Paus Fransiskus dan Keteladanan dalam Langgam Foya-foya

Paus Fransiskus dan Keteladanan dalam Langgam Hedonisme
Ilustrasi MI(MI/Duta)

SEPERTI disuarakan ‘Editorial’ Media Indonesia (4/9), kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia sepatutnya disambut dengan sukacita. Terbang selama 13,15 jam, Paus lebih memilih menggunakan pesawat komersial, bukan jet pribadi. Dan, selama di Indonesia, Paus minta diantarkan menggunakan mobil yang dipakai rakyat Indonesia kebanyakan, bukan mobil mewah. Sri Paus seakan ingin mengajarkan sebuah ilmu universal yang bernama kesederhanaan.

 

Krisis keteladanan

Baca juga : Kapolri Harap Misa Akbar Paus Fransiskus Jadi Simbol Toleransi

Di hadapan 120 politisi di Italia pada 2014, Paus Fransiskus mengatakan bahwa pemimpin adalah mediator publik yang wajib mengerti kebutuhan masyarakat. Pemimpin bukan sebagai makelar yang mengambil untung dari kebutuhan masyarakatnya. Pemimpin adalah sponsor utama pencapaian cita-cita luhur sebuah bangsa. Sebagai sponsor, keteladanan adalah hal yang utama dan mutlak bagi seorang pemimpin.

Situasi terkini di Tanah Air sebenarnya menunjukkan adanya krisis kepemimpinan. Informasi seputar perilaku pejabat dan keluarganya yang gemar pamer kekuasaan dan kemewahan semakin santer. Mereka berpakaian yang mentereng, mengendarai mobil mewah dan jet pribadi. Sejak kasus Rafael Alun Trisambodo, para pejabat dan keluarganya yang hobi pamer kemewahan terus disorot. Terbaru, kasus Kaesang Pangarep, anak Presiden Joko Widodo, yang menggunakan pesawat jet pribadi (Media Indonesia, 29/8).

Cek Artikel:  Digitalisasi dan Reformasi Birokrasi

Narasi pamer kemewahan bukan hal baru di negeri ini. Gejala pamer kekuasaan dan kemewahan adalah gejala jamak di Tanah Air. Tak sedikit pejabat tinggi bahkan hingga orang yang tak punya jabatan sekalipun berupaya untuk tampil di media sosial bersama kemewahannya.

Baca juga : Fitrah Keindonesiaan dan Paus Fransiskus

Rekaman di Pusat Informasi Kompas sepanjang 1970-2023 tercatat ada 1.245 berita tentang ‘hidup sederhana’ dan ‘hidup mewah’ dalam pemberitaan Kompas. Sejumlah karikatur Oom Pasikom yang dilukis GM Sudarta beberapa kali menggambarkan kecenderungan elite yang suka hidup mewah dan memamerkan kekuasaan (Kompas, 4/3).

Salahkah jika pejabat hidup bergaya dan hidup mewah? Gaya hidup memang wilayah privat. Ia menjadi hak setiap orang, asal tidak mengganggu orang lain. Tetapi, wilayah privat itu bisa menjadi urusan publik bila menyangkut pejabat publik. Gaya hidup pejabat bukan sekadar ranah privat karena ada hak publik yang melekat dalam kehidupan pejabat. Kehidupan pejabat disokong publik.

Karena itu, memamerkan kemewahan bukan saja miskin empati, melainkan malah juga melukai hati publik. Pamer kemewahan ibarat menyiram bensin di tengah kesenjangan sosial yang kian menganga. Pamer kemewahan menyakitkan bagi 68% penduduk yang tidak mampu memenuhi makanan bergizi. Pamer kemewahan menjengkelkan bagi 8,42 juta orang yang masih menganggur. Ditambah situasi perekonomian masyarakat yang belum sepenuhnya pulih dari hantaman krisis ekonomi.

Cek Artikel:  Menitipkan Cita-cita kepada Pemimpin Muda

Baca juga : Imam Besar Istiqlal dan Paus Fransiskus akan Bersua Bahas Kesepakatan Persaudaraan

Boleh dikatakan, krisis nilai yang beririsan dengan krisis keteladanan sedang melanda negeri ini. Krisis nilai dan keteladanan pemimpin secara nasional sedang pingsan atau potensinya tidak teraktualisasi secara optimal. Meminjam terminologi Erich Fromm, mereka lebih memilih modus ‘memiliki’ daripada ‘menjadi’, yakni menjadi pejabat atau pemimpin yang berkarakter, berkomitmen, dan kapabel.

Inilah yang dikhawatirkan filsuf tersohor Plato. Ia sangat mengecam kekayaan dan kemewahan. Plato berpandangan setiap orang bisa hidup sejahtera secara merata, maka manusia perlu dan berkewajiban mengendalikan nafsu keserakahannya untuk memenuhi semua keinginan yang melebihi kewajaran.

Aristoteles menganggap kebutuhan manusia itu tidak terlalu banyak, tetapi keinginannyalah yang relatif tidak terbatas. Era kini, industri modern bekerja keras hingga sukses mengubah keinginan menjadi motif kebutuhan. Alhasil tak bisa dibedakan antara protektor dan predator. Predator politik menempatkan orang lain (rakyat) sebagai anonim, tak berarti, dan sekadar jumlah angka. Predator politik mengucap janji integritas mulia sebelum memangku amanah jabatan. Pun, mereka berpidato tentang kesejahteraan, visi kerakyatan, serta etika.

Cek Artikel:  Amin dari Doa-Doa Rakyat

Baca juga : 608 Polisi Siaga di Perbatasan RI-Timor Leste Jelang Kunjungan Paus ke Dili

 

Teladan kesederhanaan

Dalam langgam seperti ini, teladan kesederhanaan Paus Fransiskus ibarat oasis di tengah gersangnya kebersahajaan. Selama masa kepemimpinannya, Paus Fransiskus dikenal secara internasional sebagai sosok yang berusaha memenangkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan dalam suara kegembalaannya.

Sri Paus memberi teladan tentang autentiknya pemimpin dan kepemimpinan. Menjabat dan berkuasa adalah tugas mulia. Ia memberi kesempatan mengendalikan dan menciptakan struktur dan pranata demi melahirkan dampak. Kekuasaan itu tak berakhir pada jabatan dan struktur, apalagi hanya fasilitas-fasilitas mewah.

Kekuasaan dan jabatan menukik pada hal-hal mendasar yang memengaruhi hidup bersama. Ia memberi arah dan pegangan menuju cita-cita yang dituju. Itu berarti pejabat dan kekuasaan tidak dimaksudkan pameran kekayaan. Lebih dalam mesti mendengarkan suara warga dalam merancang kebijakan dan menjalankannya bagi semua.

Kekuasaan apa pun mesti makin substantif agar hidup berpolitik makin beradab, terciptanya bonum commune, dan bukan bonum privat. Kunjungan Paus Fransiskus sekiranya bisa menjadi inspirasi bagi para pemimpin bangsa, terutama dalam meneguhkan visi keadilan dan kesetaraan, pentingnya perhatian terhadap yang lemah dan terpinggirkan, yang selaras dengan upaya Indonesia untuk mengurangi ketimpangan.

Mungkin Anda Menyukai