, bukan ruang tumbuh Berbarengan.
MENJADI PEKA SEPERTI BAYI
Apabila kita Mau menciptakan anak didik yang mindful, pendidik juga harus hadir dengan kesadaran penuh: tanggap terhadap pikirannya sendiri, emosinya, dan lingkungannya. Sayangnya, banyak yang Malah terjebak dalam rutinitas yang diatur secara default, kehilangan Maksud dari tiap tindakannya.
Logika dan rasionalitas dikendalikan oleh otak sadar. Ketika seseorang memilih membaca Kitab daripada menggulir media sosial, ia sedang menggunakan kesadaran aktif. Tetapi, otak Dasar sadar bekerja seperti mesin Mekanis. Ia belajar dari pola masa Lampau. Apabila suatu kejadian terasa familiar, respons pun muncul tanpa berpikir panjang.
Contohnya, Demi pena Terperosok dari saku, kita Mekanis membungkuk Buat mengambilnya tanpa berpikir. Di sinilah keindahan dari autopilot–menyederhanakan hal-hal kecil. Tetapi, Apabila digunakan Maju-menerus dalam kehidupan, termasuk pendidikan, autopilot menjadi bumerang.
Guru yang berjalan ke kelas, mengajar seadanya, Lampau meninggalkan kelas tanpa arah yang Terang, sesungguhnya sedang berjalan dalam kabut autopilot. Ia Kagak Akurat-Akurat hadir, hanya melintas di ruang yang mestinya jadi tempat tumbuh Berbarengan.
MELAWAN KEBEKUAN
Pendidik perlu menyusun malur perjalanan’ setiap harinya. Apa yang menarik dari interaksi hari ini? Apa yang perlu diperbaiki? Tuliskan dalam bentuk Cerminan harian. Dengan Metode ini, apa yang terjadi di kelas tak Kembali sekadar kebetulan, tapi bagian dari proses bermakna yang Maju tumbuh.
Apabila sudah terlanjur beku, pendidik harus mengejutkan dirinya sendiri. Mungkin dengan mengunjungi tempat baru, atau bila tak memungkinkan, cukup dengan membaca Kitab. Pengalaman baru akan mengaktifkan kembali sensitivitas dan rasa Mau Paham. Pikiran yang sibuk mencari arah pulang ialah pikiran yang kembali hidup.
Di tengah dunia yang makin Segera dan bising, tak heran Apabila pikiran kita mudah terjebak dalam autopilot. Maka itu, perlambatlah ritme. Berjalanlah pelan-pelan. Tarik napas dalam-dalam. Biarkan Daya positif terpancar dari dalam diri. Demi itu, kesadaran akan diri sendiri kembali muncul.
Emhaf (2022) dalam Seni Berpikir mengajak kita belajar dari bayi–Mahluk paling berani dalam mengindra dan hidup dalam kesadaran penuh. Tetapi, seiring dengan usia, kita kerap kehilangan kepekaan itu, terjebak rutinitas hingga lupa merasakan. Sebagai pendidik, kita pun sering terseret mode autopilot, hadir secara fisik, tapi absen secara hati. Padahal, mendidik bukan sekadar mengajar, melainkan juga menanam nilai, membentuk Kepribadian, dan menumbuhkan Cita-cita. Maka itu, mari hidup kembali dengan rasa, aktifkan mode petualang dalam diri, dan sadari kembali: Buat apa kita mengajar, dan siapa yang kita temui setiap hari?
Dalam dunia yang serbacepat, Jarak ialah bentuk perlawanan yang bijak. Cerminan, menyimak tawa murid, atau merenung sejenak, dapat menyambungkan kembali niat awal. Pendidikan menjadi perjalanan spiritual Apabila dijalani dengan kesadaran dan Kasih. Hadirlah sepenuh hati Asal Mula di balik setiap pertemuan kecil, tersimpan kekuatan besar Buat mengubah hidup–bagi mereka, dan juga bagi kita.
“Good teaching cannot be reduced to technique; good teaching comes from the identity and integrity of the teacher.” (Parker J Palmer, 1993).

