Penaikan Harga BBM Pintu Masuk Net Zero Emission

Penaikan Harga BBM Pintu Masuk Net Zero Emission
(DOK. PRIBADI)

PENGETATAN subsidi BBM menjadi pintu masuk komitmen pemerintah dalam mendukung net zero emisi karbon. Betulkah?

Penghilangan subsidi BBM memang menyebabkan harga naik dan sangat memberatkan rakyat. Tetapi, di sisi lain, subsidi juga memberatkan negara, apalagi yang sedang butuh dana besar untuk membangun infrastruktur. Tambahan pula jika suntikan dana itu dirasa tidak efektif. Bukan tepat sasaran. Hanya menyegarkan segolongan.Tentunya membuat tidak nyaman rakyat juga.

Tetapi, sebenarnya, ada isu penting lainnya yang lebih menggigit. Pengurangan penggunaan BBM menjadi titik tolak pengurangan pelepasan polusi karbon ke udara. BBM subsidi yang mempunyai kadar oktan rendah sering menyebabkan mesin mobil dan motor menggelitik. Itu ialah efek negatif ketidaksempurnanya pembakaran yang akhirnya melepaskan gas karbon seperti hidrokarbon, karbon monoksida, dan nitrogen dioksida. Dari sisi kesehatan, senyawa-senyawa itu ialah pemicu kanker dan penurunan fungsi paru-paru. Siapa yang mau mengidap itu? Niscayanya tidak ada.

Pada prinsipnya, semua aktivitas manusia berujung pada keinginan hidup dengan berusia panjang dan hidup dengan kualitas yang lebih baik. Oleh karena itu, kesehatan menjadi concern utama. Membangun udara bersih dari polusi karbon menjadi fokus dunia saat ini dengan Indonesia pun sudah berkomitmen berperan serta menyukseskan bersih polusi karbon pada 2060.

Kelanjutan komitmen tersebut juga memaksa penggantian kendaraan berbasis BBM dengan mobil listrik, penerapan program transisi energi, pengembangan energi baru dan terbarukan, serta industri-industri ramah lingkungan lainnya menjadi bidikan transformasi ekonomi Indonesia yang inklusif, hijau, dan berkelanjutan.

Nuklir menjadi salah satunya. Pada 2049 sudah menjadi pendukung pembangkit hijau yang baseload, terus-menerus selama 24 jam dioperasikan, tanpa jeda. Sudah saatnya nuklir bicara karena statement ‘pilihan terakhir’ itu ya saat ini. Oleh karena itu, tawaran kerja sama kepada Presiden Joko Widodo pada saat kunjungan ke Rusia 30 Juni 2022 terkait dengan nuklir tidak mencengangkan dan ini menjadi salah satu cara mewujudkannya.

Cek Artikel:  Transformasi Kurikulum

Kerja sama dengan Rusia juga bukanlah hal baru. Indonesia telah mempunyai hubungan erat dengan Rusia sejak era Presiden Pertama Sukarno. Dua cita-citanya menguasai teknologi nuklir dan antariksa. Karena itu, pendirian kedua lembaga tersebut diberi fondasi hukum, undang-undang.

Mengapa nuklir?
Memahami nuklir berarti berpartisipasi memantau efek percobaan nuklir yang dilakukan dua negara raksasa pada saat itu di area kepulauan Indonesia, apakah masih aman. Bukan itu saja, mempunyai pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) juga menjadi mimpinya. Pada 1965, pembangunan sipilnya sudah dilakukan. Namanya IRI-2000, desain Uni Soviet (kala itu). Lelahsinya di area Pusat Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Serpong.

Itu menunjukkan hubungan kedua negara, Indonesia dan Rusia, sudah terjalin sangat baik sejak dulu. Tetapi, proyek itu terhenti akibat pergantian angin politik, yang dimulai dengan pergantian presiden. Lima puluh tahun kemudian, tepatnya pada 2015, Indonesia melalui Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) di bawah pimpinan Prof. Dr. Djarot Sulistio Wisnubroto kembali kerja sama dengan Rusia dalam proyek pembangunan PLTN mini.

Diberi nama Reaktor Daya Eksperimental (RDE). Tipe high temperature gas cooled reactor (HTGR), dengan power 10 megawatt termal (MWt). Yang masuk dalam deretan PLTN generasi ke-4, dengan fitur keselamatan paling tinggi. Dijamin jauh lebih aman. Bukan akan terjadi kehebohan Fukushima dan Chernobyl.

Bagaimana nasib proyek RDE sekarang? Diistirahatkan program pembangunan fisiknya. Banyak hal terkait dengan politis dan konflik kepentingan meski izin lokasi sebagai step pertama perizinan pembangunan PLTN sudah didapat dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) untuk jangka waktu lima tahun.

Apakah menyerah begitu saja? Bukan. Sebagai lembaga pengembangan riset, Batan terus melakukan kegiatan terkait dengan peningkatan kemampuan anak bangsa, dari sisi memahami tingkat kesulitan desain dan dari sisi jaminan keselamatan. Kemampuan merancang sendiri berarti juga kemampuan menguasai teknologi di level lebih tinggi.

Cek Artikel:  Jalan Kesaktian Pancasila

Gebrakan saya selaku Kepala Pusat Teknologi dan Keselamatan Reaktor Nuklir (PTKRN) Batan saat itu jadilah desain PLTN Merah Putih – RDE 10 MWt. Prestasi itu telah diabadikan secara tercatat di booklet International Atomic Energy Agency (IAEA), Advanced Reactor Information System (ARIS) 2020. Prestasi pertama anak negeri didesain PLTN.

Mengapa memilih power mini? Karena dibangun di lokasi riset sebagai reaktor riset, sebagai pemenuhan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019, bahwa Indonesia akan mengoperasikan PLTN di 2019.

Batan dan Bapeten telah bekerja sama mencerdaskan diri dalam penguasaan teknologi PLTN berbasis HTGR, pada saat masuk ke step ke-2 proses perizinan, yakni lisensi desain. Total perizinan ada lima step, dengan setumpuk dokumen jaminan keselamatan yang harus dibuat pengusul. Tentunya, itu harus disetujui pemberi izin, yang bisa memakan waktu lebih dari 3 sampai 5 tahun.

Batan tidak bekerja sendiri. Konsep desain RDE didapat sebagai hasil kerja sama dengan Rusia. Ini juga menjadi jaminan keselamatan PLTN. Kemudian, desain terperincinya dilakukan personel Batan sendiri. Atas hasil kerja keras itu, Batan telah mendapatkan dua paten granted pada 2021, dengan waktu tunggu tiga tahun. Jadi, Indonesia sudah mempunyai pengalaman bekerja sama dengan Rusia secara baik.

Rusia mempunyai 38 PLTN hingga 2021, sebagai urutan ke-4 terbanyak jika dibandingkan dengan Amerika dengan 93 PLTN. Urutan ke-2 Prancis (56) dan ke-3 Tiongkok (51). Setelah Rusia ialah Jepang (33), Korea Selatan (24), India (23), Kanada (19), Ukraina (15), dan Inggris (13). Uni Emirat Arab (UEA) sudah mengoperasikan dua dan dua lainnya sedang dalam pembangunan. Bangladesh juga sedang membangun, bekerja sama dengan Rusia.

Cek Artikel:  Menjelang Vaksinasi Covid-19 di Indonesia

Akankah tawaran Vladimir Putin dipertimbangkan? Sebaiknya iya. Apabila berkomitmen pada janji menjadi pengontribusi zero emisi karbon pada 2060, pastinya PLTN masuk peta jalan energi negeri ini. UEA dengan empat PLTN berkapasitas total 5.600 megawatt dikabarkan dapat menekan emisi karbon sebesar 21 juta ton per tahun.

Selain itu, Rusia telah mempunyai teknologi yang telah dibuktikan pengoperasiannya, PLTN terapung berdaya mini, 40 megawatt. Konsepnya pun menarik, hanya docking, dan berlayar kembali ke negara asal untuk pengisian bahan bakarnya setelah beberapa tahun beroperasi. Tipe itu dilirik PT PJB, yang dituturkan Direktur Sumber Daya Sosok (SDM) dan Administrasi, Karyawan Aji, untuk dapat diproyeksikan pada daerah kepulauan yang terisolasi atau terpencil. Konsep pengembangan kerja sama dengan Pusat Riset Teknologi Reaktor Nuklir (PRTRN) sedang dalam proses. PLTN mini itu juga dapat dikonsep sebagai pengganti diesel yang mahal, berbahan bakar minyak penghasil emisi karbon, tidak hijau.

Konsep hijau
Mengawinkan teknologi PLTN hijau dengan fasilitas industri yang juga hijau, seperti fasilitas produksi gas hidrogen, akan lebih memberikan dampak keteguhan komitmen negeri ini pada konsep hijau.

SDM nuklir yang bernaung di Badan Riset dan Penemuan (BRIN), tempat eks Batan berteduh, juga sangat siap menjadi tempat bertanya, sebagai technical support organization (TSO). Juga, tentunya menjadi gudang pencetak dokumen keselamatan yang berpengalaman dan tepercaya di negeri ini terkait dengan pembangunan PLTN pertama Indonesia.

Tawaran investasi dari beberapa negara pengembang teknologi PLTN yang sangat tepercaya seyogianya ditangkap dengan cerdas sebagai pijakan energi hijau untuk Indonesia maju. Itu juga selaras dengan pernyataan Menteri Koordinasi Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada 7 September 2022. Kiranya Indonesia hijau pada 2060 tidak hanya menjadi angan.

Mungkin Anda Menyukai