Pendidikan Buat Mitigasi Perubahan Iklim

Pendidikan untuk Mitigasi Perubahan Iklim
(Dok. Pribadi)

BEBERAPA tahun belakangan ini, kita sering kali mendapatkan liputan yang intens tentang akibat perubahan iklim, Berkualitas di seluruh dunia maupun di Indonesia, yang berdampak negatif secara psikologis seperti kekhawatiran, rasa takut, dan kesedihan berlebihan, yang disebut Pihkala (2021) sebagai kegelisahan lingkungan (eco-anxiety). Emosi-emosi negatif itu mengakibatkan perasaan putus asa dan hilang Cita-cita yang Membikin banyak orang merasa Tak Bisa mengatasi perubahan iklim dan mengurangi dampaknya.

Di sejumlah negara, tingkat kegelisahan lingkungan tergolong tinggi di kalangan anak-anak dan generasi muda. Hasil survei 2021 yang melibatkan 10 ribu responden dari 10 negara menunjukkan bahwa 59% orang muda usia 16-25 tahun merasa sangat khawatir dan 85% merasa khawatir (Hickman et al, 2021). Sekeliling 45% responden mengaku bahwa perubahan iklim berdampak pada kehidupan sehari-hari mereka dan 75% merasa sangat cemas mengenai masa depan.

Di Indonesia, penelitian terbatas yang melibatkan 107 responden menunjukkan orang muda berusia 15-29 tahun menyatakan perasaan khawatir, takut, sedih, marah, panik, dan bingung terkait dengan isu perubahan iklim (Siti Jaro’ah, dkk, 2023). Orang muda yang menjadi subjek penelitian itu Tak mengalami Dampak psikologis yang lebih serius selain dari perasaan negatif yang mereka rasakan.

Penelitian itu juga menemukan bahwa sebagian besar pengetahuan mereka tentang perubahan iklim terbatas hanya terkait dengan perubahan cuaca. Karena itu, banyak responden mengekspresikan minat mereka Buat memahami lebih lanjut tentang perubahan iklim melalui media sosial sebagai sumber informasi Esensial Buat memuaskan rasa Mau Paham mereka.

Cek Artikel:  Syafii Maarif dan Geliat Intelektualisme di Kalangan Muda

Hasil studi di atas menunjukkan bahwa mereka Tak mendapatkan informasi yang memadai dan Betul mengenai hal ini melalui pendidikan formal di sekolah. Keadaan ini mencerminkan kurangnya upaya pihak sekolah dan pembuat kebijakan Buat mengintegrasikan isu perubahan iklim ke dalam proses pembelajaran.

Bila Memperhatikan tingginya tingkat kegelisahan lingkungan di kalangan generasi muda, Terang Eksis konsekuensi sosial yang signifikan dari perubahan iklim. Salah satunya ialah kehilangan motivasi dan inisiatif Buat melakukan tindakan bahkan yang sederhana Buat mengatasi perubahan iklim. Hal ini lebih terasa Apabila generasi muda merasa bahwa respons pemerintah terhadap isu ini belum memadai atau kurang efektif.

Hickman et al (2021) menyatakan bahwa lebih dari separuh responden dalam penelitian mereka merasa kecewa dengan pemerintah mereka. Dalam konteks ini, menurut Albrecht (2011), keputusasaan dapat memunculkan sikap apatis, sinis, dan acuh tak acuh, yang dikenal sebagai kebuntuan Buat bertindak (eco-paralysis).

Apabila kondisi ini terjadi, dunia akan kehilangan generasi yang sangat dibutuhkan Buat melanjutkan upaya mengurangi Dampak perubahan iklim dan membangun masa depan dengan paradigma yang baru. Generasi ini diharapkan Mempunyai kreativitas dan kemampuan Buat menemukan solusi-solusi inovatif dari sudut pandang yang berbeda.

 

Mulai dari Cita-cita

Terdapat beberapa tindakan yang Dapat diambil komunitas guru di sekolah Buat membantu anak-anak dan orang muda mengelola kegelisahan lingkungan, serta—Apabila memungkinkan—menghindari kebuntuan Buat bertindak (eco-paralysis). Di sini, Krusial Buat mulai mengubah narasi perubahan iklim bukan hanya sebagai bencana dan dunia yang suram, melainkan juga mempertimbangkan adanya Cita-cita yang harus didasarkan pada fakta dan realitas.

Cek Artikel:  Blunder tidak Mundur dari Jabatan

Marlon et al (2019) mengusulkan narasi yang mengandung Cita-cita konstruktif. Hal itu dilakukan dengan menyampaikan keberhasilan dari upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah, industri, dan masyarakat Lumrah. Tetapi, tetap mengakui besarnya kesenjangan yang Lagi Eksis antara upaya yang dilakukan dan kerusakan yang tengah terjadi, Buat memastikan Lalu berlanjutnya mobilitasi usaha. Ojala (2022) menegaskan bahwa pertumbuhan Cita-cita konstruktif membutuhkan keterlibatan kolektif dalam menangani perubahan iklim dan Dampak yang ditimbulkannya.

Generasi muda dan anak-anak sebenarnya Mempunyai rasa Mau Paham dan minat yang tinggi. Karena itu, dalam konteks pendidikan, guru Dapat memulai dengan melibatkan siswa dalam mengidentifikasi dengan sederhana Dampak perubahan iklim di Sekeliling mereka, dan mendorong mereka Buat mencari solusi serta mengenali tindakan berdasarkan bukti empiris Buat mengurangi dampaknya.

Selain itu, Krusial Buat segera mengintegrasikan isu-isu perubahan iklim dalam mata pelajaran yang sesuai. Mengacu pada studi yang telah disebutkan, ketergantungan generasi muda dan anak-anak pada media sosial Buat mendapatkan informasi yang Seksama dan relevan tentang perubahan iklim perlu diatur dengan bijak.

 

Aspek spiritualitas

Dekat seluruh penduduk dunia Mempunyai keterkaitan dengan Keyakinan dan keyakinan tertentu. Karena itu, aspek spiritualitas dan komunitas keagamaan dapat memainkan peran yang signifikan dalam memberikan dukungan bagi individu dalam mengatasi emosi dan pertanyaan eksistensial yang timbul (Pihkala, 2008). Pada 2015, aktivis dan cendekiawan lingkungan muslim menyuarakan pentingnya setiap penganut Islam berfungsi sebagai penjaga lingkungan.

Cek Artikel:  Memberdayakan Pemimpin Muda, Membentuk Masa Depan Politik Indonesia

Selanjutnya, pada 2018, PBB melibatkan komunitas keagamaan dan organisasi yang terkait dengan Keyakinan Buat berpartisipasi secara aktif melalui inisiatif faith for earth. Dalam kerangka koalisi ini, Dewan Pemuda menjadi salah satu platform bagi gerakan pemuda yang terkait dengan Keyakinan atau berada dalam berbagai organisasi keagamaan.

Indonesia Mempunyai kekayaan spiritualitas yang berasal dari Berbagai Macam-macam Keyakinan dan tradisi Nusantara. Karena itu, generasi muda di Indonesia Mempunyai sumber belajar yang kaya dan Istimewa. Guru-guru Keyakinan, sebagai Misalnya, dapat mendorong siswa Buat mengemban peran sebagai penjaga lingkungan di Sekeliling mereka dan menyadarkan bahwa setiap tindakan konservasi sederhana, seperti menanam pohon, Mempunyai dimensi spiritual.

Guru-guru PPKn juga dapat berkolaborasi dengan komunitas Sekeliling sekolah Buat melaksanakan upaya mitigasi Berbarengan berbasis pada tradisi lokal. Sebagai Misalnya, mereka dapat mempelajari tradisi hikayat tentang Smong di Aceh Buat menanamkan praktik mitigasi Begitu bencana tsunami terjadi.

Apabila komunitas guru di sekolah Bisa melaksanakan hal ini, diharapkan proses pendidikan di sekolah akan mulai menanamkan Cita-cita-Cita-cita yang realistis dan produktif. Dengan demikian, akan terbentuk generasi muda yang mempunyai keyakinan bahwa perubahan iklim dapat diatasi secara Berbarengan-sama, didasari pemahaman dan pengetahuan yang mendalam mengenai perubahan iklim. Tetapi, yang tak kalah Krusial, diharapkan akan lahir generasi yang Bisa menemukan solusi melalui tindakan kolektif dengan berlandaskan pada realitas di lingkungan Sekeliling mereka.

Mungkin Anda Menyukai