Pede

INI soal pede, percaya diri. Soal ini mengemuka, menjadi ajang perdebatan, bahkan bahan perselisihan antara dua partai besar, yakni PDI Perjuangan dan Partai Gerindra. Penyebabnya sekilas sepele, yaitu soal baliho.

Tetapi, baliho yang dimaksud bukan sembarang baliho. Ia ialah baliho politik jelang kontestasi politik di pemilu, khususnya Pilpres 2024. Ia menjadi soal karena dalam baliho itu terpampang wajah Jokowi.

Jokowi ialah kader PDIP yang selama dua periode menjabat Presiden RI. Sebagai kader, PDIP tentu boleh mengklaim bahwa Jokowi ialah miliknya. Tetapi, sebagai presiden, siapa pun dia, termasuk Gerindra tentu saja, tak dilarang untuk merasa memiliki Jokowi.

Kewajaran itu menjadi persoalan karena wajah Jokowi dibawa ke ranah politik. Gerindra mengapitalisasinya untuk memenangkan Prabowo Subianto. Manuver ini pun sebenarnya sah-sah saja selama yang dikapitalisasi tak keberatan. Toh, Jokowi tak ambil pusing. Kata dia, fotonya juga dipajang PDIP dan partai-partai lain. Dia santai-santai saja, oke-oke saja, bahkan bisa jadi malah menikmatinya.

Gerindra memang yang paling bersemangat, paling gencar, menyebar baliho bergambar Jokowi bersama Prabowo. Baliho ukuran besar dipasang di mana-mana, termasuk di kandang-kandang banteng. Pesannya jelas, lugas, yaitu untuk mempersepsikan sekaligus meyakinkan kepada publik bahwa Jokowi mendukung Prabowo.

Cek Artikel:  Copot Hak Pilih atau Tunda CASN

Di baliho, Jokowi dan Prabowo sama-sama berkemeja putih. Narasi yang melengkapinya jelas dan lugas pula bahwa Prabowo ialah sosok penerus Jokowi paling pas. Wis Wayahe, 2024 Jatahnya Pak Prabowo, Bergerak Berbarengan Bangunkan Indonesia Raya. Begitulah salah satu tulisan yang dipampang. Pun Kepada Indonesia Maju. Eksis pula, Bersatu Membangun Bangsa. 

Itulah yang membuat PDIP kemudian jengah. Dalam berbagai kesempatan, elite-elite PDIP terkesan tak bisa menerima manuver Gerindra itu. Salah satu politikus senior PDIP bahkan menyebut, dengan menebar baliho bergambar Jokowi dan Prabowo, Gerindra sebenarnya tak pede.

Baginya, Prabowo enggak punya kepercayaan diri. ”Lihat dia harus pake kadernya (PDIP) Jokowi biar naik rating-nya. Wah, naik betul barang itu, begitu ditarik langsung anjlok, jangan berpikir ini dialektikanya,” ujar sang politikus.

Cocokkah Prabowo dan Gerindra minderan? Menurut penulis Amerika Barbara De Angelis, percaya diri merupakan suatu keyakinan dalam jiwa manusia untuk menghadapi tantangan hidup apa pun dengan berbuat sesuatu. Orang yang pede ialah yang punya keyakinan bahwa dirinya mampu menghadapi sesuatu. Dia tak butuh validasi dari orang lain, apa pun bentuk validasi itu.

Cek Artikel:  Jurus Dewa Pusing Memanipulasi KTP

Apabila definisi itu yang jadi patokan, kiranya Prabowo memang tidak, atau setidak-tidaknya, kurang percaya diri. Dia sebenarnya tokoh besar, partainya juga besar, tetapi masih merasa perlu bergantung pada dukungan dari orang lain, dari kekuasaan. Tetapi, dalam politik, hal itu sah-sah saja meski kepantasannya boleh dipertanyakan. Ia bagian dari strategi kendati harus merendahkan diri.

Bagaimana dengan PDIP? Kiranya tak jauh beda. PDIP ialah partai terbesar, partai pemenang pemilu, tapi kesan bahwa mereka juga bergantung pada Jokowi sulit dihindari. Dengan menyoal baliho Jokowi yang disebar Gerindra, mereka tampak kurang percaya diri. Mereka dinilai minder, atau mungkin juga khawatir, takut, Jokowi akan mendua atau bahkan pindah ke lain hati.

Manuver PDIP belakangan menguatkan kesan tersebut. Mereka mempermasalahkan baliho Gerindra, tapi malah melakukan hal yang sama. Sama-sama menyebar baliho dengan gambar yang sama, gambar Jokowi, yang tentu disandingkan dengan Ganjar. Bedanya, kalau Jokowi dan Prabowo di baliho Gerindra berbaju putih, di baliho PDIP pakai jas dan peci.

Cek Artikel:  Polusi tiada Henti

Bahkan, di Semarang yang merupakan salah satu daerah basis PDIP, spanduk bertuliskan ‘Jokowi Pilih Ganjar Presiden’ dibentangkan. Bukankah manuver itu justru bisa dimaknai bahwa mereka sebenarnya tak haqul yakin bahwa hati Jokowi hanya untuk si rambut putih? Bukankah penegasan itu bisa diartikan bahwa mereka tak percaya diri?

Kata salah satu aktivis 1998, Faizal Assegaf, rebutan partai besar terhadap istana atau kekuasaan ialah sesuatu yang memalukan. Dia juga menyebut ini mengonfirmasi tidak adanya rasa percaya diri.

Banyak pula yang bilang, kontestasi demokrasi akan mengasyikkan jika partai atau kontestan tak bergantung pada kekuasaan dan kekuasaan tak cawe-cawe dalam persaingan. Saya sih sepakat itu. Bagaimana dengan Anda, para pembaca yang budiman?

Mungkin Anda Menyukai