PROSES penyelidikan dugaan pelanggaran etik terhadap keluarnya putusan Mahkamah Konsititusi (MK) tentang batas bawah usia calon presiden-calon wakil presiden masih terus bergulir.
Hingga kemarin, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK yang diketuai Jimly Asshiddiqie masih memeriksa pihak-pihak yang terkait dengan keluarnya putusan kontroversial tersebut.
Dalam perkembangannya, Jimly yang merupakan mantan Ketua MK mengakui Putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut bermasalah. Bahkan pakar tata negara ini juga menyatakan, berdasarkan Pasal 17 ayat 7 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, putusan itu bisa dibatalkan melalui Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) oleh majelis berbeda, walaupun pihak yang diuntungkan dengan putusan tersebut akan berargumen bahwa MKMK tidak bisa membatalkan putusan MK karena putusan MKMK hanya mengikat bagi pribadi hakim konstitusi, bukan terhadap putusan.
Sejauh ini MKMK menemukan indikasi adanya dugaan kebohongan Anwar Usman mengenai alasannya tak ikut memutus tiga perkara uji materi usia batas capres dan cawapres yang ditolak MK.
Intervensi lain yang terungkap dalam sidang MKMK ini ialah dokumen perbaikan permohonan Almas Tsaqibbirru yang tidak ditandatangani, baik oleh kuasa hukum maupun Almas sendiri. Selain itu, MKMK menyebut sudah mengantongi bukti rekaman kamera pengawas (CCTV) mengenai kejanggalan pendaftaran gugatan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu.
Ketua MK Anwar Usman yang menjadi tertuduh utama dalam keluarnya putusan tersebut sudah menyatakan tidak ingin mengundurkan diri walaupun sejumlah pihak meminta MKMK memecat dirinya. Kerabat ipar Presiden Joko Widodo itu dengan enteng mengatakan jabatan ditentukan oleh Allah SWT. Bagi Anwar, puluhan laporan ke MKMK yang dialamatkan kepada dirinya terkait pelanggaran etik merupakan hal yang wajar, konsekuensi dari jabatannya sebagai Ketua MK.
Sebelum MKMK memutuskan apakah para hakim MK bersalah atau tidak dalam dugaan pelanggaran etik ini, mari kita sedikit membahas mengenai apa yang menjadi keresahan publik akibat putusan yang dikeluarkan lembaga yang dipimpin adik ipar Jokowi itu.
Sekaliber Ketua MK seharusnya atau pastinya sudah memahami betul, salah satu tujuan gerakan reformasi ketika menjungkalkan kekuasaan Presiden Soeharto pada 1998 silam ialah memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Maksudnya, begitu ironis apabila pejabat tinggi sekaliber Ketua MK tidak paham dengan tujuan reformasi yang prosesnya melalui darah dan air mata.
Sayangnya, di sini Ketua MK justru secara nyata malah menghidupkan lagi apa yang hendak diberantas saat rezim Orde Baru berkuasa, yakni nepotisme atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan penyelenggara negara demi menguntungkan kepentingan keluarga. Apalagi soal pemberantasan praktik nepotisme ini masih tercantum dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor XI/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Kudus dan Bebas KKN.
Ketua MK pun seharusnya paham betul istilah nepotisme berasal dari bahasa latin nepos atau nepotismo atau dalam bahasa Inggris nephew yang artinya keponakan.
Wali Kota Gibran Rakabuming Raka yang diuntungkan dalam keluarnya putusan MK ini merupakan keponakan dari Anwar Usman. Sebaiknya Anwar sadar bahwa putusan MK tersebut menjadi biang kerok dari semua kegaduhan dan sumber politik dinasti yang meresahkan publik belakangan ini.
Putusan MK yang menambahkan norma baru persyaratan capres/cawapres, yakni selain berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah, memberikan karpet untuk Gibran sebagai cawapres yang mendampingi capres Prabowo Subianto.
Kini masyarakat tentu berharap Jimly dan para anggota MKMK berani mengambil putusan cepat sekaligus tegas dalam penanganan dugaan pelanggaran etik yang dampaknya seperti meludahi amanat reformasi ini. Apalagi putusan itu terkait langsung dengan proses penyelenggaraan Pilpres 2024 yang saat ini sudah berjalan.
Dengan kerusakan sistem bernegara yang ditimbulkan akibat putusan ajaib tersebut, pemecatan sebagai hakim MK bisa dikatakan sebagai hukuman teringan.
Jangan biarkan pembusukan terjadi di lembaga yang berperan sebagai penjaga konstitusi ini. Terlebih MK akan memproses sengketa Pemilu 2024, baik pilpres maupun pilkada. MK merupakan Mahkamah Konstitusi, bukan mahkamah keluarga.