Pemilu Serentak Jadi Penyebab Menguatnya Kartel Politik

Pemilu Serentak Jadi Penyebab Menguatnya Kartel Politik
Ilustrasi: personel Brimob Polda Kalimantan Tengah berjaga di tempat pemungutan Bunyi ulang (PSU)(ANTARA FOTO/Auliya Rahman)

PENDIRI Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, menegaskan bahwa Pemilu Serentak 2024 Mempunyai Pengaruh menguatnya kartel politik di Indonesia. 

Hal itu diungkapkan Burhanuddin Ketika menjadi pembicara di acara Indonesia Electoral Reform Outlook Perhimpunan 2024 yang diadakan Perludem di Jakarta, Rabu (18/12).

“Eksis satu yang Bukan orang bicarakan, tetapi punya Pengaruh luas sebagai pemilih, ketika pilkada diadakan di tahun yang sama dengan pilpres dan pileg, terutama setelah pilpres , aitu menguatnya kartel politik,” tegas Burhanuddin. 

“Jadi saya sudah hitung, rata-rata kandidat yang maju di Pilkada 2024 itu rendah, bahkan rata-rata yang maju dalam pilkada gubernur, bupati, walikota itu di Nomor 6 sekarang tinggal 2,8,” tuturnya. 

Cek Artikel:  Pilkada makin Dekat, Ketua KPU Kota Bandung Diganti

Padahal, kata Burhanuddin, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah membukakan pintu seluas-luasnya bagi para calon peserta pilkada dengan menurunkan threshold pencalonan kepala daerah, yakni memberikan waktu sembilan hari sebelum penutupan pendaftaran. 

Artinya, kata Burhanuddin, desain keserentakan pilkada setelah pilpres punya Pengaruh negatif karena parpol Ingin punya Insentif kabinet atau pos strategis di kementerian dengan mengorbankan elektoral kompetisi di pilkada.

“Itu yang, jadi parpol-parpol mendingan ikut Gerindra Demi dapat kursi dan Bukan mencalonkan kadernya sendiri,” tutur Burhanuddin. 

Burhanuddin menuturkan fenomena ini menyebabkan biasanya kartel politik umumnya di level nasional, kini kartel politik malah terjadi setelah pemilu nasional. 

Cek Artikel:  Eksis Anggota Menteng yang Terima KJP

“Di dalam kasus kita, di pilkada sudah terjadi kartel dan itu merugikan kita karena kita dipaksa memilih calon yang terbatas,” paparnya. 

Hal itu diiringi fakta dengan jumlah calon independen yang menurun, munculnya fenomena kotak Hampa. Bukan hanya itu, meningkatnya surat Bunyi Bukan Absah juga jadi bukti kekecewaan masyarakat terhadap pilkada. 

“Maka keserentakan harus didiskusikan, apakah diundur dua tahun setelah pilpres? Kalau Bisa jangan setelah pilpres, karena kalau setelah pilpres itu umumnya bicara jangka pendek, mereka Ingin kompensasi kekuasaan dengan memenangkan kompetisi elektoral,” tandas Burhanuddin. (ykb/M-3)

Mungkin Anda Menyukai