KETIKA menghadiri acara Zikir dan Doa Kebangsaan 78 Mengertin Indonesia Merdeka di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (1/8), Presiden Jokowi mengucap syukur karena Indonesia merupakan negara paling religius di dunia. Dia bilang, tingginya religiusitas ialah modal bagi bangsa untuk mengarungi kehidupan yang sarat terpaan badai dan topan.
Pak Jokowi menyebut, berdasarkan survei internasional yang pernah dia baca, 96% masyarakat Indonesia percaya kepada Tuhan. ”Bilangan ini ialah tertinggi di dunia. Alhamdulillah tertinggi di dunia,” begitu katanya.
Pak Jokowi benar. Sejumlah survei menunjukkan bahwa Indonesia memang menjadi salah satu negara paling religius, paling percaya pada ajaran agama. Yang disebutkan Pak Presiden itu ialah sigi Pew Research Center bertajuk The Dunia God Divide yang menghasilkan 96% responden kita menganggap seseorang mesti beriman kepada Tuhan untuk dapat bermoral, lalu 98% menganggap agama penting dalam hidup mereka.
Majalah CEOWORLD dan Dunia Business Policy Institute juga pernah melakukan survei untuk mengukur tingkat religiusitas di 148 negara. Hasilnya, Indonesia masuk 10 besar, tapi bukan yang paling religius. Kita berada di posisi tujuh dengan skor 98,7. Posisi puncak ditempati Somalia dengan nilai 99,8, disusul Nigeria (99,7), Bangladesh (99,5), Etiopia (99,3), Yaman (99,1), dan Malawi (99).
Hasil jajak pendapat yang dihelat Stagnanta Dunia Consumer Survey mirip-mirip. Indonesia masuk jajaran negara yang tingkat religiusitasnya 80-99%. Peringkat pertama di daftar ini ialah Peru. Terdapat pula empat negara Asia Tenggara lainnya, yakni Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina.
Yang agak berbeda ialah hasil survei oleh US News terhadap 17.000 warga dari negara pada 2022. Di survei ini, Arab Saudi bercokol di posisi teratas mengungguli Israel, sedangkan Indonesia tak masuk 10 besar.
Percaya kepada Tuhan ialah kompas, penuntun hidup. Ia ialah padom, penunjuk arah, sehingga dengan bersandar padanya kita tak akan tersesat. Kalau punya kompas, jika memiliki padom, bisalah kita tenang hati. Pertanyaannya, apakah tinggi-rendahnya tingkat religiusitas berbanding lurus dengan maju-mundurnya sebuah bangsa?
Sayangnya, hasil survei justru berkebalikan. Negara-negara maju pada umumnya malah tak masuk jajaran bangsa religius. Siapa yang meragukan majunya peradaban Kanada, Finlandia, Swedia, Inggris, Spanyol, Prancis, Jerman, Australia, atau Korea Selatan? Tetapi, soal religiusitas, tingkatan mereka hanya 40-59%. Siapa yang menyangsikan kehebatan Tiongkok dan Jepang? Asal tahu saja, tingkat religiusitas kedua negara cuma 20-39%.
Apabila begitu, buat apa orang percaya agama? Tunggu dulu. Segala agama mengajarkan kebaikan, mendorong kemajuan, meninggikan peradaban. Segala agama melarang manusia berbuat keburukan, menebar kerusakan. Jadi, kalau korelasi dengan fakta tak linear, yang salah pasti bukan agama, tetapi orangnya.
Keyakinan mengharamkan yang haram-haram, tapi banyak orang termasuk di negeri ini pilih-pilih mana yang haram. Mereka setengah mati menolak makanan haram, tetapi getol mencari uang dengan cara yang haram. Maka, tak mengherankan jika di negara-negara religius, termasuk negeri ini, korupsi merajalela.
Keyakinan mengajarkan bahwa kebersihan sebagian dari iman. Tetapi, di negara-negara religius, kemauan dan semangat untuk hidup bersih tetap saja langka. Lagi banyak lagi paradoks antara ajaran agama dan perbuatan masyarakat di negeri religius. Keyakinan mengajarkan ini orang melakukan itu. Keyakinan menuntun ke sini, mereka maunya ke sana.
Beda jauh dengan negara-negara yang tingkat religiusitasnya rendah. Di sini, di negeri semacam inilah yang sesungguhnya mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
Barangkali petikan puisi Ketika Keyakinan Kehilangan Tuhan yang pernah beredar luas ini bisa menjadi perenungan kenapa negara-negara religius malah tertinggal dari mereka yang kurang religius: Dulu agama menghancurkan berhala. Kini agama jadi berhala, Tak kenal Tuhannya, yang penting agamanya.
Dulu orang berhenti membunuh karena agama. Sekarang orang saling membunuh karena agama.
Dulu orang saling mengasihi karena beragama. Kini orang saling membenci karena beragama.
Keyakinan tak pernah berubah ajarannya dari dulu. Tuhan pun tak pernah berubah dari dulu. Lewat yang berubah apanya? Insannya.
Dulu orang belajar agama sebagai modal untuk mempelajari ilmu lainnya. Sekarang orang malas belajar ilmu lainnya, maunya belajar agama saja….