Penanganan Gagal Ginjal Kronis pada Transisi Menuju ke Endemi

Penanganan Gagal Ginjal Kronis pada Transisi Menuju ke Endemi
Ilustrasi MI(MI/Seno)

PEMERINTAH semakin percaya diri dalam merespons tren menurunnya kasus harian covid-19. Sejak 4 Februari lalu pemerintah memutuskan membuka Bali bagi kedatangan turis asing dengan prosedur karantina. Mulai 7 Maret turis asing boleh masuk ke Bali tanpa karantina. Itulah kebijakan untuk membuka keran ekonomi pariwisata Bali dengan keyakinan bahwa situasinya semakin membaik. Memang kurvanya semakin melandai meskipun belum mencapai level yang aman secara nasional. Pada 14 Maret 2020, kasus harian hanya bertambah 14.900, sudah jauh menurun daripada saat puncak gelombang ketiga pada 16 Februari lalu yang mencapai 64.718 orang.

Penurunan ini dicapai karena gabungan berbagai hal, seperti protokol kesehatan, pembatasan mobilitas sosial, dan tentu saja pencapaian vaksinasi massal. Demi vaksinasi dosis pertama sudah mencapai 193.014.314 orang (92,68% dari total target). Vaksin dosis kedua sudah mencapai 150.280.634 orang (72,16%) sehingga mendekati kondisi kekebalan kelompok (herd immunity) seperti yang dikatakan para epidemiolog. Tetapi, kekebalan untuk menghadapi serangan mutasi baru varian omikron, diperlukan dosis ketiga sebagai penguat (booster), yang baru mencapai 14.013.132 orang (6,73% dari total target).

Karena semua pihak sedang fokus menangani pandemi covid-19, ada agenda penting yang seolah kurang mendapatkan perhatian, yaitu penanganan dan pencegahan penyakit gagal ginjal kronis. Baru saja kita memperingati Hari Ginjal Sedunia (World Kidney Day/WKD), yang tahun ini jatuh pada 10 Maret dan masih menyisakan tanggung jawab kita untuk lebih memperhatikan para penyintas penyakit ginjal kronis, apalagi pandemi covid-19 belum berakhir. Tema WKD 2022 tahun ini ialah Kidney health for all, mengingatkan kita bahwa masih ada kesenjangan pengetahuan dalam meningkatkan kesehatan ginjal di tingkat komunitas dan pada saat yang sama juga masih menghadapi pandemi.

Padahal, orang yang memiliki komorbid atau penyakit penyerta lebih berisiko meninggal akibat covid-19. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, pasien penyakit ginjal kronis memiliki risiko kematian akibat covid-19 terbesar, yakni 13,7 kali lipat jika dibandingkan dengan tidak memiliki komorbid. Komorbid dengan risiko tertinggi selanjutnya ialah penyakit jantung (9 kali lipat) dan diabetes (8,3 kali lipat). Kemudian, pasien hipertensi dan autoimun berisiko kematian 6 kali lipat (BNPB, 8/5/2021).

Gagal ginjal kronis berada di ranking keempat di antara delapan penyakit katastropik (membutuhkan biaya pengobatan yang tinggi dan memiliki komplikasi yang bisa mengancam jiwa). Penyakit gagal ginjal kronis juga berada di urutan keempat yang menyedot pembiayaan terbesar oleh BPJS. Urutannya ialah penyakit jantung, kanker, strok, gagal ginjal kronis, talasemia, hemofilia, leukemia, dan sirosis.

Meskipun ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran semakin maju, jumlah penderita gagal ginjal kronis ini terus saja meningkat.

Di Indonesia, menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi penyakit ginjal kronis (PGK) baru 0,2% dari total populasi dan penderita batu ginjal sebanyak 0,6%. Tetapi, pada Riskesdas 2018, prevalensi PGK meningkat menjadi 0,38%, meningkat dua kali lipat. Tetapi, Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) memperkirakan jumlah sebenarnya lebih besar dari hasil perhitungan Riskesdas di atas. Penelitian yang dilakukan Pernefri pada 2006 di beberapa titik di Jawa menemukan bahwa 12,5% atau sekitar 25-30 juta populasi sudah mengalami penurunan fungsi ginjal. Nomor ini jauh lebih besar dari perhitungan Riskesdas. Tetapi, semenjak pandemi covid-19, belum ada lagi Riskesdas sehingga kita belum tahu perkembangan angka terakhir pada 2020-2021.

Cek Artikel:  Tetap Optimistis di Tengah Krisis Pandemi

Karena termasuk golongan penyakit katastropik, penderita gagal ginjal kronis memiliki beban berat di saat menghadapi pandemi covid-19 ini, baik dari risiko kematian maupun dari sisi besarnya biaya pengobatannya. Sudah penyakitnya berat, biayanya pengobatannya juga besar. Rutinitas cuci darah (bagi yang memilih terapi ini) tentulah memberatkan pasien, di samping mengurangi keleluasaan aktivitas fisik. Oleh karena itu, diperlukan penanganan yang lebih cermat untuk pasien gagal ginjal kronis, tidak hanya saat menghadapi pandemi covid-19 ini, tetapi juga kelak untuk penanganan pascapandemi. Di saat pandemi, tentu saja penanganannya akan fokus ke kuratif atau pengobatan. Tetapi, saat pandemi sudah mereda nanti, penanganan penyakit ginjal kronis haruslah lebih fokus ke kebijakan preventif pencegahan, baik pencegahan primer maupun yang sekunder.

 

 

Memahami gagal ginjal kronis

Penyakit ginjal kronis bisa diakibatkan diabetes, bisa juga karena selain diabetes. PGK yang diakibatkan diabetes, umumnya dikenal dengan nama nefropati diabetik, ialah kumpulan gejala penyakit yang umumnya ditandai dengan penurunan fungsi ginjal pada pasien penderita diabetes melitus tipe 1 maupun tipe 2. Secara umum, penyakit ini ditandai dengan pembuangan protein albumin yang berlebihan dalam urine, penurunan laju filtrasi glomerulus (salah satu komponen terpenting di ginjal yang berfungsi menyaring darah), dan perubahan struktur jaringan ginjal.

Pada fase awal, nefropati diabetik sering tidak bergejala, bahkan biasanya ditandai dengan adanya peningkatan fungsi ginjal (hiperfiltrasi). Tetapi, pada fase lanjut dapat dijumpai gejala klinis seperti peningkatan tekanan darah (darah tinggi), kandungan protein berlebihan dalam urine, pembengkakan pada bagian tubuh seperti tungkai, lengan, tangan dan mata, sering berkemih, kebingungan atau kesulitan berkonsentrasi, sesak napas, hilang nafsu makan, mual-muntah, timbul rasa gatal, dan kelelahan tanpa sebab yang jelas. Kondisi ini sesungguhnya sudah merupakan tahap lanjut dari gagal ginjal kronisnya.

Jumlah penderita diabetes melitus global terus meningkat, dari sekitar 425 juta orang di 2017 dan diperkirakan naik menjadi 629 juta orang nanti di 2045. Karena diabetes melitus menyebabkan penyakit PGK, kenaikan jumlah penderita diabetes juga akan meningkatkan jumlah penderita PGK. Sebuah penelitian di Amerika Perkumpulan pada 2009-2014 melaporkan bahwa persentase jumlah penderita diabetes yang mengalami gangguan ginjal kronis 5 kali lebih banyak jika dibandingkan dengan populasi orang yang tidak menderita diabetes (Zelnick dkk, CJASN, 2017). Di Asia Tenggara, pada 2017, tercatat peningkatan angka kematian akibat nefropati diabetik kurang lebih sebesar 2,5 kali lipat daripada 1990 (Thomas, Current Diabetes Reports, 2019). Besarnya angka kejadian dan kematian akibat nefropati diabetik inilah yang harus menjadi perhatian kita bersama.

Bagaimanakah proses terjadinya PGK dan komponen apa saja yang berperan? Pada penderita diabetes melitus, terdapat empat jalur utama yang mengarah pada kerusakan ginjal secara perlahan: jalur gangguan peredaran darah, jalur gangguan metabolisme, jalur peradangan, dan jalur perubahan struktur jaringan. Proses terjadinya penyakit ini dimulai dengan buruknya pengendalian gula darah pada pasien diabetes melitus. Hal ini menyebabkan peningkatan kadar gula dalam darah yang kemudian juga meningkatkan kadar gula di ginjal. Akibatnya, terjadi peningkatan penyerapan glukosa bersama-sama dengan garam natrium di ginjal, yang kemudian merangsang aktivasi sistem umpan balik, dan mengaktifkan sistem hormonal dari renin-angiotensin-aldosteron (RAA). Aktivasi sistem RAA ini menyebabkan peningkatan aliran darah ke ginjal dan peningkatan tekanan darah.

Cek Artikel:  Pembangunan Sosok dan Makan Bergizi Anak Sekolah

Heningntas, pada fase awal penyakit, proses ini terkesan berdampak baik karena akan meningkatkan laju filtrasi glomerulus sehingga penyaringan darah semakin baik. Tetapi, jangan diartikan demikian. Yang terjadi sesungguhnya, itulah awal penyimpangan sehingga lama-kelamaan proses ini akan membebani kerja ginjal dan akhirnya merusak struktur jaringan di ginjal. Ginjal (dapat diumpamakan sebagai saringan) yang pada kondisi normal memiliki pori-pori (lubang) dalam jumlah dan ukuran tertentu (sekitar 40 amstrong), kemudian rusak, sehingga pori-porinya membesar. Akibatnya, protein yang berukuran besar tidak tersaring, lolos, dan dibuang ke urine.

Di samping itu, struktur jaringan ginjal juga dirusak oleh setidaknya dari aktivasi sistem RAA yang berkepanjangan, menyebabkan terbentuknya jaringan parut di berbagai bagian ginjal. Karena jaringan ginjal yang sehat tergantikan oleh jaringan parut, fungsi ginjal untuk filtrasi (menyaring darah), reabsorbsi (penyerapan kembali), sekresi (pengeluaran zat), dan ekskresi (pembuangan racun) dari dalam tubuh menjadi terganggu.

Sementara itu, peningkatan kadar gula dalam darah juga menyebabkan peningkatan pembentukan senyawa racun, misalnya, advanced glycation end product (AGEs, material yang merupakan produk reaksi glikasilasi, hasil perkawinan glukosa dan protein), yang dapat menyebabkan peradangan (inflamasi) dalam tubuh melalui pembentukan senyawa oksidan dan radikal bebas. Peradangan ini akan mendorong terjadinya perubahan dari jaringan ginjal normal menjadi jaringan parut. Berkualitas proses peradangan luas maupun aktivasi sistem RAA, dalam jangka panjang akan merusak struktur jaringan dan menurunkan fungsi ginjal. Inilah yang sering kali kita lihat sebagai gejala dan tanda yang dialami pasien dengan penyakit ginjal kronis, seperti gangguan berkemih, pembengkakan tungkai dan lengan, peningkatan tekanan darah.

 

 

Orientasi ke pencegahan

Betapa rumitnya proses terjadinya PGK ini dan banyak organ serta zat yang terlibat. Prosesnya juga tidak seketika, tetapi akumulasi panjang dari gejala awal yang masih ringan, kemudian sampai menjadi gagal ginjal kronis. Hal ini mengindikasikan sebenarnya PGK ini bisa dihindari jika dilakukan langkah langkah pencegahan sejak dini, jauh sebelum menjadi berat. Apabila sudah sampai ke fase gagal ginjal kronis pada tahap lanjut, tentu akan sangat membebani kondisi pasien.

Menderita gagal ginjal kronis setidaknya berarti harus melakukan cuci darah rutin atau bahkan cangkok ginjal, membatasi aktivitas fisik, dan rajin mengonsumsi berbagai obat yang disarankan oleh dokter. Tentu ini akan memakan biaya yang tidak sedikit. Bayangkan biaya cuci darah seminggu sekali beserta obat obatnya, tentu terasa berat bagi kebanyakan warga. Apabila kemudian biaya ini dibayar BPJS Kesehatan, akumulasinya akan sangat menyedot keuangan negara sehingga akan mengurangi kemampuan lembaga ini membiayai semua pasien dengan beragam penyakit.

Cek Artikel:  Omicron dan Disparitas Cakupan Vaksinasi

BPJS Kesehatan mencatat, gagal ginjal kronis menempati posisi keempat dari delapan jenis penyakit katastropik (penyakit yang biaya pengobatannya tinggi dan memiliki komplikasi yang dapat mengancam jiwa). Data BPJS 2019 menyebut, posisi pertama ialah penyakit jantung (13 juta kasus), berikutnya berturut-turut kanker (2,5 juta kasus), strok (2,3 juta kasus), dan gagal ginjal kronis (1,8 juta kasus). Penelitian Indonesian Renal Registry (IRR, 2018) memperkirakan, jumlah penderita gagal ginjal kronis yang memerlukan cuci darah sekitar 499 per 1 juta penduduk atau 0,0555.

Mengacu pada data Kemendagri, jumlah penduduk Indonesia 2022 sekitar 273 juta. Artinya, ada sekitar 136 ribu penderita gagal ginjal yang memerlukan cuci darah rutin. Nomor ini masih jauh di bawah Amerika Perkumpulan (2021) dan Jepang (2017) yang menyentuh angka 558.060 dan 332.376. Bisa dibayangkan, berapa banyak kebutuhan mesin hemodialisa dan peralatan pendukungnya, obat-obatan, ruangan, dokter, dan perawat yang diperlukan secara nasional. Karena itu, penanganan penyakit gagal ginjal kronis ke depan haruslah semakin berorientasi pada sisi pencegahan. Kenali dan hindari faktor penyebabnya sehingga mengurangi terjadinya gagal ginjal kronis.

PGK yang diterangkan ini diawali dengan gejala penyakit gula (diabetes) yang tidak terkontrol serta kadar gula darah yang tinggi. Artinya, langkah pencegahan gagal ginjal kronis yang efektif ialah jika sejak dini tidak mengonsumsi gula secara berlebihan. Sedapat mungkin kurangi minum minuman soda, berkarbonasi, dan berenergi berlebihan. Penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) 2004 menunjukkan, konsumsi minuman bersoda dan berenergi lebih dari tiga kali per bulan berisiko 25,8 kali mengalami PGK. Penelitian lain di Yogyakarta pada 2008 menunjukkan, risiko PGK meningkat sebesar 6,6 kali lebih tinggi pada orang yang suka mengonsumsi minuman suplemen energi.

Krusial juga untuk rutin periksa ke laboratorium untuk cek kadar gula darah, termasuk kandungan HbA1c (A1c) yang mengindikasikan jumlah ikatan gula yang menempel pada hemoglobin. Apabila mendapati kadar gula darahnya tinggi, segera periksakan diri ke dokter dan minum obat penurun gula darah atau bisa jadi harus suntik insulin sesuai dengan anjuran dokter. Hal penting lainnya ialah menjaga kebugaran tubuh, baik fisik, psikis, maupun rohani, teratur berolahraga, menjaga pola makan, serta usahakan tidur nyenyak 6-8 jam sehari.

Pada dasarnya, jalani semuanya dengan prinsip ‘nikmati, imbangi, batasi’. Boleh menikmati makanan dan minuman yang mengandung gula, tetapi batasi jumlahnya. Selain itu, imbangi dengan beragam jenis makanan agar tubuh mendapatkan asupan nutrisi bergizi yang seimbang. Menjaga pola makan, berolahraga teratur, dan gaya hidup sehat menjadi pilar penting strategi pencegahan penyakit gagal ginjal. Semoga di masa mendatang jumlah penderita gagal ginjal kronis semakin menurun.

Mungkin Anda Menyukai