Pembuktian Independenitas tak sekadar Makan Siang

SIANG tadi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengundang Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto untuk makan bersama di Istana Kepresiden, Jakarta. Ketiga tamu undangan itu dalam kapasitas mereka sebagai calon presiden (capres) meski belum resmi ditetapkan Komisi Pemilihan Standar (KPU) RI.

Setidaknya ada dua hal yang ingin ditunjukkan Jokowi dari acara tersebut. Pertama, ia tidak berpihak pada capres mana pun. Kedua, mengajak para pihak yang berkontestasi dalam pemilihan presiden (pilpres) menjaga persatuan. Itu suatu sikap yang memang seharusnya ditunjukkan oleh seorang kepala negara.

Jokowi berupaya menampilkan ketidakberpihakan karena isu bahwa ia condong ke kubu Prabowo tidak kunjung mereda. Malah tudingan tersebut makin kuat ketika putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memuluskan jalan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, untuk berpasangan dengan Prabowo sebagai calon wakil presiden (cawapres).

Cek Artikel:  Menjaga Kedaulatan Rupiah

Belakangan tudingan keberpihakan Jokowi ikut dibumbui isu PDIP yang ingin bermain dua kaki. Hal ini terjadi karena PDIP tidak berani memecat Gibran sebagai kader, lebih-lebih mengultimatum bapaknya alias Jokowi yang lahir dan dibesarkan oleh PDIP.

Jokowi bak playmaker tanpa tanding. Akan tetapi, jelas tidak menguntungkan bagi kepentingannya bila publik terus-menerus mengasosiasikan langkah-langkahnya dengan dukungan terhadap Prabowo-Gibran.

Di situ perlunya mengadakan acara makan siang bertemakan ketidakberpihakan. Saking pentingnya acara tersebut, sampai-sampai Jokowi mendahului KPU. Ketika ini, KPU masih melakukan verifikasi dokumen tiga pasangan capres dan cawapres. Menurut jadwal, KPU baru menetapkan pasangan calon pada 13 November mendatang.

 

Definisinya, bisa saja ada pasangan calon yang dibatalkan KPU walaupun kemungkinannya sangat kecil. Kalau ingin menunjukkan ketidakberpihakan, alih-alih terlihat begitu yakin ‘pilihannya’ pasti melaju ke pilpres, Jokowi seharusnya menunggu sampai ada penetapan KPU.

Cek Artikel:  Kampanye Menerabas Netralitas

Pun sikap tidak memihak dalam kontestasi pemilu tidak bisa hanya dengan mengundang semua kontestan makan siang. Lebih dari itu, netralitas seharusnya terlihat dari setiap langkah Kepala Negara, termasuk kebijakan.

Realitanya yang terjadi sebaliknya. Publik dibuat terperangah oleh orkestrasi meloloskan Gibran ke ajang pilpres lewat putusan MK yang dimotori sang Om. Akibat pengambilan putusan yang aneh luar biasa itu, sulit bagi masyarakat untuk percaya Jokowi tidak berpihak. 

Kini juga sulit untuk tidak berprasangka pada maksud di balik kebijakan-kebijakan prorakyat yang baru saja digulirkan. Penambahan bantuan sosial di akhir tahun hingga penggratisan pajak pembelian rumah selama 14 bulan ke depan. 

Memang bantuan tersebut diperlukan di saat masyarakat terimpit tekanan harga kebutuhan pokok. Kondisi itu bukan hanya sekarang, tahun sebelumnya juga sama, tetapi kenapa baru sekarang ditambah, bertepatan dengan momentum pilpres.

Cek Artikel:  Hak Angket Jangan Meleset

Problem backlog atau kekurangan ketersediaan hunian yang terjangkau untuk masyarakat, khususnya menengah ke bawah, juga masalah klasik. Pemerintah sudah memberi diskon pajak pembelian sebanyak 50% sejak tahun lalu. Kini digratiskan dan digulirkan pas setelah pendaftaran bakal capres dan cawapres.

Bahkan, para ekonom dan pengamat politik sudah tidak merasa heran dengan penyaluran bantalan sosial yang ditunggangi kepentingan elektoral. Meminjam adagium dari ‘Negeri Om Sam’, tidak ada makan siang yang gratis, ada suara rakyat sebagai imbalan.

Mungkin Anda Menyukai