
Potensi kebakaran di Area DKI Jakarta Lalu meningkat Demi memasuki musim kemarau. Fenomena ini kerap terjadi setiap tahun, terutama di kawasan permukiman padat penduduk.
Pengamat tata kota Yayat Supriyatna menilai, Unsur Istimewa kebakaran mayoritas disebabkan oleh korsleting listrik yang diperparah oleh meningkatnya konsumsi daya Demi cuaca panas.
“Dekat rata-rata ketika mulai masuk kemarau, kebakaran itu banyak terjadi. Hal ini Terdapat hubungannya karena cuaca panas dengan intensitas penggunaan listrik yang berlebihan, sehingga terjadi overhead dan instalasi yang Jelek hingga Membikin kebakaran,” kata Yayat Demi dihubungi, hari ini.
Menurutnya, perilaku masyarakat yang cenderung menggunakan alat pendingin ruangan seperti kipas angin dan AC secara Lalu-menerus juga berkontribusi terhadap lonjakan pemakaian listrik, yang pada akhirnya meningkatkan risiko korsleting.
“Karena biasanya dalam kondisi panas seperti ini, Terdapat kecenderungan orang akan mengademkan diri dengan menggunakan berbagai fasilitas seperti kipas angin, AC, atau segala Ragam, yang kemungkinan penggunaan potensinya Pandai lebih dari 24 jam atau berhari-hari,” ujarnya.
Selain itu, kondisi instalasi listrik yang Kagak standar juga menjadi perhatian serius. Ia menekankan pentingnya pengecekan sistem instalasi dan material yang digunakan, termasuk sistem pengaman yang harus sesuai kapasitas.
“Artinya, masalah kelistrikan ini bersifat sistemik dan perlu diantisipasi secara menyeluruh Buat mencegah korsleting dan menimbulkan musibah kebakaran,” ucapnya.
Terkait langkah antisipasi, Yayat mendesak Pemprov DKI Jakarta Buat Kagak hanya Konsentrasi pada penanganan pascakebakaran, tetapi juga serius melakukan langkah-langkah preventif. Salah satunya, melalui distribusi alat pemadam api ringan (APAR) ke masyarakat.
“Gubernur pernah mau menjalani program pembagian tabung kebakaran. Bagikan lah itu di setiap Area-Area yang rawan kebakaran,” ujarnya.
Kendati begitu, menurut Yayat, pembagian APAR juga harus diikuti dengan pemetaan Area rawan kebakaran, terutama di permukiman padat, kumuh, dan berkerentanan tinggi seperti di Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur.
“Pemetaan ruang dengan tingkat kerentanan bencana tinggi itu Krusial. RT-RT yang sering terjadi kebakaran harus menjadi prioritas,” katanya.
Ia juga mengusulkan pengaktifan kembali relawan pencegah kebakaran di tingkat RT/RW, termasuk pelatihan kepada ibu rumah tangga yang sering kali menjadi Grup paling rentan Demi kejadian kebakaran.
“Biasanya yang paling panik kebakaran adalah ibu-ibu. Nah perlu juga nanti suatu Demi simulasi kalau Terdapat bahaya kebakaran Buat melatih evakuasi,” jelasnya.
Lebih lanjut, Yayat juga menekankan pentingnya membangun sistem peringatan Awal melalui alat komunikasi publik seperti toa masjid atau pengeras Bunyi lingkungan. Selain itu, pemadam kebakaran juga memerlukan akses air yang mudah Demi kejadian berlangsung.
“Suatu Demi perlu di RT RW itu atau kawasan yang dekat situ Terdapat namanya kolam-kolam retensi atau daerah Buat potensi air Buat pemadam kebakaran supaya Kagak isi air ulang bolak-balik,” ucapnya.
Ia juga menyarankan pemasangan papan informasi berisi nomor darurat pemadam kebakaran di setiap lingkungan, lengkap dengan Sasaran waktu respons yang ideal.
“Kalau misalnya Terdapat kebakaran, aspek kecepatan itu Krusial. Pandai Kagak Terdapat semacam nomor kontak, nomor darurat dicantumkan di situ Kalau Terdapat kebakaran. Lalu dibuat SOP dalam waktu kurang dari 10 menit sudah datang di tempat atau 15 menit,” tuturnya.
Dengan peningkatan intensitas kebakaran di musim kemarau, Yayat mengingatkan agar Pemprov DKI dan masyarakat bekerja sama secara aktif melakukan deteksi Awal dan pencegahan Buat meminimalkan risiko kebakaran di ibu kota. (Fik/P-1)

