PEMERINTAHAN baru ditantang untuk bisa mengubah arah dan kebijakan politik pangan nasional ke depan. Pasalnya, politik pangan Indonesia saat ini dinilai serampangan dan menjauh dari misi untuk memperkuat ketahanan pangan.
Demikian disampaikan Guru Besar Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Diponegoro FX Sugiyanto dalam diskusi daring bertajuk Penguatan Ketahanan Pangan dan Pengentasan Kemiskinan: Pekerjaan Rumah Prabowo-Gibran, Minggu (22/9).
Sugiyanto mengatakan, perubahan politik pangan itu dapat dilakukan dengan mencabut ketentuan pangan yang ada di dalam Undang-Undang 11/2020 tentang Cipta Kerja dan mengembalikannya pada UU 18/2022 tentang Pangan. Karena, UU Cipta Kerja menjadikan kebijakan impor sebagai bagian integral dari pencapaian ketahanan pangan.
Baca juga : Sang Hyang Seri Didorong Menjadi Pusat Benih Nasional
“Ini harus diubah. Dalam perspektif UU (yang sekarang), jelas bahwa impor itu bagian integral dalam sistem pangan kita, berbeda dengaN konsep UU 18/2012 dan ini sangat berbahaya ketika bicara petani, ketahanan nasional,” jelasnya.
Ketentuan ketahanan pangan dalam UU Cipta Kerja dimuat dalam pasal 14 ayat 1 dan 2 yang menghendaki impor sebagai sumber ketersediaan pangan nasional. Padahal, pada UU 18/2012, penyediaan pangan nasional mesti diprioritaskan dari produksi dalam negeri dan cadangan nasional.
UU 18/2012 sedianya turut menghendaki impor pangan. Tetapi, itu harus dengan kondisi produksi dan cadangan pangan nasional tidak mampu memenuhi kebutuhan. Sementara pada UU Cipta Kerja, impor langsung dijadikan bagian yang prioritas untuk menjadi sumber penyediaan pangan nasional.
Baca juga : Peringatan Maulid Nabi Jadi Momentum untuk Berbagi
Persoalan utama pangan Indonesia, kata Sugiyanto, sedari dulu selalu erat kaitannya dengan beras. Itu karena hampir seluruh masyarakat menjadikan komoditas itu sebagai pangan pokok utama pemenuhan karbohidrat. Padahal, sumber karbohidrat tak melulu beras.
Karenanya, diversifikasi pangan juga perlu dilakukan dan diperkuat. Merujuk satu studi soal pangan, Sugiyanto mengatakan, pemenuhan karbohidrat untuk satu keluarga dalam satu tahun dapat dipenuhi hanya dari satu batang pohon sagu.
“Itu akan menjadi sangat murah bila masuk dalam sistem pangan. Karena sumber karbo bukan hanya dari beras, ada sagu, gandum, dan lainnya. Karena itu, saya usulkan, selain ubah politik pangan, diperlukan peta jalan dan blueprint yang mendasarkan pada politik pangan nasional,” kata dia.
Baca juga : Manfaatkan Pertanian Modern, Petani Harus Sejahtera
“Kalau politik pangan berubah, kita bisa jadi tidak hanya bergantung pada beras. Kita bisa melakukan diversifikasi pangan untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat di dalam negeri,” tambah Sugiyanto.
Di kesempatan yang sama, Kepala Peneliti Food, Energy, and Sustainable Development dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Tallatov mengkritik rekomendasi yang diberikan Bank Dunia untuk Indonesia terkait ketahanan pangan.
Pasalnya, lembaga internasional itu justru menyarankan agar Indonesia membuka keran impor untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.
Baca juga : Tinjau Pasar di Sumatra Utara, Jokowi: Segala Harga Pangan Murah
“Ini kontradiktif dengan pandangan kita. mestinya impor pangan itu bukan jadi bagian integral dalam pangan kita. impor itu jadi jalan terakhir kalau memang kecukupan produksi nasional tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri,” tuturnya.
Laporan Bank Dunia menyebutkan, harga beras di Indonesia lebih mahal 20% dari rerata harga internasional. Hal itu disebut menunjukkan adanya permasalahan yang mesti segera diatasi lantaran komoditas itu merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia.
Harga mahal itu juga berbanding terbalik dengan realitas yang ada. Mestinya, jika harga beras mahal, petani mengalami peningkatan kesejahteraan. Faktanya, kesejahteraan petani cenderung stagnan. “Bahkan di 2023 lalu, tingkat kesejahteraan petani di tanaman pangan lebih rendah dari hortikultura. Padahal, harga gabah di tingkat petani mengalami kenaikan, tapi kesejahteraan petani tidak naik,” terang Abra. (J-3)