TINGGAL dua hari lagi masa pencoblosan Pemilu 2024 berlangsung. Tetapi, kekhawatiran pesta demokrasi akan berlangsung tidak jujur, tidak adil, tidak bebas, dan tidak transparan masih membayangi. Kekhawatiran ini bukan isapan jempol mengingat berbagai pelanggaran pemilu telah terjadi selama 75 hari masa kampanye.
Setelah sejumlah aparat kepolisian di Jawa Tengah diduga merayu beberapa pimpinan perguruan tinggi untuk membuat rekaman video yang berisi puja puji tentang Presiden Joko Widodo, kini mereka membuat surat untuk meminta data nama-nama kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS).
Surat dari Polres Cimahi, Jawa Barat, yang ditujukan ke Komisi Pemilihan Biasa Kota Cimahi yang isinya meminta data nama-nama KPPS, bocor ke publik. Dalam surat yang ditandatangani Kepala Satuan Intelijen dan Keamanan Polres Cimahi atas nama Kapolres Cimahi itu tertera mereka meminta data nama KPPS berikut nomor telepon selulernya. Tujuan dari surat itu, kata pejabat Polres Cimahi itu, untuk memudahkan koordinasi selama kegiatan pengamanan tahapan Pemungutan Bunyi Pemilu Serentak tahun 2024.
Surat berbau intervensi itu bisa membuat ketidaknyamanan penyelenggara pemilu. Pasalnya, penyelenggara pemilu harus memiliki kemandirian dan menjunjung tinggi pofesionalisme mereka dalam bertugas. Wajar bila berbagai kalangan, termasuk Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta melihat bahwa surat itu bagian dari intimidasi aparatur negara kepada penyelenggara pemilu.
Aparatur negara bisa memiliki seribu dalih seperti dalih mereka mengintimidasi pejabat kampus. Mereka berdalih bahwa video itu sebagai cooling system untuk menciptakan pemilu damai dan menyejukkan.
Tetapi, apa pun dalihnya, surat untuk meminta data nama dan nomor ponsel KPPS tak bisa dibenarkan. Terlebih, koordinasi dan penegakan tindak pidana pemilu sudah ditangani Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang melibatkan Bawaslu, kejaksaan, dan kepolisian. Lembaga inilah yang mengawal proses pemilu agar berjalan dengan baik dan sesuai peraturan yang berlaku.
Langkah kepolisian yang terlalu jauh masuk cawe-cawe dalam pesta demokrasi itu tidak sesuai dengan fungsinya sesuai Pasal 2 Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa fungsi kepolisian adalah pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam konteks pemilu, Polri harus membantu kelancaran pesta demokrasi dan memastikan terciptanya asas kesamaan dalam hukum (equality before the law) tanpa memiliki tendensi menjadi alat politik untuk mendukung salah satu paslon.
Dengan semangat Polri Presisi seyogianya Polri berada di garis depan untuk menciptakan pemilu yang berkualitas, yakni pesta demokrasi
yang menggembirakan, partisipatif, adil, transparan, akuntabel, dan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi. Tunjukkan bahwa Polri memang presisi.