Pemimpin Jarkoni

ADA nuansa menyedihkan saat anggota terpilih DPR 2024-2029 mulai bersiap mengemban mandat rakyat. Dalam kegiatan Pemantapan Birui-Birui Kebangsaan yang diselenggarakan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) mereka dinasihati orang yang dianggap tak layak memberikan nasihat.

Momen tersebut terjadi pada Minggu, 22 September 2024, ketika kegiatan itu memasuki seri materi penguatan antikorupsi untuk penyelenggara negara berintegritas. Singkatan kerennya PAKU Integritas.

Pembekalan bagi calon-calon wakil rakyat akan pentingnya integritas dan antikorupsi memang penting, sungguh penting. Mereka yang sebagian merupakan debutan perlu diberi pemahaman bahwa menjadi penyelenggara negara tak segampang yang dikira. Iman kebangsaan mereka perlu diberi bantalan lantaran iming-iming sesat, godaan-godaan menyimpang, bisa datang setiap saat di sembarang tempat.

Baca juga : Jadi Mantan Presiden, Nikmat?

Kita layak mengapresiasi kegiatan itu. Cermat bahwa pembekalan bukanlah jaminan bahwa iman mereka akan setangguh karang. Tetapi, ia bukannya tak bermanfaat. Iuran pertanggungansnya, kalau sudah diingatkan sejak awal saja masih banyak yang salah jalan, apalagi jika tak ada pembekalan sama sekali.

Siapa yang seharusnya memberikan arahan, pembekalan, pemantapan? Itulah persoalannya. Eksislah Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pembicara dalam kegiatan tersebut, yang kemudian jadi sorotan. Ia berceramah, menebar arahan bahwa integritas ialah keniscayaan bagi penyelenggara negara, termasuk anggota parlemen. Ia bicara isu korupsi dan dampaknya bagi Indonesia, juga perihal integritas.

Cek Artikel:  Muslihat Debat

Meminta orang lain berintegritas hanya pantas dilakukan mereka yang juga berintegritas. Apa kata dunia jika orang tak berintegritas mengingatkan orang lain untuk berintegritas? Itulah persoalannya.

Baca juga : Sean Gelael Optimistis Raih Podium di Sao Paolo

Berintegritaskah Ghufron? Siapalah saya untuk menyimpulkannya. Tetapi, jika merujuk kamus kompetensi perilaku KPK bahwa integritas artinya bertindak secara konsisten antara apa yang dikatakan dan tingkah lakunya sesuai dengan nilai-nilai yang dianut (nilai-nilai dapat berasal dari nilai kode etik di tempatnya bekerja, nilai masyarakat, atau nilai moral pribadi), ia cacat soal itu. Ia belum lama ini divonis melakukan pelanggaran etik sedang oleh Dewan Pengawas KPK.

Ghufron terbukti menyalahgunakan pengaruh untuk kepentingan pribadi terkait dengan urusan mutasi pegawai Kementerian Pertanian. Dendanya memang tak seberapa, cuma pemotongan penghasilan di KPK sebesar 20% selama enam bulan. Jauh lebih ringan ketimbang bekas Ketua KPK Firli Bahuri yang dipecat karena melakukan pelanggaran etik berat.

Begitulah, Ghufron yang melanggar etik bicara integritas. Sungguh menyedihkan. Itu pula yang dipermasalahkan salah satu caleg terpilih DPR, Tia Rahmania. Member Fraksi PDIP dari Banten I itu mengaku kesal dengan ceramah Ghufron, lalu interupsi.

Cek Artikel:  Habis Pilkada Terbitlah Konflik

Baca juga : SDN 085 Ciumbuleuit dan SDN 043 Cimuncang Raih Podium Teratas

Tia bahkan bilang enek, pusing. Sinonim enek antara lain hendak muntah. Kiranya tiada kata yang lebih sadis ketimbang enek untuk mengungkapkan ketidaksukaan pada seseorang. “Pak Nurul Ghufron yang terhormat, daripada Bapak bicara teori seperti ini, kita semua tahu negara ini dalam kondisi tidak baik-baik saja. Mending Bapak bicara bagaimana kasus Bapak memberikan rekomen pada ASN, bagaimana kasus-kasus Bapak yang lain bisa lolos,” kata Tia ketus.

“Korupsi itu intinya etika dan moral, Pak. Saya adalah salah satu dosen antikorupsi. Terima kasih, Pak, karena Pak Ghufron sendiri yang membuka. Harap ini masukan bagi panitia Lemhannas, kalau bisa cari pematerinya yang memberikan nilai-nilai baik. Terima kasih, saya izin keluar,” cetusnya lagi.

Apa yang dilakukan Tia semestinya menggembirakan. Keberaniannya menggugat integritas seorang pemimpin yang bermasalah itu baik. Bagus karena ia bagian dari tugas wakil rakyat sebagai pengawas, juga baik buat yang diawasi agar tak berlaku semaunya.

Baca juga : Semangat Juang Jadi Modal bagi Nizar Raih Podium Bali Trail Run Ultra 2024

Masalahnya, jika apa yang dikatakan Ketua DPP PDIP Bidang Kehormatan Komarudin Watubun benar, Tia tak jauh beda dengan Ghufron. Menurut Komarudin, Mahkamah Partai menyatakan Tia terbukti menggeser suara untuk jadi pendulang suara terbanyak demi melenggang ke Senayan. Ia dipecat dan digantikan Bonnie Triyana yang kemudian ditetapkan KPU, sehari setelah Tia menyemprot Ghufron. Duh!

Cek Artikel:  Ramadan Selamanya

Sejatinya pemimpin ialah yang selaras antara kata dan perbuatan. Bukan yang ‘jarkoni’, iso ujar ora iso nglakoni (bisa berucap tak bisa menjalankan). Atau iso ngajar ora iso nglakoni (bisa mengajar, tapi tak bisa mengamalkan). Omong doang.

Menasihati orang lain untuk berintegritas, tapi ia sendiri cacat integritas ialah pemimpin jarkoni. Pun, menyoal pemimpin model itu, tapi intregitasnya juga cela, berarti sama-sama jarkoni. Kerap mengingatkan jajarannya untuk hidup sederhana, tak hedon, tapi membiarkan istri, anak, mantu hobi bermewah-mewah, termasuk pemimpin jarkoni pula. Mereka bukanlah pemimpin yang layak menjadi penyampai etika dan moral, apalagi diteladani.

Pemimpin jarkoni boleh-boleh saja, bahkan begitulah seharusnya. Akan tetapi, jarkoni seperti yang dicontohkan KH Abdul Rozaq Fachruddin atau Pak AR, Ketua Standar PP Muhammadiyah 1968-1990 nan bersahaja. Jarkoni versi Pak AR artinya pelajari dan lakoni yang baik-baik untuk rakyat, bangsa, dan negara.

Mungkin Anda Menyukai