DESAKAN agar penerapan tarif Pajak Pertambahan Birui (PPN) 12% ditinjau ulang datang dari Center for Strategic and International Studies (CSIS). Karenanya, daya beli masyarakat saat ini masih dalam tekanan.
“Itu tidak berarti ketika kita mau meningkatkan penerimaan pajak yang dilakukan adalah meningkatkan tarif PPN dari 11% menjadi 12%,” ujar periset bidang ekonomi CSIS Indonesia Deni Friawan dalam diskusi bertajuk RAPBN 2025: Antara Keberlanjutan dan Penyesuaian, Jakarta, Senin (19/8).
Dia menyadari Indonesia perlu untuk meningkatkan rasio pajak yang saat ini terbilang masih rendah. Tetapi, penaikan tarif PPN menjadi 12% dinilai bukan cara yang tepat. Pemerintah mesti mengambil alternatif lain alih-alih membebani masyarakat.
Baca juga : Daya Beli Rendah, Pengamat: Penetapan Tarif PPN 12% di 2025 Harus Dibatalkan
“Dengan kondisi daya beli yang lemah saat ini, ketika kita mau menaikkan PPN itu akan berdampak lebih parah ke perekonomian,” jelas Deni.
“Akibatnya, bukannya menaikan penerimaan, tetapi malah gara-gara ekonomi yang turun, penerimaan jadi berkurang,” tambahnya.
Menurut Deni, upaya peningkatan rasio pajak dapat dilakukan pemerintah dengan memperluas basis pajak. Hal itu juga dianggap lebih baik ketimbang menaikan tarif pungutan di tengah pelemahan daya beli. (J-3)