Pendidikan Antirealitas

PENDIDIKAN tinggi dicita-citakan Demi menghasilkan intelektual, ilmuwan, dan/atau profesional yang berbudaya dan kreatif, toleran, demokratis, berkarakter Handal, serta berani membela kebenaran Demi kepentingan bangsa.

Cita-cita yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi itu jauh panggang daripada api. Pendidikan di negeri ini sesungguhnya antirealitas.

Disebut antirealitas karena dunia pendidikan tinggi dijadikan menara gading yang dijauhkan dari masyarakat dan, ini yang memprihatinkan, sudah kehilangan Akal kritisnya. Lebih memprihatinkan Tengah bila pendidikan tinggi membungkam kritik.

Kehilangan Akal kritisnya itu disorot Agus Nuryatno dalam tulisannya berjudul Kritik Budaya Akademik di Pendidikan Tinggi (2017). Kata dia, kritik mestinya menjadi bagian Krusial dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan kelembagaan pendidikan.

Sudah saatnya pendidikan tinggi di negeri ini, meminjam pendapat Paulo Freire, harus berorientasi Demi membebaskan Insan dari kungkungan rasa takut dan tertekan akibat otoritas kekuasaan (penindasan). Pendidikan yang menolak budaya bisu Demi memulihkan kembali kemanusiaan yang telah dirampas.

Ikhtiar berpijak pada realitas Demi menolak budaya bisu itulah yang Dapat dimaknai dari unggahan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia pada Sabtu (26/6). Melalui akun Twitter @BEMUI_Official, BEM UI menyebut Presiden Joko Widodo sebagai ‘the King of Lip Service’.

Cek Artikel:  Tengah-Tengah Utang

Reaksi atas kritik BEM UI berlebihan. Mulai pemanggilan oleh pihak rektorat hingga peretasan akun media sosial sejumlah pegiat BEM UI. Reaksi itu ujung-ujungnya membungkam kritik. Meski demikian, konten dan konteks kritik tetaplah menjadi perhatian.

Segala upaya membungkam kritik harus dilawan. Harus dilawan karena, kata WS Rendra, apabila kritik hanya boleh lewat saluran Formal, hidup akan menjadi sayur tanpa garam. Lembaga pendapat Lazim Enggak mengandung pertanyaan, Enggak mengandung perdebatan, dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan.

Berkuasa memang Terdapat Enggak enaknya. Siapa pun yang berkuasa di atas muka bumi ini Niscaya menjadi sasaran kritik. Kritik Dapat halus atau kasar, sinis atau sarkastis, tetapi mestinya Mempunyai nilai yang sama. Kritik ialah madu, bukan racun.

Moral terhadap kritik itu menjadi sangat Krusial dikemukakan kepada presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Di antara yang memilih itu Terdapat yang halus bahasanya, Terdapat pula yang tanpa tedeng aling-aling langsung sasaran, bahkan cenderung kasar.

Cek Artikel:  Menjaga Lisan

Setelah dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia, dia ialah presiden Demi siapa pun, termasuk mahasiswa yang Bagus halus bahasanya maupun kasar lisannya.

Reaksi Presiden Joko Widodo atas kritik yang dilancarkan BEM UI patut diapresiasi. “Saya kira ini bentuk Ungkapan mahasiswa dan ini negara demokrasi, jadi kritik itu boleh-boleh saja dan universitas Enggak perlu menghalangi mahasiswa Demi berekspresi. Tapi juga ingat, kita ini Mempunyai budaya tata krama, Mempunyai budaya kesopansantunan,” ujar Presiden, Selasa (29/6).

Jokowi sudah kenyang kritik. Kritik yang disampaikan mulai dirinya disebut klemar-klemer, plonga-plongo, otoriter, bebek lumpuh, Bapak Bipang, dan terakhir ‘the King of Lip Service’ yang disematkan BEM UI.

Keterbukaan seorang presiden menerima kritik sesungguhnya buah reformasi. Bangsa ini telah melalui sebuah era yang sangat pahit. Kebebasan yang terpasung telah melahirkan situasi serbasemu di masa silam. Kini, kita bersahabat dengan kebebasan dan jangan sekali-kali membungkam kritik.

Cek Artikel:  Takhta Pak Kades

Presiden Jokowi Tamat-Tamat meminta masyarakat Demi lebih aktif dalam memberi masukan dan kritik kepada pemerintah. Menurut Jokowi, pada 8 Februari, kritik tersebut ialah bagian dari proses Demi mewujudkan pelayanan publik yang lebih Bagus.

Sejauh ini, jujur dikatakan bahwa Jokowi yang dikritik bertubi-tubi Enggak membalas kritik dengan kritik. Apalagi Tamat bertanya kepada pengkritiknya apa yang sudah mereka perbuat Demi kepentingan rakyat? Ia membalas kritik dengan Lanjut bekerja terutama di masa pandemi covid-19 ini.

Lanjut bekerja karena menyadari bahwa demokrasi yang dianut didasari pada keyakinan bahwa kritik ialah vitamin yang menyehatkan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itulah, jangan pernah memadamkan kritik dengan represi kekuasaan.

BEM UI telah mencatatkan sejarah kritik mereka. Sejarah, kata Philip Guedalla, berulang dengan sendirinya. Mahasiswa yang melancarkan kritik Ketika ini, ketika nanti berkuasa, juga mendapat kritik. Jangan-jangan mereka yang berada di lingkaran kekuasaan Ketika ini juga tukang kritik pemerintah ketika menjadi mahasiswa. Karena itu, membungkam kritik hakikatnya antirealitas.

Mungkin Anda Menyukai