Pemilu 2024 dan Kebangkitan Politik Profetik

Pemilu 2024 dan Kebangkitan Politik Profetik
Maghfur Ahmad Guru Besar, Wakil Rektor Universitas Islam Negeri KH Abdurrahman Wahid, A’wan PCNU Kota Pekalongan, Jawa Tengah(Dok. Pribadi)

MENJELANG Pemilu 2024, momentum Maulid Nabi (Natalis Nabi Muhammad) idealnya menjadi inspirasi tumbuhnya berdemokrasi yang sehat. Demokrasi yang berbalut nilai, akhlak, dan pengetahuan. Nabi hadir Kepada membangun etika paripurna (li utammima makarim al-akhlak).

Akhlak ini menjadi panduan Krusial dalam berdemokrasi elektoral dan Kepada mencapai teleologis demokrasi, Yakni tercapainya masyarakat sejahtera tercerahkan (min al-dlulumat ila al-nur).

Al-Tabari (839-923 M) dalam Tarikh al-Rusul wa al-Muluk menilai bahwa Natalis Nabi merupakan titik pangkal bangkitnya peradaban. Nabi mentransformasikan etika demi keluar dari lorong-lorong gelap politik tribalisme menuju politik profetik. Politik profetik ditandai spirit transformasi dalam berbangsa dan bernegara berdasarkan etika, demi terpenuhinya hak dasar dan kesejahteraan Kaum.

Pemilu 2024 menjadi hajat Berbarengan Kepada memilih nakhoda ‘Bahtera’ besar Indonesia. Aspek prosedural dan subtansial perlu berjalan seirama. Pemilu dirancang Kepada dinamisasi, transformasi, dan adaptasi. Persis seperti Maulid Nabi, Pemilu 2024 sejatinya momentum perubahan, menggalang partisipasi, Kepada melahirkan calon pemimpin yang segar, serta demi reorientasi bernegara.

Melalui peringatan Maulid, pesta demokrasi Dapat menjadi sarana penataan ulang, mengurai benang kusut, seperti yang dilakukan Nabi dalam menata prinsip, nilai, dan infrastruktur peradaban yang kosmopolit, al-Mandinah al-Munawarah.

Kajian ini menawarkan spirit Maulid dalam konteks Pemilu 2024 dalam bingkai politik profetik. Mendorong partisipasi Kaum demi transformasi berkelanjutan. Kehadiran nabi membawa perubahan besar. Nilai-nilai kenabian menjadi ancaman bagi nilai dan sistem politik, ekonomi, dan hukum yang Enggak berkeadilan. Pemilu 2024 menjadi pintu masuk tatanan kehidupan yang lebih partisipatif, adil, dan menyejahterakan.

 

Pemimpin transformatif

Maulid Nabi merupakan gerbang perubahan. Perubahan berdasarkan arah dan nilai kenabian. Menyempurkan etika menuju masyarakat yang tercerahkan (al-nur). Begitu pula sejatinya pemilu. Pemilu Enggak sekadar suksesi pimpinan. Pemilu ialah berpikir kembali tentang komitmen. Cerminan atas jalannya bernegara. Ia merupakan gerak langkah mengapai cita-cita mulia.

Melalui pemilu, Eksis Penilaian, progres, dan capaian-capaian. Capaian rasa makmur, sejahtera, dan keadilan sosial sebagai terminal rasa. Pemilu bukan menata ulang posisi. Bukan drama keserakahan. Jangan Tamat pemilu menjadi senjata pembunuh demokrasi. Jagal mematikan Penemuan, kreativitas, dan humanisasi. Pemilu idealnya melahirkan pemimpin transformatif, Kepada menancapkan pilar-pilar perubahan.

Meski demikian, Segala pihak perlu waspada. Pemilu ialah sebilah bermata dua. Kalau Enggak Pandai menjadi lentera Asa, pemilu berbalik arah menjadi pisau yang siap merobek ikatan solid keindonesiaan.

Levitsky & Ziblatt (2018) dalam How Democracies Die memberi peringatan keras, “demokrasi Wafat karena pemimpin terpilih.” Itu Dapat saja terjadi, Kalau pemilu hanya ritual. Rutinitas hampa Arti. Agenda lima tahunan minus roh perbaikan. Berhenti pada pertarungan elektoral. Ujung-ujungnya, di balik pesta rakyat, terselip agenda Lahan-mengapling ‘singgasana’.

Cek Artikel:  Syafii Maarif dan Geliat Intelektualisme di Kalangan Muda

Itulah mengapa Enggak sedikit Ahli yang menilai politik itu jalan gelap. Kotor, penuh intrik, dan menyimpan aroma busuk. Parodi hukum rimba yang memuakkan. Menghalalkan segala Langkah demi kuasa. Menggunting lipatan dengan Sasaran untung berlipat. Pemilu terlalu mahal Kalau hanya Kepada festivalisasi adu jegal. Momen Maulid Nabi menjadi spirit juang mereformasi sistem, praktik, dan Akibat pemilu Kepada Indonesia Terbangun.

Filosofi Maulid Nabi meluruskan garis bengkok dunia politik. Pemilu mestinya melahirkan pemimpin Rapi, inspiratif, dan transformatif. Slogan “kekuasaan selalu berlumur darah” Dapat dikendalikan. Politik berkelindan rayahan kue, proyek, dan aset ditransformasikan menjadi Kekuatan menata negeri. Krusial rupanya memosisikan pemilu menjadi ruang gerak Kaum berpartisipasi, Kaum mengabdi.

Meminjam bahasa HG Wells (1913), pemilu adalah perang kecil (little war) elektoral, menjadi arena kontestasi, perang ide, adu gagasan, serta perebutan peran Kepada menyejahterakan rakyat sebagai pertempuran ‘sungguhan’, (great battle).

Merujuk pada semangat Maulid Nabi, segenap pimpinan, politisi, dan rakyat perlu ‘terlahir’ kembali. ‘Menyusikan’ niat kembali. Pemilu dan dunia politik kebangsaan ialah jihad Bersih. Jalan paling absah dalam sistem demokrasi. Pemilu yang berintegritas menjadi jalan ‘kenabian’ yang penuh Harkat.

Jejak-jejak kehadiran dan perjalanan Nabi menjadi fakta pembanding tesis Ahli politik Laswell (1902-1978). Dalam The Political Sciences, Laswell berujar, “dunia politik adalah siapa mendapat apa, Bilaman, dan bagaimana strategi memperolehnya.” Slogan itu Enggak relevan dengan laku politik Nabi. Nabi menganjurkan perpolitikan yang santun, Rapi, partisipatif, juga menghargai keragaman dan memakmurkan.

Menuju Indonesia Emas 2045, ajang Pemilu 2024 Semestinya melampaui mekanisme prosedural, kemenangan elektoral, dan kepentingan primordial partai politik. Langkah politik naif segera disetop. Modus-modus kotor, hitam, dan berlumur kemunafikan sebaiknya Enggak dibiarkan mengotori sakralitas politik.

Koalisi, lobi, dan negosiasi semata demi ‘siapa menjadi apa, siapa duduk di mana, siapa mendapat apa dan berapa’, Enggak Kembali produktif dan konstributif. Berkaca pada politik kenabian, pemilu ialah titik Nihil pintu masuk perubahan demi perubahan. Nabi Kokoh berjuang mewujudkan transformasi sosial, politik, hukum, dan budaya yang lebih beretika.

WM Watt (1981) dalam Muhammad at Madina, memberi ilustrasi perubahan yang diinisiasi Nabi Muhammad. Ruang publik Madinah Ketika itu diliputi suasana provokatif, pengkhianatan, hoaks, konflik, sukuisme, tribalisme, primordial, diskriminatif, penuh kebencian, dan permusuhan.

Kehadiran Nabi membentuk nilai, kognisi, kapasitas, struktur, dan jaringan sosial baru. Konflik sosial direda. Muslim dan nonmulim hidup satu derap langkah berdampingan. Lelaki Perempuan setara. Peran, partisipasi, akses, dan manfaat Dapat dinikmati secara berkeadilan. Berbudakan secara perlahan disirnakan. Perbedaan Bangsa, etnik, Religi, dan politik dijadikan sebagai Kekuatan kekuatan. Mereka bergandeng erat membangun Madinah, di Dasar panji Piagam Madinah.

Cek Artikel:  Tanpa Saka Menjinakkan Manchester City

Muhammad, sang pemimpin transformatif, membawa perbaikan. Menjadi lautan inspirasi perubahan yang tak bertepi. Berbekal risalah nubuwwah, Kaum negara Madinah hidup seatap dalam rumah berlangit kasih sayang. Berpijak pada bumi egalitarian. Menghirup napas inklusivitas, penuh toleran, dan moderat. Tentu, Segala Kaum bersolek, dengan pelita indah rasa Acuh, empati, membantu, dan berbagi (QS, 59: 9).

 

Politik profetik

Natalis Nabi membawa angin perubahan bagi masyarakat. Melalui nilai-nilai kenabian, Nabi menjadi negarawan yang Acuh pada nasib rakyat. Di sisi lain, partisipasi Kaum menjadi salah satu indikator keberhasilan pemilu. Tentu, Enggak parkir di bilik elektoral saja. Kaum negara berhak mendapatkan kesejahteraan dan kemakmuran sebagai ‘buah matang’ demokrasi. Dari dan Kepada rakyat ialah harga demokrasi.

Kaum negara menjadi kunci Istimewa. Kerja-kerja politik profetik mengajarkan urgensitas peran keumatan. Nabi bergaya hidup merakyat. Gaya hidup itu cermin ideologi, komitmen, dan orientasi politik. Sejuta cerita memenuhi dinding sejarah, “Nabi lebih nyaman berkawan, bersahabat, hidup, dan bercengkerama dengan kaum miskin papa.”

Karena itu wajar beliau merasakan langkah berat kenestapaan, sesak napas kemiskinan, dan beban hidup kelaparan rakyat. Nabi paham denyut nadi rakyat Dasar. ‘Mengerti kondisi rakyat ialah modal bagi pimpinan dalam menentukan arah kebijakan. Kasus Rempang, ujian Konkret di mana keberpihakan pemimpin kita?

Membela rakyat miskin menjadi bukti politik kenabian. JM Koller (2004) dalam From the Prophet to the Present, mengukir jejak manis politik profetik. Katanya, kehadiran Nabi Pandai menebar kesejahteraan dan perdamaian bagi Kaum. ‘Sejahtera’ dan ‘damai’ ialah buah dari politik transformatif yang diusung Nabi.

Beliau rela hidup sederhana, meniti lorong berliku nan gelap kemiskinan. Lorong gelap itu yang mesti diteladani para pejabat dan politisi. Kuasa ialah melayani, mengabdi, dan Acuh. Kaum negara menjadi prioritasnya prioritas. Nabi arsitektur Peradaban Madinah. Madinah berdiri kukuh di atas pilar konsensus. Tiap-tiap elemen, lapisan, dan unsur masyarakat Krusial dan berperan. Narasi besar ‘tujuan berbangsa’ dirumuskan berbasis kebutuhan dasar umat.

Pada sektor di mana Nabi Enggak begitu menguasai, beliau memercayakan sahabat yang Spesialis. Katanya, antum ‘alamu bi umur al-dunya kum, Anda lebih kapabel tentang bidang, sektor, urusan, dan keahlianmu. Keputusan politik mengenai hajat hidup publik diambil secara mufakat. Rakyat dipercaya, dipenuhi hak-hak pilitik, sipil, dan sosialnya. Mereka diberi peran sesuai regulasi. Konstitusi menjadi rambu-rambu Segala pihak. Enggak pandang bulu. Telah Terkenal, Nabi siap menjadi eksekutor, Kalau Fatimah, sang anak terkasih, melanggar aturan. Itulah sebabnya, muncul trust. Pemimpin dan rakyat saling melindungi karena percaya.

Cek Artikel:  Darurat Judi Online

Nabi menghidupkan ‘ruang publik’, jauh sebelum Jurgen Habermas mengenalkan kepada khalayak. Menumbuhkan gelora partisipasi Kaum merupakan salah satu legasi Nabi. Posisi Kaum vital dalam struktur bernegara. Perhimpunan rembug Kaum digelorakan. Jiwa Acuh dan kritisisme Kaum terhadap kebijakan negara difasilitasi.

Enggak Eksis manipulasi Bunyi rakyat. Enggak Eksis pembelokan arus kehendak Kaum. Pembesar dan rakyat kecil Mempunyai bobot Bunyi yang sama. Letak bedanya hanya pada kualitas argumen yang terukur, teruji, dan terkonfirmasi. Transformasi negara Eksis di genggaman tangan Kaum.

Kredo politik Marshall (1950) dalam magnum opusnya, Citizenship and Social Class, mengatakan itu. Berdemokrasi yang sehat bertumpu pada partisipasi Kaum Kepada mengakses hak politik (political right), hak sipil (civil right), dan hak sosial (social right).

Akses hak politik menjamin setiap Kaum bebas terlibat secara politik. Menjadi bagian dari partai, memilih dan dipilih, serta ikut aktif dalam membangun narasi besar politik kebangsaan. Kaum negara Mempunyai hak politik yang harus dipenuhi negara.

Hak sipil mengacu pada setiap Kaum punya hak dasar, asasi, dan kebebasan Mendasar sebagai Insan. Kaum berhak hidup bebas, dapat pengakuan, hidup Terjamin, nyaman, bebas berserikat, dan bebas dari perbudakan. Hak sosial merujuk pada hak menikmati hidup sejahtera, makmur, dan adil. Negara wajib memenuhi hak-hak rakyat tersebut. Melalui inspirasi Maulid Nabi, Nabi menjamin hak-hak Kaum, melampaui sekat-sekat Religi, etnik, dan kehendak primordial.

Memperingati Hari Natalis Nabi, sejatinya kita berenang di sungai perubahan penuh limpahan ‘spirit juang kenabian’. Pemilu 2024 merupakan arus deras ‘ujian elektoral’ awal (little war). Pandai menaklukkan gelombang ‘pemilu’ ini, Enggak Mekanis menjadi ‘pemenang/perenang hebat’.

Demokrasi mengajarkan seperti kata Stein Ringen (2007), What Democracy is For (2007). ‘Perenang hebat’ pada sungai demokrasi ialah tokoh terpilih ‘rakyat’ melalui mekanisme demokrasi yang Absah. Tetapi, Enggak cukup itu, ‘perenang hebat’ itu wajib Mempunyai kapasitas yang memadai Kepada mengubah hidup Kaum menjadi sejahtera, damai, dan Gembira. Politik profetik, berorientasi Kepada Kaum menjadi sejahtera, adil, makmur, dan Gembira, seperti janji Indonesia merdeka.

 

Mungkin Anda Menyukai