Pemimpin Pemarah

BOLEHKAH pemimpin marah? Sebagai manusia, lumrah jika dia marah. Bolehkah seorang pemimpin suka marah-marah, pemarah? Apa pun, sesuatu yang berlebihan tak baik dilakukan, apalagi soal marah.

Marah ialah kodrat manusia. Ia bagian dari perasaan yang dimiliki oleh setiap orang. Karena itu, setiap orang wajar, normal, marah. Tak cuma berakibat buruk, marah juga bisa berimbas baik. Eksis sisi positif. Marah dianggap sebagai ekspresi perlawanan atas kemandekan. Aktivis hak asasi manusia Amerika, Malcolm X, pun pernah bilang, ”Ketika mereka marah, mereka tengah membuat perubahan.”

Bagi pemimpin, marah boleh, bahkan perlu. Pemimpin harus marah ketika menghadapi hal-hal yang tidak patut, hal-hal yang buruk. Dia mesti marah di saat kinerja anak buahnya tidak benar, tatkala pelayanan kepada masyarakat tak beres.

Tetapi, marah ada porsinya, ada batasnya. Orang bisa marah, tapi jangan pemarah. Apalagi, pemimpin, terlebih yang sedang punya banyak kuasa. Celaka dua belas jika pemimpin darting, darah tinggi.

Eksis banyak contoh pemimpin pemarah. Siapa yang tak tahu Hitler? Dia temperampental, emosional, bahkan psikopat. Dia memicu Perang Dunia II yang memakan korban jutaan manusia.

Di negara kita tercinta, Indonesia, juga ada pemimpin pemarah, setidaknya suka marah. Ali Sadikin salah satunya. Gubernur DKI Jakarta 1966-1977 ini dikenal sebagai kepala daerah yang pembawaannya meledak-ledak, suka marah-marah.

Cek Artikel:  Menabur Rahmatan lil Alamin

Kata-kata makian seperti ‘sontoloyo’, ‘monyet’, ‘goblok’ tak jarang disemprotkan kepada siapa saja yang dinilai merusak imej Jakarta yang tengah melangkah dari big village ke kota metropolitan. Karena itu, ‘Gubernur Monyet’ menjadi salah satu julukannya. Berkualitasnya, setelah marah, Bang Ali meminta maaf.

Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok contoh lain. Begitu memimpin Jakarta 2014-2017, dia juga kerap mengumbar amarah. Tak cuma kepada anak buah, wartawan, rakyat biasa, bahkan ibu-ibu, jadi sasaran amarahnya.

Eksis pula Tri Rismaharini. Berkualitas kala menjabat wali kota Surabaya, Jawa Timur, maupun menteri sosial, Bu Risma tak jarang lepas kontrol, marah-marah, di depan publik. Di mana pun, kapan pun, dia marah ketika anak buahnya atau orang lain memantik amarah.

Kini, label pemimpin pemarah dilekatkan ke Prabowo Subianto. Menteri Pertahanan yang juga calon presiden nomor urut 2 itu dipersepsikan emosional, temperampental. Banyak cerita yang menarasikannya sebagai orang yang doyan marah.

Persepsi itu pun menguat lagi akhir-akhir ini. Di panggung debat capres edisi pertama, dia dinilai tak bisa mengontrol emosi. Selepas debat kedua, dia menjadi-jadi. Kata-kata kasar, umpatan, meluncur dari mulutnya. Prabowo, umpamanya, menyasar seseorang dengan kalimat ‘pinter atau goblok’. “Kerabat-saudara ada pula yang nyinggung-nyinggung punya tanah berapa, punya tanah ini, dia pinter atau goblok, sih?” begitu katanya dalam kampanye di Riau.

Cek Artikel:  Untung Terdapat Mudik

Simak juga kalimat ini. ”Eksis yang mengatakan, maaf, karena saya ini juga pelihara hewan, kita kasih makan ke hewan, hewan itu baik sama kita, tapi ada manusia yang kita memberi dukungan, kita memberi segalanya, yang dibalas ialah kedengkian.”

Kalimat-kalimat itu jelas dan pasti ekspresi emosi. Goblok ialah umpatan tingkat tinggi. Mengatribusi seseorang dengan manusia ialah makian kasar. Kalau di Jawa ada yang menyebut orang lain sebagai menungso (manusia), bukan wong (orang), berarti dia marah besar. Siapa yang dituju Prabowo? Tak sulit untuk menebak, dia ialah Anies Baswedan yang menyerangnya habis-habisan di panggung debat.

Betulkah Prabowo pemarah? Sang adik, Hashim Djojohadikusumo, pernah memberikan jawaban. Dia mengakui kakaknya itu bertemperamen tinggi. Dia bilang paling sering dimarahi. ”Dia ibarat gunung merapi, meletus lalu sejuk. Dia selalu minta maaf,” tuturnya pada suatu waktu.

Kata para bijak, pemimpin, apalagi pemimpin tertinggi, seorang presiden, harus piawai mengontrol diri karena dalam dirinya melekat kekuasaan luar biasa, bahkan kekuatan senjata. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menganalogikan pemimpin bak sopir bus. Apabila sopir suka marah-marah dan emosian, dia bisa menyebabkan kecelakaan.

Cek Artikel:  Pelajaran dari Konser Mbak Taylor

Saya lebih suka mengibaratkan presiden dengan nakhoda yang bertanggung jawab atas keselamatan kapal untuk bisa sampai pelabuhan yang dituju. Dalam kisah Flying Dutchman, ada nakhoda asal Belanda bernama Hendrik van der Decken. Sebagai kapten kapal, dia andal sehingga dipercaya VOC meski temperamental, suka bertingkah aneh, bahkan pemabuk.

Pada 1641, Van der Decken menakhodai kapal dagang berlayar dari Batavia menuju Belanda. Di perairan Cape of Good Hope (Tanjung Asa), Afrika Selatan, badai besar melanda. Demi keselamatan kapal dan anah buahnya, dia semestinya tak nekat menerjang badai, tapi temperamennya lebih berkuasa. Dia bersumpah, ”I will round this Cape, even if I have to keep sailing until doomsday!“ (Saya akan selalu mengarungi semenanjung ini walaupun harus berlayar sampai kiamat).

Singkat cerita, kapal itu tak pernah kembali ke Belanda atau bersandar di dermaga mana pun di dunia. Ia diyakini tenggelam, lalu menjadi kapal hantu. Nakhoda kiranya harus sehat jiwa dan raga, termasuk tentu saja nakhoda kapal besar bernama Indonesia.

Mungkin Anda Menyukai