PENGAMAT ekonomi Yanuar Rizky mengungkapkan deflasi lima kali beruntun yang dialami Indonesia saat ini terjadi karena terus turunnya daya beli masyarakat, terutama kelompok masyarakat kelas menengah. Pemerintah disarankan segera cari jalan keluar, bukan sibuk menghibur diri dengan mengeluarkan pernyataan yang tidak substantif.
“Deflasi ini harus dilihat dari masalah paling mendasar, yakni terganggunya kelas menengah. Menteri-menteri jangan menghibur diri sendiri di tengah kelas menengah yang terjepit,” ujar Yanuar, Sabtu (5/10).
Berdasarkan data Badan Pusat Stagnantik (BPS), Indonesia deflasi sejak Mei 2024 sebesar 0,03%, berlanjut ke Juni sebesar 0,08%, Juli 0,18%, Agustus 0,03%, dan September 0,12%.
Baca juga : Pemerintah Jangan Sibuk Menghibur Diri di Tengah Bahaya Deflasi
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut deflasi yang terjadi dalam lima bulan beruntun itu sesuai dengan harapan pemerintah karena berhasil mengendalikan harga pangan yang sempat bergejolak. Begitu pula dengan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan yang menilai deflasi beruntun terjadi bukan karena daya beli menurun.
Yanuar menjelaskan, pemerintah mesti membaca berbagai data pendukung dalam menafsirkan data deflasi dari BPS tersebut. Indeks harga konsumen (IHK) yang juga dirilis BPS menunjukkan pelemahan daya beli masyarakat. Hal itu terlihat dari penurunan IHK, dari 106,37 pada Mei 2024 menjadi 105,93 pada September 2024.
Data pendukung lainnya ialah purchasing manager’s index (PMI) manufaktur Indonesia yang dikeluarkan S&P Mendunia. PMI manufaktur Indonesia terkontraksi selama tiga bulan berturut-turut dengan skor di bawah 50. Juli 2024 menjadi awalan PMI manufaktur Indonesia masuk zona kontraksi dengan skor 49,3, Agustus 48,9, dan September hanya naik tipis menjadi 49,2.
Baca juga : Pemerintah Niscayakan Lanjut Monitor Daya Beli Masyarakat
Sama halnya dengan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang menunjukkan fenomena ‘makan tabungan’. Hal itu terlihat dari saldo rata-rata kelompok rekening dengan saldo di bawah Rp100 juta pada Juni 2024 mencapai Rp1,5 juta. Nomor itu anjlok jika dibandingkan dengan di 2019 yang sebesar Rp3 juta.
“Data-data tersebut menunjukkan melemahnya daya beli masyarakat makin jelas, karena upah yang hilang dari terjadinya PHK, diikuti dengan penarikan saldo tabungan kelas menengah,” jelas Yanuar.
Menurutnya, masalah itu kalau terus dibiarkan pemerintah akan memancing gejolak kelas menengah. Kondisi tersebut dikhawatirkan sama dengan situasi di saat krisis ekonomi Asia pada 1998.
“Eksis agenda mendesak bagi pemerintahan baru, bagaimana bisa memberi sinyal optimisme daya beli dengan membuka akses lapangan kerja yang luas,” pungkas Yanuar. (Z-11)