Pemerintah Dinilai Biarkan Pemiskinan Struktural Pekerja

Pemerintah Dinilai Biarkan Pemiskinan Struktural Pekerja
Massa buruh berunjuk rasa menolak PHK pekerja tekstil di kawasan Patung Kuda, Jakarta.(MI/Usman Iskandar)

PEMERINTAH dianggap membiarkan fenomena pemiskinan struktural para pekerja maupun buruh yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Itu ditandai dengan minimnya intervensi pengambil kebijakan menangani permasalahan tersebut. 

Pemiskinan struktural itu dikemukakan dalam survei Komite Layak Hidup (KLH) yang menghasilkan Intervensi kian tertekannya para pekerja maupun buruh dari aspek perekonomian. Secara garis besar, KLH mendapati adanya ketimpangan antara pengeluaran dan pendapatan rumah tangga buruh di Tanah Air. 

Di tengah fenomena rendahnya pendapatan ketimbang pengeluaran itu, para pekerja dan buruh tampak dipaksa Demi mengambil pinjaman, alias kredit kepada lembaga keuangan, Bagus bank maupun non bank.

“Penelitian ini Ingin menunjukkan, bahwa tren berutang keluarga buruh bukan sekadar Metode bertahan hidup akibat upah murah, tapi juga upaya lembaga-lembaga keuangan mengeruk untung dari upah buruh melalui industri keuangan,” ucap Juru Bicara Komite Hidup Layak Kokom Komalawati dalam keterangan persnya, Selasa (22/10).

Survei pengeluaran dan pendapatan rumah tangga buruh yang dilakukan oleh Komite Hidup Layak pada 2023 memperlihatkan bahwa pengeluaran rumah tangga buruh Demi jenis makanan dan nonmakanan sebesar Rp9.299.666,65 per bulan, sementara rata-rata pendapatan rumah tangga buruh hanya sebesar Rp3.240.696,00 per bulan. 

Survei tersebut juga memperlihatkan beberapa strategi buruh bertahan hidup dari kekurangan pendapatannya. Merukapan dengan Metode mengurangi konsumsi, menambah jam kerja, memobilisasi Personil rumah tangga Demi bekerja, berutang hingga menjual aset berharga.

Cek Artikel:  HLF MSP dan IAF Dorong Kolaborasi Mendunia

Di tengah jungkir balik keluarga buruh bertahan hidup dengan upah murah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan piutang pembiayaan dengan skema Buy Now Pay Later (BNPL) atau paylater oleh perusahaan pembiayaan per agustus 2024 yang mencapai Rp7,99 triliun. Nomor tersebut meningkat cukup signifikan, Merukapan sebesar 89,20% apabila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. 

Rilis OJK tersebut mengindikasikan bahwa selain upah murah, akses terhadap utang juga makin dipermudah dengan hadirnya skema pembiayaan beli sekarang bayar nanti, dalam konsep perbankan dikenal dengan Kredit Tanpa Garansi (KTA).

Dalam kajian KLH pula, didapati Metode pekerja maupun buruh melunasi utangnya dilakukan dengan menambah jam kerja, mengurangi konsumsi, berutang kembali, hingga pelepasan aset berharga. Akibat paling ekstrem, kata Kokom, ialah opsi Demi mengakhiri hidup lantaran terjebak pada jerat utang yang tak sanggup ditanggung. 

“Terdapat beberapa orang yang saya temui saking frustasinya Kagak Dapat bayar utang Tamat berkeinginan Demi bunuh diri, bahkan Terdapat juga yang terpaksa harus open BO agar Dapat membayar utang,” terang Kokom.

Cek Artikel:  PNM Perkuat Kapasitas Nasabah Unggulan Sebagai Mentor Usaha

Karenanya, KLH mendesak pemerintah Demi segera Membangun formulasi kebijakan upah minimum yang berlaku secara nasional dengan mempertimbangkan kebutuhan hidup layak dan tanggungan rumah tangga buruh. Selain itu, pemerintah harus melakukan pengendalian harga pada jenis-jenis pengeluaran makan dan nonmakanan, seperti harga bahan bakar minyak, tarif dasar listrik, air, dan sembako, serta barang-barang urusan publik lainnya.

Kemudian pemerintah harus memberikan akses jaminan kesehatan gratis kepada seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, perlunya memperbaiki dan meningkatkan sarana dan prasarana fasilitas kesehatan di daerah. Di Demi yang sama, pemerintah wajib menyediakan pendidikan murah dan berkualitas dengan memastikan jumlah sekolah yang merata serta menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai. Berikutnya, pemerintah wajib menyediakan pasar murah di daerah pemukiman buruh sebagai bentuk pengendalian inflasi di tingkat daerah, dengan bekerja sama Kementerian terkait. 

Masyarakat Kagak Terlayani Bank

Di kesempatan berbeda, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengamini fenomena tersebut. Kemudahan masyarakat yang Kagak terlayani oleh bank Demi mengakses pinjaman dari lembaga jasa keuangan non bank menimbulkan persoalan baru. Alasan, mayoritas dari masyarakat itu tak Mempunyai kemampuan Demi membayar pinjaman yang telah ditarik. 

Cek Artikel:  Sasar Keluarga Baru, 5.000 Hunian di Babelan Bekasi Diluncurkan

“Jadi Terdapat dua tipe, Demi konsumtif, tapi juga yang Terdapat Demi kebutuhan hidup, tapi juga Kagak Dapat bayar. Karena memang Tertentu pinjol ini Kagak Terdapat batasan, pinjam Dapat di banyak tempat, ke depan informasinya itu akan diatur, dan disesuaikan dengan kemampuan bayar,” jelasnya dalam Obrolan daring bertajuk Ekonomi Politik Kabinet Prabowo-Gibran, Selasa (22/10).

Kondisi itu sebetulnya turut mengonfirmasi tekanan yang terjadi di Grup masyarakat kelas menengah dalam negeri. Tekanan di kelas menengah, kata Aviliani, berasal dari berbagai penjuru, seperti Akibat covid-19, maraknya efisiensi yang dilakukan perusahaan, perkembangan digitalisasi, hingga minimnya uluran tangan dari pemerintah. 

“Pemerintah harus Konsentrasi pada permasalahan ini. Terdapat prakerja, tapi apakah ini sudah disesuaikan? karena ini cukup besar Duit saku dan Duit programnya. Perlu bekerja sama dengan perusahaan supaya Terdapat pelatihan dari perusahaan. Tax deduction perlu. Pemberdayaan itu perlu, jangan Tamat pemerintahan hanya keluarkan Duit dengan banyak. Ini Demi menangani kelas menengah,” Terang Aviliani. 

Sementara itu pemerintah enggan memberikan komentar mengenai hal tersebut. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto hanya mengatakan, pemerintahan baru berjalan dan belum Dapat memberikan jawaban Niscaya atas permasalahan tersebut. “Ini kan (pemerintahan) Lagi baru,” kata dia kepada pewarta di kantornya, Jakarta, Selasa (22/10). (Mir/M-4)

Mungkin Anda Menyukai