Pasar Obligasi Indonesia Diperkirakan Moncer setelah Pemangkasan Etnis Tumbuh

Pasar Obligasi Indonesia Diperkirakan Moncer setelah Pemangkasan Suku Bunga 
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memberikan pemaparan kepada media terkait hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI di Jakarta(Antara Foto)

PEMANGKASAN suku bunga oleh The Federal Reserve atau The Fed disusul oleh penurunan suku bunga acuan hingga 2026 diperkirakan dapat memberikan dorongan positif terhadap pasar obligasi.

Portfolio Manager, Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Laras Febriany mengatakan turunnya suku bunga cenderung berdampak langsung terhadap pasar obligasi karena hubungan yang erat antara suku bunga, imbal hasil obligasi, dan harga obligasi, merupakan instrumen yang diminati para investor. Mereka, ujar Laras, dapat mengunci imbal hasil di level tinggi.

Indonesia, kata Laras, memiliki profil ekonomi yang menarik jika dibandingkan dengan  negara berkembang lain. Didukung oleh tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi yang stabil, inflasi rendah, tingkat utang negara rendah, kondisi politik stabil, ia meyakini tingkat imbal hasil obligasi yang tinggi.

Cek Artikel:  Optimalisasi Distribusi Gas 3 Kg ke Penduduk Miskin, Pertamina Patra Niaga Tingkatkan Sistem Pendataan

“Dengan profil yang menarik itu, faktor kunci bagi investor adalah pada stabilitas nilai tukar rupiah, karena pelemahan nilai tukar akan menggerus potensi imbal hasil bagi investor asing,membuat obligasi Indonesia kurang menarik, dan pada akhirnya dapat membuat arus dana asing berbalik,” ujar Laras melalui keterangan tertulis, Jumat (20/9).

Dia menambahkan, dipangkasnya suku bunga The Fed dapat menjadi iklim yang suportif bagi rupiah sekaligus dapat  menarik arus dana asing masuk ke pasar obligasi Indonesia.

Menyoal rupiah, menurut Laras, secara historis, periode pemangkasan suku bunga The Fed merupakan kondisi yang negatif bagi USD. Sejak tahun 1990, terdapat delapan siklus pemangkasan suku bunga The Fed, dan secara rata-rata nilai tukar USD melemah 1,1% dalam periode tersebut. Kondisi pelemahan USD ini harusnya dapat menjadi faktor yang suportif bagi stabilitas Rupiah.

Cek Artikel:  PLN Gandeng Perancis Kembangkan Pembangkit Listrik Hybrid Berbasis Hidrogen

Tetapi  ia memberi catatan bahwa terdapat kondisi menarik. Begitu pemangkasan suku bunga The Fed yang dipicu oleh kondisi resesi AS justru mendorong penguatan USD, seperti tahun 2001, 2007, dan 2020, karena kondisi resesi meningkatkan permintaan USD sebagai aset safe haven.

“Jadi potensi terjadinya resesi AS dapat menjadi tantangan bagi stabilitas nilai tukar Rupiah ke depannya, di tengah naiknya ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed. Selain itu faktor lain yang dapat mempengaruhi rupiah ke depannya adalah dinamika kondisi domestik dari inflasi, kinerja neraca perdagangan, dan kebijakan ekonomi pemerintah baru,” terang Laras.

Setali tiga uang dengan The Fed, BI juga mulai memangkas suku bunga di bulan September. Keputusan ini didasari oleh keyakinan yang menguat terhadap stabilitas Rupiah, inflasi domestik yang terjaga, serta komitmen untuk membantu mendukung pertumbuhan ekonomi.

Cek Artikel:  PT KAI Komitmen Jaga dan Optimalisasi Aset Negara

Ke depannya, kata Laras, konsensus pasar memperkirakan BI akan bergerak lebih konservatif dibanding The Fed, dengan The Fed diperkirakan menurunkan suku bunga di kisaran 200 bps hingga akhir 2025, sementara BI di kisaran 100 bps di periode sama.

Di tengah banyaknya pilihan investasi di pasar modal saat ini, Laras melihat pasar obligasi masih memiliki peluang yang menarik. Obligasi menawarkan potensi capital gain dan elemen stabilitas bagi portofolio investor. (H-3)

Mungkin Anda Menyukai