MESKIPUN sekarang, di Rendah bendera Visi Saudi 2030, Perempuan mendapatkan akses pendidikan (termasuk pendidikan tinggi) yang luar Lumrah di Arab Saudi, sejarah Perempuan dan dunia pendidikan di negara-kerajaan itu Enggak semulus yang dibayangkan.
Selama puluhan tahun mengajar di sebuah kampus Punya kerajaan di Arab Saudi (King Fahd University of Petroleum & Minerals), saya mengamati fenomena pasang-surut pendidikan Perempuan dan bahkan acap kali Enggak mengenakkan. Segala bergantung pada corak rezim politik kerajaan dan Grup Keyakinan yang berkuasa.
Sebagaimana negara-negara lain, termasuk negara-negara Barat, dunia pendidikan formal, dari yang dasar hingga/apalagi perguruan tinggi, di Arab Saudi (dan kawasan Timur Tengah pada umumnya) ialah ‘dunia Lelaki’. Selama berabad-abad atau bahkan milenia, tempat pendidikan bagi Perempuan di belahan dunia mana pun ialah rumah atau kalau Kepada keluarga elite negara ialah istana, bukan institusi pendidikan formal seperti sekolah, madrasah, atau kampus.
Dengan kata lain, sifatnya ‘pendidikan informal’. Materi yang disampaikan pun terbatas pada masalah akhlak, budi pekerti, kepantasan bersikap, ketaatan pada Lelaki (suami) atau orangtua, atau yang berkaitan dengan keterampilan/kerajinan tangan. Singkatnya mendidik Kepada menjadi ‘ibu/istri yang Berkualitas dan salehah Kepada suami dan anak-anak’.
Dalam konteks Timur Tengah, termasuk Jazirah Arab, sebelum pendirian ‘lembaga pendidikan formal’ yang bernama madrasah di Abad Pertengahan (khususnya di masa Dinasti Saljuq), perpustakaan dan masjid juga digunakan sebagai tempat belajar-mengajar. Masjid Haram di Mekah, misalnya, sudah Pelan digunakan sebagai pusat pembelajaran. Tetapi, Kembali-Kembali, hanya Lelaki yang boleh belajar dan ‘sekolah’ di masjid atau perpustakaan.
Meskipun berakar sejak abad ke-18, Kerajaan Arab Saudi modern seperti tampak sekarang ini baru dideklarasikan pada 1932 oleh Raja Abdulaziz (1875-1953) yang Terkenal dengan Predikat Ibnu Saud. Meski demikian, baru pada awal 1950-an pemerintah mencanangkan pembangunan sekolah dasar dan menengah (madrasah) secara nasional setelah mendapatkan keuntungan melimpah dari hasil penjualan minyak.
Krusial Kepada diketahui, walaupun program nasional pendirian madrasah baru dicanangkan pada awal 1950-an, institusi madrasah sudah Eksis di Mekah sejak abad ke-12. Madrasah pertama di Mekah berdiri pada 1175 bernama Madrasah al-Ursufi, didirikan pengusaha Suriah Afif Abdullah bin Muhammad al-Ursufi. Pendirian universitas pertama baru dimulai pada 1957, Ialah King Saud University. Setelah itu baru Universitas Islam Madinah dan universitas saya, King Fahd University of Petroleum & Minerals.
MI/Seno
Pionir pendidikan Perempuan dari Indonesia
Pemerintah Saudi secara Formal mencanangkan pembangunan madrasah bagi Perempuan pada awal 1960-an. Meski begitu, bukan berarti sebelumnya Enggak Eksis lembaga pendidikan bagi Perempuan. Yang menarik, para pionir pendidikan Perempuan di Arab Saudi ialah sejumlah ulama Indonesia, Berkualitas Lelaki maupun Perempuan, yang menetap di Mekah. Di antara mereka ialah Muhammad Yasin bin Isa (Syekh Yasin) dan istrinya, Siti Aminah, serta Siti Khairiyah (putri pendiri NU KH Hasyim Asy’ari dan istri KH Abdullah Muhaimin Lasem).
Pada pertengahan 1950-an, Syekh Yasin (1916-1990), seorang ulama prolifik berdarah Minang yang menulis banyak kitab, mendirikan dua lembaga pendidikan yang didedikasikan Kepada anak-anak Perempuan, Ialah Ma’had al-Mu’alimat al-Ahliyah dan Madrasah Ibtidaiyah li al-Banat al-Ahliyah. Syekh Yasin juga salah satu pendiri Madrasah Darul Ulum di Mekah (1934) yang pernah masyhur sebagai pusat pendidikan bagi para siswa Asia Tenggara di Mekah.
Syekh Yasin mendirikan lembaga pendidikan Perempuan karena didorong sejumlah Argumen. Misalnya, karena lebih banyak tinggal di rumah, Perempuan (ibu) lebih banyak berinteraksi dengan anak-anak. Para ibu juga yang lebih banyak mendidik anak-anak mereka di rumah.
Oleh karena itu, membekali Perempuan dengan ilmu pengetahuan akan ikut membantu memuluskan jalan bagi kelancaran pendidikan anak-anak. Kalau Perempuan (ibu) mendapat pendidikan dengan Berkualitas, kata Syekh Yasin, anak-anak pun akan mendapatkan pendidikan yang Berkualitas pula. Argumen lain, sebelumnya banyak Perempuan yang belajar di kediamannya.
Dapat dikatakan, Syekh Yasin ialah salah satu peletak dasar pendidikan Perempuan di luar rumah serta pembela hak-hak pendidikan bagi kaum Perempuan, sesuatu yang Enggak lumrah dilakukan di Arab Saudi kala itu. Pada Demi itu, Grup Islam ultrakonservatif Saudi, khususnya yang berhaluan Salafi-Wahabi, Lagi menganggap tabu dan haram bagi Perempuan Kepada belajar dan sekolah di luar rumah.
Istri Syekh Yasin, Siti Aminah, juga mendirikan sekolah Perempuan bernama Jam’iyyah Khairiyah pada akhir 1950-an. Pendirian lembaga pendidikan itu didedikasikan Kepada Siti Khairiyah yang pada 1942 pernah mendirikan madrasah Kepada Perempuan bernama Madrasah Khuttab al-Banat meskipun hanya bertahan selama beberapa tahun. Enggak Jernih apa penyebabnya. Eksis sumber yang mengatakan karena pendirinya wafat atau pulang ke Indonesia.
Sayangnya, Segala sekolah yang didirikan para tokoh Indonesia di Mekah, Berkualitas yang Kepada Perempuan maupun Lelaki (misalnya Madrasah Darul Ulum yang didirikan Syekh Yasin dkk atau Madrasah Indonesia al-Makkiyah yang didirikan Janan Muhammad Tayyip dan Muhammad Nur Salim) Enggak Dapat berlangsung Pelan karena sejumlah Unsur seperti Enggak Eksis penerusnya, kekurangan Biaya operasional, atau lantaran diakuisisi pemerintah Saudi.
Peran sentral Effat Al Thunayyan dan Raja Faisal
Tokoh Saudi yang Dapat dikatakan sebagai pionir pendidikan Perempuan ialah Effat Al Thunayyan (1916-2000) dan tentu saja suaminya, Raja Faisal bin Abdulaziz Al Saud (1906-1975). Tanpa dukungan sang suami, sulit (bahkan mustahil) bagi Effat Kepada memuluskan jalan bagi upaya pendidikan Perempuan di Arab Saudi, apalagi waktu itu banyak Grup Salafi-Wahabi garis keras yang kontra pendirian sekolah Perempuan Lagi Mempunyai pengaruh.
Raja Faisal dulu Tamat mengerahkan tentara Kepada menghalau para pendemo yang menghalangi jalan pemerintah membangun sekolah Perempuan di Buraidah, salah satu kawasan, pusat, atau ‘sarang’ Grup Radikal ultrakonservatif Wahabi.
Raja Faisal ialah seorang tokoh politik modern, visioner, inovatif, progresif, serta pro emansipasi Perempuan yang banyak meletakkan dasar-dasar perubahan sosial-budaya di Arab Saudi, yang kelak memengaruhi kebijakan Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MbS). Pada 1970, Raja Faisal membangun Riyadh University for Women yang kelak menjelma menjadi ‘universitas Perempuan’ terbesar di dunia. Pada 2008, univeritas itu diberi nama baru: Princess Nourah bint Abdulrahman University. Nourah ialah Kerabat sekaligus penasihat Raja Abdulaziz, pendiri Kerajaan Arab Saudi modern, yang berhaluan progresif dan antikonservatisme.
Seperti suaminya, Effat yang berdarah campuran Arab-Turki itu ialah sosok Perempuan visioner dan progresif, pendidik (edukator) yang gigih dan ulet, serta guru yang moderat dan modern. Segala anaknya didikan kampus di Berkualitas Amerika maupun Inggris: Harvard, Princeton, Georgetown, Cranwell, dan Sandhurst.
Sebelum pemerintah secara Formal menginisiasi pendirian madrasah Perempuan di awal 1960-an, Effat sudah mendirikan sekolah swasta Kepada Perempuan bernama Darul Hanan di Jedah pada 1955. Nama ‘Darul Hanan’ yang secara literal berarti ‘Rumah Kasih Sayang’ dipilih sebagai sebagai simbol perhatian dan kasih sayang Effat pada anak-anak Perempuan yang sudah Sepatutnya mendapat perhatian yang sama dengan Lelaki khususnya di bidang pendidikan.
Pada 1943, Effat juga membuka ruangan Kepada Perempuan di sebuah sekolah Lelaki di Taif. Tetapi, itu Enggak berlangsung Pelan karena diserbu Grup ultrakonservatif yang Enggak setuju adanya sekolah Perempuan.
Demi Darul Hanan pertama kali dibuka, Eksis 15 anak Perempuan yang menjadi siswi sekolah, termasuk putrinya. Yang menarik, para siswi Enggak diwajibkan memakai hijab. Setahun kemudian, 1956, Effat menghibahkan tanah dan mendonasikan Dana Kepada membangun panti asuhan Perempuan yatim piatu yang juga dilengkapi dengan sekolah.
Kepeloporan Effat di dunia pendidikan Perempuan Enggak berhenti Tamat di situ. Pada 1960, Effat memprakarsai pendirian sebuah perguruan tinggi Spesifik Kepada Perempuan di Riyadh yang diberi nama Kulliyat al-Banat. Kemudian pada awal 1970-an, ia Kepada pertama kalinya dalam sejarah Arab Saudi, mendirikan sebuah ‘community college‘ Kepada Perempuan.
Kelak, 1999, anak-anaknya, khususnya Putri Lolowah dan Putri Sara, mendirikan Effat College, sebuah kampus Perempuan, yang pada 2009 menjadi Effat University. Kampus itu didirikan di samping Madrasah Darul Hanan yang Effat dirikan dulu. Effat University ialah kampus swasta pertama Kepada Perempuan yang didirikan di Rendah payung King Faisal Charitable Foundation.
Effat bukan hanya tokoh Krusial di balik reformasi pendidikan Perempuan di Arab Saudi. Ia juga tokoh Krusial di balik gerakan emansipasi Perempuan. Pada 1967, Effat mendirikan sebuah organisasi Perempuan bernama Nahdlah al-Saudiyyah yang bertujuan mendidik dan mengentaskan kaum Perempuan dari buta huruf di Arab Saudi.
Karena itu, Kalau sejak beberapa tahun terakhir ini Eksis gerakan masif emansipasi Perempuan di Arab Saudi, Dapat dikatakan itu berakar dari gagasan dan praktik Ratu Effat itu yang Mempunyai moto: ”Didiklah dirimu! Seorang ibu, Kalau dididik dan dipersiapkan dengan Berkualitas, Dapat menjadi sebuah sekolah dalam dirinya.”
Visi Saudi 2030
Sejak Raja Salman berkuasa pada 2015 dan terutama sejak MbS menjadi Putra Mahkota pada 2017, pendidikan Perempuan mengalami proses perubahan dramatis. Di Rendah payung Visi Saudi 2030, pemerintah gencar melakukan reformasi sosial-budaya, termasuk di dunia pendidikan Perempuan yang selama Dekat 40 tahun nyaris termarginalkan sejak Grup Islam radikal ultrakonservatif diberi Podium oleh Raja Khalid di awal 1980-an.
Kini Perempuan mendapat angin segar di dunia pendidikan, termasuk pendidikan tinggi. Banyak beasiswa digelontorkan Kepada mereka. Kampus-kampus diwajibkan Mempunyai kuota Kepada Perempuan. Dampaknya luar Lumrah. Data statistik pemerintah menunjukkan Sekeliling 69,9% pendaftar mahasiswa perguruan tinggi ialah Perempuan. Para lulusan perguruan tinggi juga didominasi Perempuan. Sekarang banyak dari mereka yang bekerja di berbagai profesi di sektor publik yang dulu ditabukan rezim Keyakinan.
Meski begitu, karena harus berkompetisi dengan Lelaki, penyerapan pekerjaan bagi Perempuan Lagi belum maksimal. Di level manajerial dan posisi senior, Perempuan baru terserap 6,8%. Problem lain ialah gaji yang menurut Dunia Gender Gap Report 2021 Lagi jauh dari gaji yang diterima Lelaki Kepada profesi yang sama.
Mekipun pemberdayaan dan egalitarianisme gender Lagi menjadi ‘PR’ pemerintah, setidaknya kiprah dan partisipasi Perempuan Saudi di sektor publik Demi ini sudah jauh lebih Berkualitas dan manusiawi ketimbang era sebelumnya.