SIAPA tidak kenal Taylor Swift? Mungkin tak semua orang mengenal karya atau lagu-lagunya, tapi setidaknya sebagian besar pasti pernah mendengar namanya.
Musikus asal Pennsylvania, AS, itu tak bisa dimungkiri merupakan salah satu superstar pop dunia saat ini. Tak ada yang menyangsikan bakat penyanyi sekaligus penulis lagu yang awalnya dikenal beraliran country, sebelum akhirnya ‘teracuni’ pasar sehingga lebih memilih genre yang lebih ngepop tersebut.
Prestasinya bukan kaleng-kaleng. Ia memenangi Grammy Awards sebanyak 14 kali dan masuk nominasi sebanyak 52 kali. Sejak 2009, ia rajin mengoleksi trofi penghargaan musik paling bergengsi dan dihormati di seantero dunia. Termasuk tahun ini, ia memperolehnya melalui album Midnights yang dianugerahi sebagai album terbaik 2024.
Taylor juga amat sukses secara industri. Pahamn lalu, pelantun lagu Shake It Off itu dinobatkan sebagai musikus perempuan terkaya kedua di dunia oleh majalah Forbes. Taylor diperkirakan memiliki kekayaan bersih US$740 juta. Ia hanya kalah oleh Rihanna yang memang juga punya jejak karier fenomenal.
Turnya seng ada lawan. Sejak tahun lalu, ia menggelar konser tur keliling dunia dengan tajuk The Eras Tour yang penjualan tiketnya laris bukan alang kepalang. Menurut Wall Street Journal, The Eras Tour mampu menghasilkan pendapatan kotor lebih dari US$1 miliar sekaligus menjadikannya sebagai tur bernilai miliaran dolar pertama.
Saking potensialnya tur konser sang biduan menghasilkan cuan, banyak negara berlomba, berebut menjadi tempat penyelenggaraan. Sudah lumrah bila dalam setiap penyelenggaraan konser musikus internasional papan atas selalu menawarkan manfaat ekonomi yang teramat tinggi bagi negara penyelenggara. Tentu tidak ada negara yang mau menyia-nyiakan.
Persaingan itu bahkan bisa memicu ketegangan atau setidaknya kehebohan di kawasan. Itulah yang terjadi pada rangkaian The Eras Tour di kawasan Asia Tenggara. Sejumlah pejabat dan publik di negara-negara ASEAN heboh, kesal, juga iri karena rupanya pihak Taylor sudah menjalin perjanjian eksklusif dengan promotor dan pemerintah Singapura. Intinya mereka bersepakat Singapura menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang disinggahi konser The Eras Tour.
Negara lain, termasuk Indonesia, Thailand, Filipina, terpaksa gigit jari. Potensi pergerakan ekonomi hingga ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah, yang diproyeksikan bisa didapat sebagai efek ikutan dari konser Taylor, lenyap, tersapu oleh lobi gerak cepat Singapura.
“Pemerintah Singapura licik,” kata PM Thailand Srettha Thavisin sembari menuding pemerintah Singapura menawarkan US$2 juta-US$3 juta demi membeli eksklusivitas Taylor di ‘Negara Singa’ tersebut. “Ini bukan tindakan yang dilakukan tetangga yang baik,” keluh anggota DPR Filipina Joey Salceda.
Keduanya geram karena menganggap Singapura telah memonopoli konser Taylor sekaligus memupus kesempatan mereka untuk memetik manfaat ekonomi yang serupa. Barangkali, dengan alasan yang sama, pemerintah Indonesia juga geram, tapi hingga tidak ada pernyataan kemarahan yang muncul dari pejabat pemerintah atau politikus di negeri ini.
Makin menarik ketika isu soal monopoli konser Taylor itu sampai mengisi ruang-ruang pembicaraan di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN-Australia di Melbourne. Di sela-sela KTT, PM Singapura Lee Hsien Loong menjawab tudingan serta kecaman dari negara tetangga. Ia tidak menampik telah ‘membayar’ ke agensi Taylor untuk menjadikan Singapura satu-satunya tempat singgah tur di Asia Tenggara. Akan tetapi, “Saya tidak melihatnya sebagai tindakan yang tidak bersahabat,” ujar Lee.
Okelah, baiknya kita tinggalkan dulu soal kehebohan dan sedikit ketegangan itu. Toh, tidak ada aturan atau kesepakatan kawasan yang dilanggar Singapura. Toh, penyelenggaraan The Eras Tour di Singapura juga tak lagi bisa dibendung. Mbak Taylor sudah dipastikan akan tampil sebanyak enam kali di negara itu, antara 2 dan 9 Maret 2024 ini.
Yang justru mesti dipetik dari peristiwa itu ialah pelajaran betapa kuat dan seriusnya dukungan dan keberpihakan pemerintah Singapura terhadap pertunjukan seni, termasuk konser musik. Mereka tak segan melakukan intervensi, melobi, bahkan ‘membayar lebih’ supaya artis, musikus, atau grup band internasional dengan nama besar bersedia manggung secara eksklusif di sana.
Di sini sebaliknya. Indonesia harus membayar mahal atas lemahnya dukungan pemerintah terhadap panggung seni. Mahal karena gara-gara sejumlah persoalan, seperti proses perizinan yang panjang serta pembiaran kepada promotor bergerak sendiri tanpa pendampingan dan dukungan dana, Indonesia harus rela kehilangan potensi perputaran ekonomi sebagai multiplier effect dari pertunjukan musik kelas dunia.
Taylor mungkin juga tahu, kalau masalah klasik itu saja belum bisa diselesaikan, bagaimana ia mau memilih Indonesia ketimbang Singapura?