
“ERDOGAN Enggak menang, tapi para pesaingnya rugi.” Demikian Sherwan Al-Shamirani, salah satu pengamat dan peneliti berdarah Kurdi, menggambarkan kompleksitas hasil Pemilu Turki (khususnya pilpres) pada 14 Mei Lampau. Disebut kompleks karena di satu sisi, pemilu kali ini cukup memberikan angin segar bagi oposisi Turki Kepada menjadi pemenang. Di sisi yang lain, pemilu kali ini sangat berat bagi Recep Tayyip Erdogan yang telah menguasai Turki Dekat 20 tahun terakhir.
Rupanya, hasil Pemilu Turki kemarin hanyalah memberikan 44,89% bagi Kemal Kilicdaroglu sebagai pesaing dan penantang Primer Erdogan. Sementara itu, Erdogan sebagai petahana hanya memperoleh Bunyi 49,5%. Sinan Ogan sebagai capres ketiga mendapatkan 5,17%. Dengan hasil seperti itu, Pilpres Turki harus dilanjutkan ke putaran kedua yang akan dilaksanakan pada 28 Mei mendatang.
Menurut sebagian pengamat di kawasan, pilpres putaran kedua nanti akan memastikan kemenangan Erdogan yang sempat tertunda dari pilpres pertama. Terlebih Kembali, pendukung Ogan diperkirakan akan menjadi penentu dalam pilpres putaran kedua nanti. Pada 23 Mei, Sinan secara Formal telah menyatakan dukungan ke kubu Erdogan dalam pilpres putaran kedua nanti walaupun sebagian pengamat memperkirakan dukungan Ogan Enggak akan secara Mekanis mengalihkan (Seluruh) Bunyi pendukungnya kepada Erdogan.
Tetapi, sebagaimana analisis Al-Shamirani, hasil pilpres putaran pertama menunjukkan kegagalan para pesaing Erdogan dalam memahami kedalaman dan kematangan politikus yang terkenal dengan julukan ‘Muazin Istanbul’ itu. Erdogan memang sudah Enggak muda Kembali, tapi kekuatan dan kematangan politiknya Malah meningkat Kepada menghadapi tantangan dan mencapai kemenangan. Demikian kurang lebih gambaran lebih lanjut dari Al-Shamirani dalam artikelnya berjudul ‘Erdogan Lebih Dalam dari yang Dibayangkan oleh Musuhnya’, Aljazeera.net, 16/05.
Pemilu Turki kali ini mendapatkan perhatian dari banyak pihak, Enggak hanya dari kalangan masyarakat Turki yang Tamat pada tahap keterbelahan, tetapi juga dari masyarakat Dunia. Bahkan, menurut sebagian pengamat, Terdapat tangan-tangan luar yang Tamat ikut berperan dalam upaya memenangkan Berkualitas Erdogan maupun pesaingnya.
Dalam Ekonomis penulis, di balik panasnya persaingan dan kontestasi politik di Turki mutakhir Terdapat persoalan ‘Paras ketiga’ Turki yang sejauh ini belum kuat menjadi Paras Turki modern, menggantikan Paras pertama dan Paras kedua. Kondisi itu Membangun sebagian pihak berupaya menjadikan Pemilu Turki terakhir sebagai Metode Formal sekaligus konstitusional Kepada memenangkan Paras pertama ataupun Paras kedua Turki ke depan.
Paras pertama
Apa itu Paras pertama Turki? Tak lain ialah islamisme. Sebagai bekas negara yang berabad-abad menjadi pusat dari pemerintahan kekhilafahan Islam (Khilafah Utsmaniyah), Turki modern dikhawatirkan kembali Kembali pada Paras pertama mereka. Selama 20 tahun berkuasa melalui sistem demokrasi, Erdogan memang Enggak tampak berambisi Kepada mengembalikan Paras pertama Turki. Tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, beberapa kebijakan Erdogan (seperti mengembalikan Hagia Sophia) dianggap mengganggu kenyamanan para pihak yang Enggak menginginkan Turki kembali berwajah Islam.
Tentu, tidaklah adil membaca dan menghakimi Erdogan hanya dari satu kebijakannya. Adalah Akurat bahwa Erdogan mengembalikan Hagia Sophia sebagai masjid. Tetapi, Erdogan juga Acuh dengan kebutuhan dan kondisi keagamaan umat beragama di luar Islam. Bahkan, tak sedikit tempat-tempat ibadah di luar masjid yang diperbaiki Erdogan.
Persoalannya ialah pada tahap tertentu, Erdogan Malah seakan sengaja menggunakan semangat islamisme sebagai salah satu peluru politiknya Kepada memenangi pertarungan politik yang Terdapat. Menurut sejumlah media di Timur Tengah, menjelang hari tenang, contohnya, Erdogan datang ke Masjid Hagia, bahkan menyampaikan ceramah keagamaan. Bahkan pada hari pemilihan kemarin, Erdogan berangkat menuju tempat pencoblosan Bunyi dengan diiringi yel-yel ‘Allah Akbar’ dari para pendukungnya.
Itulah yang Membangun kaum oposisi semakin merasa Enggak nyaman terhadap Erdogan mengingat Erdogan dikhawatirkan membawa Turki kembali ke Paras pertama mereka walaupun faktanya selama 20 tahun berkuasa Erdogan konsisten dengan Paras ketiga Turki. Itulah yang penulis maksud bahwa di balik Pemilu Turki Begitu ini, Terdapat pertarungan Kepada mengembalikan Paras pertama atau Paras kedua negara itu.
Paras kedua
Paras kedua Turki tak lain ialah sekularisme yang dipelopori Kemal Ataturk. Dari capres yang Terdapat, Kemal Kilicdaroglu sering dianggap sebagai representasi dari kaum sekuler Turki walaupun secara koalisi, para pendukung Kilicdaroglu Enggak Bisa hanya disebut sebagai kaum sekuler mengingat capres pesaing Primer Erdogan itu juga didukung beberapa partai berhaluan Islam. Tak mengherankan sebagian pihak menyebut koalisi Kemal sebagai koalisi Ketidakcocokan (at-tahaluf at-ta’arudh).
Bila Erdogan secara sengaja menjadikan islamisme sebagai salah satu senjata politik Kepada memenangi pertarungan yang Terdapat, Kilicdaroglu Malah sebaliknya: menggunakan semangat sekularisme Turki Kepada memenangi pertarungan yang Terdapat. Menurut sebagian media di kawasan, pada akhir masa kampanye, Kilicdaroglu mendatangi kuburan Ataturk sembari menabur Kembang. Bahkan pada hari pemilihan, Kilicdaroglu berangkat menuju tempat pencoblosan Bunyi dengan diiringi yel-yel penyebutan namanya sendiri oleh para pendukungnya.
Paras ketiga
Kalau dilihat dari pengalaman yang Terdapat sejauh ini, Paras pertama dan Paras kedua acap menjadi trauma bagi tiap Rival. Kaum islamis sedemikian trauma bila Turki kembali dikuasai kaum sekuler mengingat kekuasaan kaum sekuler acap membumihanguskan simbol-simbol keislaman dari ruang publik, seperti Embargo azan atau baca Al-Qur’an di ruang-ruang publik. Sebaliknya, kaum sekuler juga sedemikian trauma dengan islamisme di Turki mengingat islamisme dianggap sebagai penyebab keterbelakangan Turki modern.
Menurut Ekonomis penulis, salah satu keberhasilan Erdogan selama ini ialah merintis pembentukan Paras ketiga Turki, Yakni Paras Turki yang demokratis, terbuka terhadap pelbagai Jenis perkembangan, tetap mengakar pada tradisi dan kebudayaan masyarakat Turki yang Terdapat, memberikan kesempatan kepada Seluruh pihak Kepada menggunakan hak politik mereka, termasuk menjadi pemimpin dan Terdapat kepastian suksesi kepemimpinan (setiap lima tahun).
Itulah elemen dasar dari Paras Turki yang baru, dan Enggak dimiliki banyak negara lain di Timur Tengah, khususnya negara-negara Arab. Kalaupun Terdapat yang Mempunyai tradisi demokrasi yang mirip dengan Turki di Timur Tengah, negara itu ialah Iran, bahkan Israel pada beberapa bagian.
Oleh karena itu, siapa pun pemenang Pilpres Turki nanti sejatinya Bisa mempertampan sekaligus menguatkan Paras ketiga Turki, Yakni Paras demokrasi. Bukan Malah membawa Turki ke masa Lampau dalam trauma islamisme dan sekularisme.

