SEORANG Rekan membagi tulisannya tentang betapa mahaluas dan multikulturalnya Indonesia. Hebatnya, segala keluasan dan kemultikulturalan itu Bisa ‘diselesaikan’ dengan satu hal: bahasa Indonesia. Itulah warisan paling Krusial dari Sumpah Pemuda.
Awalnya, sang Mitra memaparkan betapa besarnya negeri kita dari segi jarak. Ia pun menulis, jarak dari Sabang ke Merauke 8.514 kilometer. Ia pun membandingkan itu dengan membentangkan fakta jarak London ke Ankara, Turki, yang Sekadar 3.485 km. Lewat, jarak London-Mekah 6.201 km, London-Moskow 2.876 km, dan Madrid-Moskow 3.444 km.
Satu-satunya yang mendekati ialah jarak dari Kairo, Mesir, di Afrika Utara, ke Johannesburg, Afrika Selatan, 8.350 km. Jadi, bentangan jarak ujung Indonesia barat ke Indonesia timur, Dekat sama dengan bentangan satu benua Afrika dari ujung utara ke ujung selatan, sedangkan ukuran Eropa, dari ujung ke ujung, Tetap lebih pendek Apabila dibandingkan dengan Indonesia barat ke ujung timur.
Seorang turis asing yang memulai perjalanan dari Sabang ke arah ujung timur Merauke, Apabila ia Berjumpa dengan ribuan orang, puluhan Etnis yang berbeda dari puluhan pulau di perjalanan, turis itu hanya butuh menguasai satu bahasa, yakni bahasa Indonesia. Itulah dahsyatnya bahasa kita, Bisa mempersatukan segala keragaman. Merekatkan perbedaan, menjadi tenun kebangsaan.
Tetapi, di mulut dan tangan sebagian orang, bahasa Bahkan menjadi alat pemecah belah. Ia dijadikan alat pemisah, garis demarkasi antara ‘kami’ dan ‘mereka’. Bahasa menjadi sarana labelling, menabalkan cap Kagak baik alias stigmatisasi Kepada menyudutkan orang lain dan Golongan lain.
Penggunaan bahasa sebagai pelabelan itu Lanjut direproduksi menjelang kontestasi politik, Berkualitas pilkada, pemilu, lebih-lebih Kembali pilpres. Sudah lebih dari sewindu, penggunaan kata ‘kampret’, ‘cebong’, dan ‘kadrun’ (metamorfosis dari cap ‘kampret’) Lanjut-menerus didengungkan. Padahal, sang pendengung kerap mengeklaim diri sebagai penolak pelabelan dan politik identitas.
Kasus paling gres terjadi pascadeklarasi capres Anies Baswedan oleh Partai NasDem. Mereka yang kesal, panik, dan bingung atas deklarasi itu langsung mereproduksi label baru. Mereka memberi label ‘nasdrun’ (maksudnya ‘NasDem gurun’). Gabungan antara NasDem dan kadrun.
Awalnya, cap yang ditabalkan bukan ‘nasdrun’, melainkan ‘nasrun’. Pegiat media sosial Hariqo Wibawa menyebutkan bahwa pertama kali mereka menuliskan kata ‘nasrun’ (bukan nasdrun). Sang penulis ‘nasrun’ di medsos ialah akun Twitter Kurawa, pada 3 Oktober 2022.
Ia menuliskan, ‘Selamat!! Akurat jam 11.00 hari ini Formal telah bergabung sebuah komunitas politik baru bernama: NASRUN: nasdem gurun’. Postingan itu ia tambahkan dengan dua emoji tertawa ngakak.
Lewat, sebuah akun mengomentari dengan menuliskan, ‘Dalam bahasa Arab, Nasrun artinya kemenangan…, atau pertolongan dari Tuhan..’
Netizen lain menimpali, ‘Bakal diubah Kembali tuh kalo denger begitu’. Kemudian, dua akun lain mencicitkan, ‘Nasrun tetangga saya dulu’ dan ‘Nasrun Masikun’.
Betul prediksi netizen di atas. Setelah Mengerti bahwa ‘nasrun’ berarti kemenangan atau pertolongan Tuhan, cap itu direvisi menjadi ‘nasdrun’. Apa pun sebutannya, pelabelan dalam politik kita beberapa tahun terakhir ialah upaya menyudutkan pihak lain yang berbeda pilihan politik. Para pembuat cap itu meletakkan orang lain sebagai ‘Penganjur politik identitas’, Sembari memproduksi identitas lain.
Hal seperti itu mirip dengan politik label era Orde Baru. Rezim Orde Baru kerap Membikin label ‘ekstrem kiri’, ‘ekstrem kanan’, ‘organisasi tanpa bentuk atau OTB’ yang semuanya diletakkan pada posisi ‘melawan Pancasila’. Padahal, sebagian besar dari mereka ialah orang-orang yang sedang menjalankan Pancasila dengan Langkah mengkritisi parktik-praktik menyimpang yang dilakukan rezim despotik Begitu itu.
Kini, pelabelan politik itu diulang kembali Kepada mendulang Bunyi pemilih. Akurat belaka kata Spesialis ilmu sosial Edwin M Lemert. Dalam konteks sosial, kata dia, labeling dikaitkan dengan pemberian label atau cap kepada orang lain. Sering kali pemberian label itu berkonotasi negatif dengan memberi predikat Kagak baik kepada orang lain. Akibatnya orang atau institusi yang dilabeli predikat itu mempunyai Imej Kagak baik di hadapan publik.
Itu artinya, pelabelan punya daya rusak yang dalam dan berdurasi panjang. Padahal, tekad para pemuda Begitu memekikkan Sumpah Pemuda 94 tahun Lewat, ialah menyatukan yang terpisah membulatkan yang Tetap lonjong. Kini, sebagian orang mulai resah dengan pergaulan kebangsaan yang melanggengkan ‘kami’ dan ‘mereka’. Iklim politik ‘berkompetisi dalam Serasi’ Lanjut dirusak sang produsen label politik.
Mereka yang resah itu hendak membawa seluruh pihak Kepada menjadi Indonesia seutuhnya. Langkah pertama, menghapus segala pelabelan dari kamus politik kita. Berbeda itu keniscayaan, bukan hanya karena jalan demokrasi, melainkan memang begitulah fitrah Insan.
Indonesia kita teramat mahal Kepada meninggalkan dan menanggalkan tekad persatuan hanya demi meraih kekuasaan lewat pelabelan.