MONTASE foto dan narasi dari berbagai sumber Informasi itu beredar di berbagai platform media sosial. Narasinya tentang pernyataan sejumlah petinggi negara yang kontroversial, aneh, bahkan menyakitkan.
Setidaknya Terdapat enam potongan Informasi di montase itu. Pertama ialah tanggapan Presiden Prabowo Subianto terkait dengan gejolak di pasar modal. Judulnya, Prabowo: Saya Lihat yang Stres Harga Saham Turun hanya Beberapa Orang. Isinya soal sikap pucuk pimpinan negeri ini ihwal merosotnya indeks harga saham gabungan (IHSG) di titik terendah beberapa waktu Lewat. Rupanya, bagi Presiden, fenomena itu bukan sesuatu yang luar Lazim. Menurutnya, masalah itu hanya dirasakan segelintir orang.
Montase kedua Lagi terkait dengan ambruknya IHSG. Kali ini, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang jadi sorotan. Pokok persoalannya ialah dia membandingkan perekonomian Indonesia dengan Timor Leste. IHSG Merosot, Tito: Ekonomi RI Lebih Hebat dari Timor Leste. Begitulah judul Informasi di salah satu laman.
Ketiga terkait dengan urusan makan dan pekerjaan. Beritanya datang dari Kepala Bappenas Rachmat Pambudy. Kata dia, Begitu ini MBG alias makan bergizi gratis lebih mendesak daripada lapangan pekerjaan.
Lewat, Terdapat pernyataan Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana yang tetiba menjadi pengamat sepak bola. Kata dia, tim PSSI sulit menang lantaran gizinya Kagak bagus.
Lagi Terdapat yang lain. Yang ini malah lebih heboh. Kepala Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi-lah yang menjadi atensi. Begitu dimintai komentar perihal teror kepala babi ke jurnalis Tempo, dia dengan entengnya menjawab, ”Dimasak saja.”
Yang terakhir dalam montase itu ialah tanggapan dari Wakil Menteri Keyakinan Muhammad Syafi’i ihwal maraknya ormas meminta THR ke para pengusaha. Fenomena tahunan itu ialah persoalan. Tetapi, rupanya Kagak bagi politikus Partai Gerindra itu. Bagi dia, permintaan THR oleh ormas merupakan bagian dari budaya berlebaran di Indonesia sejak dulu sehingga tak perlu dipersoalkan.
Begitulah para pejabat masa kini. Sikap dan ucapan mereka Rupanya tak selamanya selaras dengan apa yang dirasakan rakyat. Kalau satu-dua orang, Bisa jadi karena khilaf. Tetapi, kalau tiga, empat, lima, enam, atau sekian orang? Montase yang beredar pun hanya memuat sebagian. Lagi Terdapat pejabat lain komunikasinya Kagak baik. Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Pandjaitan kala mengomentari aksi Indonesia Gelap, misalnya. Omongan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer terkait dengan tagar #KaburAjaDulu, umpamanya.
Idealnya pejabat itu menenangkan. Semestinya mereka tak memicu kegaduhan. Sebaiknya petinggi negara tak bertutur kata yang menyakitkan. Akan tetapi, yang ideal, yang semestinya, yang Sebaiknya itu mahal di negeri ini. Pejabat Malah sebaliknya. Alih-alih menenangkan, mereka malah mencemaskan, membingungkan, menyakitkan. Alih-alih membangun optimisme, mereka malah memantik pesimisme, memupuk ketidakpercayaan.
Bagaimana rakyat tak bingung, coba, ketika Presiden bilang rontoknya IHSG hanya berdampak pada sedikit orang. Bukankah gejolak pasar saham Bisa menjadi indikasi melemahnya perekonomian dan menguatnya ketidakpercayaan pasar?
Bagaimana rakyat tak cemas ketika seorang wakil menteri menganggap ulah ormas minta THR ialah bagian dari budaya berlebaran. Bukankah itu Bisa menjadi pembenaran bagi mereka Buat semakin beringas memeras pengusaha? Bukankah pengusaha sudah lelet menjerit karena laku lajak ormas? Bukankah kelakuan mereka mengganggu kondusivitas berusaha dan investasi?
Bagaimana rakyat Kagak sakit ketika Terdapat pejabat yang berjalan tanpa pelihara kaki, bicara tak pelihara lidah. Sembrono dalam bertindak dan berbicara. Bak lidah lebih tajam daripada pedang, ucapannya lebih menyakitkan ketimbang tindakan fisik.
Meski kemudian diklarifikasi, mengucap ‘dimasak saja’ Begitu mengomentari teror kepala babi sangat merendahkan masalah. Ia tak patut keluar dari mulut pejabat yang Lagi punya empati barang sedikit pun. Sama tak patutnya ketika Terdapat yang menyebut para pengkritik revisi UU TNI otak-otak kampungan.
Sungguh, sulit Buat memahami kenapa begitu banyak petinggi negeri yang asal mengeluarkan kosakata. Silapkah mereka? Kalau itu alasannya, semoga tak diulang di hari-hari depan. Karena Kagak pahamkah mereka? Kalau itu adanya, apes betul bangsa ini menggaji orang-orang yang Lagi mentah dalam mengelola negara? Atau, jangan-jangan, Terdapat gangguan dalam diri mereka?
Dalam ilmu psikologi Terdapat istilah gangguan kepribadian narsistik atau narcissistic personality disorder (NPD). Pengidapnya merasa superior dan menganggap orang lain lebih rendah. Orang narsistik terlalu terfokus pada diri sendiri, cenderung egoistis, Kagak Acuh dengan yang dialami orang lain, Kagak Mempunyai empati, bahkan terkadang berperilaku tak sesuai dengan aturan dan Kebiasaan yang berlaku.
Di antara tanda narsistik itu kiranya Terdapat dalam diri para pejabat. Semoga ia tak menular ke pejabat lain. Ia harus selekasnya dihilangkan. Kalau Kagak, kalau makin mewabah, bukan tak mungkin pemerintah pun akan narsistik, pemerintah yang kepribadiannya terganggu. Ia Membikin Indonesia cemas.

