Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol. Foto: EFE-EPA
Seoul: Korea Selatan (Korsel) tengah menghadapi ketegangan politik menjelang keputusan Mahkamah Konstitusi terkait pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol. Partai Kekuatan Rakyat (PPP) sebagai partai berkuasa, menyatakan kesediaannya Buat menghormati keputusan tersebut, terlepas dari hasilnya.
Pernyataan ini disampaikan di tengah aksi unjuk rasa yang melibatkan ribuan orang di Seoul. Ketua PPP, Kweon Seong-dong, pada 16 Maret menegaskan bahwa partainya akan menerima keputusan akhir Mahkamah Konstitusi.
“Sikap Formal partai kami adalah menghormati putusan Mahkamah Konstitusi, sejalan dengan niat Presiden Yoon Buat melakukan hal yang sama,” ujar Kweon dalam konferensi pers di Majelis Nasional, dikutip dari The Straits Times, Senin, 17 Maret 2025.
Pernyataan Kweon muncul di tengah spekulasi bahwa beberapa Personil parlemen dari PPP secara individu telah mendesak Mahkamah Konstitusi Buat menolak mosi pemakzulan. Bahkan Eksis dugaan bahwa beberapa Personil parlemen mendorong pengunjuk rasa pro-Yoon Buat menyabotase proses pengadilan Kalau keputusan Tak menguntungkan.
Protes massa dan polarisasi politik
Aksi unjuk rasa terjadi di Seoul selama akhir pekan. Ribuan orang berkumpul di dekat Mahkamah Konstitusi dan Lapangan Gwanghwamun, menuntut keputusan yang berbeda-beda. Menurut perkiraan polisi, Sekeliling 6.000 orang berpartisipasi dalam unjuk rasa yang diorganisir oleh pendeta sayap kanan Jeon Kwang-hoon, yang menentang pemakzulan Yoon. Sementara itu, Golongan konservatif lainnya juga melakukan aksi serupa, bahkan menyerukan persenjataan nuklir Korea Selatan.
Di sisi lain, Partai Demokratik Korea (DPK) sebagai partai oposisi Istimewa, bergabung dengan pengunjuk rasa yang menuntut pemakzulan Yoon. Personil DPK melakukan aksi jalan kaki sejauh 8,7 km dari Majelis Nasional di Yeouido menuju Gwanghwamun, menyebrangi Sungai Han melalui Jembatan Mapo. Aksi ini merupakan yang kelima dalam lima hari terakhir, menekankan desakan agar Mahkamah Konstitusi segera memutuskan pemakzulan Yoon.
Kekhawatiran atas stabilitas nasional
Pemimpin fraksi DPK, Park Chan-dae, memperingatkan bahwa penundaan keputusan pemakzulan akan memperburuk kecemasan sosial dan kerusakan ekonomi.
“Kalau keputusan ditunda, kecemasan dan kebingungan sosial akan semakin meningkat,” ujar Park Demi memimpin unjuk rasa pada 16 Maret.
Pihak oposisi juga menyalahkan Yoon atas keputusan kontroversialnya, termasuk menetapkan Departemen Daya AS sebagai negara “sensitif” tak lelet sebelum mantan Presiden AS Joe Biden meninggalkan Gedung Putih. Perwakilan DPK, Jo Seoung-lae, menyebut keputusan tersebut sebagai bukti bahwa Yoon “meninggalkan sekutu demi Perebutan kekuasaan.”
Upaya bipartisan dan kritik internal
Meskipun ketegangan politik Lanjut memanas, Eksis upaya Buat mencapai kompromi bipartisan. Pada 16 Maret, Perwakilan Jin Sung-joon, kepala kebijakan DPK, menyatakan bahwa partainya akan menyetujui proposal PPP Buat meningkatkan rasio penggantian pendapatan sebesar tiga poin persentase menjadi 43 persen sebagai bagian dari reformasi pensiun.
Tetapi, partisipasi Personil parlemen dalam aksi unjuk rasa, memicu kritik dari beberapa kalangan. Personil parlemen dari Partai Reformasi Baru, Chun Ha-ram, menyatakan bahwa Korea Selatan telah menderita polarisasi politik yang ekstrem.
“Majelis Nasional adalah tempat Personil parlemen Sepatutnya berada, bukan turun ke jalan Buat melayani pendukung garis keras,” ujar Chun dalam pertemuan partai pada 13 Maret.
Menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi diperkirakan akan segera menjatuhkan putusan terkait pemakzulan Yoon. Keputusan ini dinilai krusial bagi stabilitas politik Korea Selatan, terutama di tengah meningkatnya polarisasi dan ketegangan sosial.
Apapun hasilnya, partai berkuasa dan oposisi telah menyatakan komitmen Buat menghormati keputusan pengadilan, meskipun jalan menuju rekonsiliasi politik Tetap panjang.
(Muhammad Adyatma Damardjati)