PEMERINTAH berkeras deflasi yang terjadi di dua bulan pertama tahun ini disebabkan oleh kebijakan yang diambil pengambil keputusan. Pemerintah menolak mentah-mentah narasi yang berkembang selama ini bahwa pelemahan daya belilah yang menyebabkan deflasi.
“Turun (deflasi) itu karena policy, bukan karena permintaannya Kagak Terdapat,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (13/3).
Pemerintah boleh-boleh saja ngotot dengan keyakinan bahwa deflasi pada Januari dan Februari 2025 dipicu oleh kebijakan yang diambil pengambil keputusan. Tetapi, semestinya pemerintah juga tak boleh tutup mata dengan fakta-fakta memilukan yang terpampang dalam dua bulan ini.
Apakah fakta-fakta itu? Pertama, data Indeks Penjualan Riil (IPR) Bank Indonesia pada Januari 2025 yang tercatat sebesar 211,5 atau secara bulanan mengalami kontraksi sebesar 4,7%. Data itu Bisa menjadi acuan lain penurunan daya beli masyarakat.
Begitu pula hasil Survei Konsumen Bank Indonesia pada Februari 2025. Meskipun tetap kuat, indeks keyakinan konsumen (IKK) pada bulan tersebut menunjukkan perlambatan dari bulan sebelumnya, yakni dari 127,2 pada Januari menjadi 126,4 pada Februari.
Lewat, data dari APBN KiTa, APBN Kinerja dan Fakta Buat edisi Februari 2025 mencatatkan pendapatan negara sebesar Rp316,9 triliun atau baru 10,5% dari Sasaran APBN tahun ini. Nomor tersebut anjlok 20,85% Kalau dibandingkan dengan di periode yang sama pada 2024 yang mencapai Rp400,4 triliun. APBN juga mencatatkan defisit dalam dua bulan pertama tahun berjalan. Per Februari 2025, defisit APBN tercatat Rp31,2 triliun, setara 0,13% dari produk domestik bruto (PDB).
Tetap Terdapat indikator lain. Menurut data Konfederasi Perkumpulan Pekerja Indonesia (KSPI), sedikitnya 60 ribu pekerja di Indonesia terkena pemutusan Interaksi kerja (PHK) sepanjang Januari hingga Februari 2025. Para pekerja yang terkena PHK tersebut berasal dari 50 perusahaan, 15 di antaranya dinyatakan pailit. Adapun yang melakukan PHK itu merupakan perusahaan-perusahaan manufaktur yang selama ini menyerap banyak tenaga kerja, seperti Sritex dan Yamaha.
Gelombang PHK diyakini bakal bertambah seiring dengan kebijakan efisiensi yang diterapkan pemerintah. Yang pertama sudah merasakan kebijakan ini ialah sektor perhotelan. Padahal sektor ini Mempunyai Dampak rambatan (multiplier effect) yang cukup tinggi karena melibatkan banyak UMKM.
Dengan fakta-fakta tersebut, sekali Tengah, pemerintah Kagak boleh menutup mata dan menganggap remeh. Pemerintah Kagak Bisa berlindung dengan menyebut bahwa pelemahan-pelemahan yang terjadi Tetap sesuai koridor. Pun, Kagak boleh menafikan bahwa pelemahan daya beli masyarakat memang tengah dan Lalu berlangsung. Fakta-fakta di lapangan menggambarkan begitu banyak kondisi memilukan yang terjadi.
Pemerintah juga harus Menyantap serius persoalan badai PHK di sektor tenaga kerja. Kagak Bisa hanya bermain di Nomor-Nomor parameter acuan, tetapi menutup mata terhadap fakta-fakta riil yang tersaji di depan mata. Jangan biarkan badai PHK Lalu berlanjut karena kondisi itu Bisa memicu penurunan daya beli.
Persoalan ekonomi yang tengah dihadapi Demi ini Kagak akan Bisa diselesaikan Kalau pemerintah merasa Berkualitas-Berkualitas saja dan Kagak Menyantap itu sebagai gejala dari sebuah krisis yang mungkin saja bakal Membangun napas ekonomi jadi kian sesak. Sekalian gejala atau indikator yang memerah itu semestinya sebagai lampu peringatan agar tak berkembang menjadi penyakit yang tak Tengah Bisa disembuhkan.