Pecunia Non Olet

Doku hasil kejahatan ataupun hasil kerja keras peras keringat sama saja rupanya, sama saja baunya. Bukan Bisa dibedakan. Karena itu, di dalam penambahan harta kekayaan pejabat negara yang Bukan wajar patut diduga Terdapat Doku hasil kejahatannya.

Mudah saja Kepada menduda-duga harta kekayaan berlimpah berasal dari Doku hasil kejahatan. Kata pepatah besar pasak dari tiang, belanja lebih besar daripada pendapatan. Rumusan umumnya ialah gaji, tunjangan, dan pendapatan yang Absah bernilai minus Apabila disubsitusikan ke Segala harta yang dimiliki seorang pejabat.

Besar pasak dari tiang menggoga pejabat melakukan korupsi. Karena itu, Kepada mencegah korupsi, harta kekayaan pejabat wajib dilaporkan secara berkala kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Akan tetapi, faktanya, laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) sekadar formalitas pemenuhan perintah undang-undang. Akurasi pelaporan itu hanya 5%, pelaporan tipu-tipu.

Meski diketahui LHKPN tipu-tipu, KPK Bukan Bisa bertindak. Pangkal masalahnya ialah Indonesia belum mengatur pemidanaan terhadap pejabat negara yang Mempunyai harta yang Bukan Absah. Negeri ini Tetap menganut adagium ex turpi causa non oritur, suatu Asal Mula yang Bukan halal Bukan menyebabkan suatu tuntutan.

Cek Artikel:  Ancaman Ngeri Deflasi

Harus jujur dikatakan bahwa pemeriksaan harta kekayaan Rafael Alun Trisambodo oleh KPK karena mantan pejabat Ditjen Pajak itu apes saja. Tetap banyak pejabat lain yang menimbun harta, tapi Bukan diutak-atik. Rafael yang Mempunyai harta kekayaan hingga Rp56,1 miliar itu diperiksa KPK karena mendapat sorotan masyarakat. Bukan atas inisiatif KPK setelah yang bersangkutan menyampaikan LHKPN pada 31 Desember 2021 dan di dalamnya Terdapat harta kekayaan yang diduga Bukan wajar.

KPK pun hanya Bisa mencatat penambahan harta 70,3% penyelenggara negara berdasarkan analisis pelaporan LHKPN 2019-2020. KPK Bukan Bisa serta-merta menyeret ke ranah pidana pejabat yang penambahan kekayaannya di luar Pikiran waras. Sungguh ironi, harta pejabat naik di tengah bertambahnya penduduk miskin.

Elok nian bila negeri ini mengatur kekayaan yang Bukan wajar (illicit enrichment) menjadi suatu tindak pidana yang diatur ke dalam suatu produk hukum setingkat undang-undang.

Pembentukan undang-undang itu sebagai kewajiban Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi PBB melawan korupsi (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC.

Alenia ke-7 Pembukaan Konvensi menyatakan, “Meyakini bahwa perolehan kekayaan perseorangan secara Bukan Absah dapat merusak khususnya lembaga-lembaga demokrasi, perekonomian nasional dan negara hukum.”

Cek Artikel:  Siapa Tahan Jadi Oposisi

Ketentuan lebih lanjut dari Pembukaan Konvensi PBB pada 2003 itu diatur di Pasal 20 tentang Illicit Enrichment. Disebutkan bahwa perihal illicit enrichtment dalam UNCAC merupakan ketetapan yang bersifar perintah guna mempertimbangkan upaya legislasi.

Perintah Konvensi PBB itulah yang diabaikan selama ini. Meski demikian, pemerintah menyiapkan naskah akademik RUU Perampasan Aset pada 2012. Akan tetapi, satu Sepuluh tahun berlalu, presiden silih berganti, RUU yang dimaksud Tetap sebatas gagasan.

Disebut sebatas gagasan karena Terdapat kekhawatiran RUU Perampasan Aset berpotensi menjadi senjata makan tuan dalam implementasinya. Bukankah sebagian yang Mempunyai aset bejibun ialah mereka yang memegang kuasa Membikin undang-undang?

RUU Perampasan Aset Tindak Pidana Formal masuk ke daftar legslasi pada 17 Desember 2019. RUU itu gagal masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022. Tetapi, pada Agustus 2022, RUU Perampasan Aset berhasil masuk Prolegnas Prioritas 2023. Akan tetapi, hingga kini draf RUU tersebut Bukan kunjung masuk ke DPR.

Setiap kali muncul kasus penambahan kekayaan yang Bukan wajar dalam LHKPN, saban itu pula diteriakkan Tamat urat leher mau putus perihal pentingnya RUU Perampasan Aset berikut beban pembuktian terbalik. Sebatas teriak tanpa tindakan Konkret.

Cek Artikel:  Bambang Pacul Kelewat Jujur

Kiranya keberadaan UU Perampasan Aset dapat meredam sikap penyelenggara negara yang serakah dan Bukan pernah puas Kepada menimbun harta. Keserakahan dan Bukan pernah puas itulah ibu kandung korupsi.

Kerabat kandung keserakahan ialah gaya hidup yang konsumtif, membeli barang-barang mewah dan mahal Kepada dipamerkan di media sosial. Tepatlah kiranya peringatan Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2023 agar jangan pamer kekayaan. “Sekali Kembali, saya Mau tekankan, supaya ditekankan kepada kita, kepada bawahan kita, jangan pamer kekuasaan, jangan pamer kekayaan, apalagi Tamat dipajang-pajang di IG, di media sosial,” kata Presiden.

Pejabat dan anaknya janganlah memamerkan kemewahan di media sosial Asal Mula kemewahan itu Bisa saja berasal dari Doku yang Absah ataupun yang Bukan Absah. Doku hasil korupsi Bukan menebarkan bau kejahatan sehingga Terjamin-Terjamin saja tertera dalam LHKPN. Kaisar Romawi Vespansianus mengatakan pecunia non olet, Doku itu Bukan Terdapat baunya.

Mungkin Anda Menyukai