Pelajar Ambyar

PERUNDUNGAN (bullying) dan kekerasan yang dilakukan pelajar sudah di luar nalar dan tentu saja di luar perikemanusiaan. Kedua aksi biadab itu semakin marak, tak hanya di kota besar seperti Jakarta, tetapi juga terjadi di kota-kota lain di Tanah Air.

Aksi kekerasan yang dilakukan Mario Dandy Satriyo, 19, terhadap David Ozora, 17, diganjar vonis 12 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Terhadap pelaku yang merupakan anak mantan pejabat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan itu juga dibebankan restitusi Rp25 miliar.

Aksi terkutuk Mario Dandy yang viral di media sosial itu bak virus menular. Di saat korbannya sudah tak berdaya, kekerasan terus dilakukan oleh pelaku, bahkan diakhiri dengan selebrasi seolah merayakan sebuah kemenangan.

Perilaku kejam Mario Dandy itu seperti ditiru oleh seorang pelajar berinisial MK, 15, terhadap adik kelasnya, FF, 14. Keduanya bersekolah di SMPN 2 Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Berdasarkan pemeriksaan di RSUD Majenang, FF mendapatkan 38 pukulan, injakan, dan tendangan yang diarahkan ke kepala dan perut.

Tak hanya perundungan, kekerasan pelajar terhadap pelajar lain juga sering kali terjadi karena bertemu lawan yang diincar atau sekadar mencari musuh. Aksi itu acap kali berujung dengan kematian.

Cek Artikel:  Nikmatnya Jadi Mantan Presiden

Pelakunya tak hanya didominasi pelajar SMA. Di kalangan pelajar SMP pun tak kalah merebak. Tentu kita masih ingat penyerangan oleh tiga pelajar SMP terhadap RA, 12, seorang siswa SD di Sukabumi, Jawa Barat, pada Maret silam. Pelajar SDN Sirnagalih itu mengembuskan napas terakhir di tempat kejadian perkara setelah terkena bacokan celurit di bagian leher.

Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menunjukkan terjadi ribuan kasus kekerasan terhadap anak dalam periode Januari hingga Agustus 2023. Hingga Agustus, tercatat kekerasan fisik sebanyak 2.325 dan psikis 2.618. Kekerasan seksual yang tertinggi, 6.316 kasus.

Berdasarkan data Kementerian PPPA, kasus kekerasan anak meningkat signifikan pada 2022. Kekerasan itu tak hanya secara fisik, tapi juga psikis dan seksual, penelantaran, perdagangan orang, hingga eksploitasi. Berikut ini data statistik kekerasan pada anak di Indonesia dalam kurun waktu 4 tahun terakhir. Pada 2019 sebanyak 11.057 korban, di 2020 ada 11.278 korban, lalu 14.517 korban di 2021 dan 21.241 korban pada 2022.

Meningkatnya kasus kekerasan pada anak, termasuk pelajar di dalamnya, patut menjadi evaluasi dalam penyelenggaraan pendidikan di Tanah Air. Para pengampu pendidikan jangan merasa nyaman dengan kondisi saat ini. Upaya menciptakan sekolah ramah anak, keluarga ramah anak, dan lingkungan pergaulan/sosial ramah anak, jangan pernah kendur. Sekolah ramah anak dibangun dengan prinsip good governance yang meliputi akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi. Pengelolaan pendidikan harus berbasiskan student center, terpusat pada anak (bottom up), bukan secara komando dilakukan oleh guru (top down) tanpa mengetahui apa masalah yang dihadapi anak didik.

Cek Artikel:  Guyon Waton

Aspek yang paling penting dalam sistem pendidikan tersebut ialah pola komunikasi yang hangat secara vertikal antara guru dan anak didik, juga secara horizontal antara siswa dan siswa. Komunikasi guru dengan orangtua murid pun harus terjalin hangat.

Kualitas komunikasi harus baik, baik secara verbal maupun nonverbal. Guru wali kelas berada di garis depan dalam membangun komunikasi yang baik dengan anak didik. Wali kelas jangan malas berkomunikasi dengan anak didik, apalagi sangat mudah melempar permasalahan anak didik ke guru bimbingan konseling (BK). Wali kelas harus bisa mendeteksi kondisi psikologis anak didiknya, termasuk bagaimana pergaulan sesama anak didik, apakah terdapat perundungan atau tidak.

Cek Artikel:  Mabrur tak Tamat

Anak didik juga jangan terbebani lagi kondisi yang runyam di rumah, andaikan kondisi rumah tangga si anak bermasalah. Sekolah harus menjadi rumah kedua bagi si anak. Suasana kelas dan sekolah harus menyenangkan, saling menghargai, tolong menolong, toleransi, sopan santun, dan saling menyayangi.

Pendekatan komunikasi risiko perlu dilakukan oleh pihak guru/sekolah untuk mengantisipasi risiko yang bakal muncul di era saat ini ketika media sosial memberikan ancaman serius di tengah literasi digital yang miskin. Menurut Zhang (2020), ada tiga prinsip dalam komunikasi risiko. Pertama, aksesibilitas dan keterbukaan informasi. Kedua, berkomunikasi sejak dini dan terus-menerus. Ketiga, mengomunikasikan ketidakpastian terkait dengan permasalahan yang terjadi.

Permendikbud No 82 Mengertin 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan sebenarnya cukup membantu satuan pendidikan membuat langkah-langkah pencegahan. Hanya saja, Permendikbud itu masih menjadi ‘macan kertas’, belum menjadi key performance indicator (KPI) untuk mencegah terjadinya kekerasan di sekolah ataupun di kalangan anak didik.

Pendidikan, kata filsuf Ibnu Khaldun (1332-1406), merupakan transformasi nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman untuk mempertahankan eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat. Pendidikan jangan bikin mundur peradaban. Tabik!

Mungkin Anda Menyukai