UNTUK menjadi dokter spesialis, seorang dokter umum harus sekolah lagi. Sekolahnya berupa coaching dan training di rumah sakit. Di Indonesia, sekolah spesialis itu bernama Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Panjang programnya 3-6 tahun; bergantung pada bidang spesialisasi yang dipilih. Pelaksana PPDS di Indonesia ialah universitas. Lewat fakultas kedokteran, universitas melakukan seleksi penerimaan, pendidikan dan pemberian gelar spesialis. Makanya model PPDS di Indonesia disebut university-base.
Akhir-akhir ini PPDS banyak disorot. Program itu dianggap gagal menjadi mesin produksi dokter yang efektif. Dalihnya, jumlah dokter spesialis hingga saat ini masih sangat kurang. Pada spesialis tertentu, jumlahnya bahkan lebih langka dari badak sumatra. Selain itu, banyak menuding PPDS sebagai program diskriminatif, mahal, dan complicated; kondisi yang memperparah produksi dokter. Karena itu, muncul gagasan untuk mengubah total model sekolah spesialis. Model university-base dianggap tidak relevan lagi dengan kebutuhan Indonesia. Muncul pula narasi untuk mengeskalasi produksi dokter spesialis lewat bermacam cara, termasuk membuka dan memperbanyak program pendidikan spesialis, mengajak dokter diaspora balik Indonesia, serta memberi izin dokter asing praktik.
Barang langka
Per Januari 2023, terdapat 215 ribu dokter di Indonesia. Dari jumlah ini, seperempatnya (50 ribu) ialah dokter spesialis berbagai bidang. Jumlah dokter tiap spesialisasi bervariasi, dengan rentang yang sangat lebar. Sebagian spesialisasi jumlahnya cukup lumayan. Dokter spesialis anak, kebidanan/kandungan, serta penyakit dalam masing-masing jumlahnya sudah melebihi 5.000-an. Rasionya terhadap penduduk berkisar 1:45.000. Beberapa spesialisasi lain jumlahnya sangat langka. Spesialis bedah anak jumlahnya hanya 150 orang; rasionya terhadap jumlah anak berkisar 1:600.000. Definisinya, tingkat kelangkaan dokter spesialis bervariasi bergantung pada spesialisasi.
Kelangkaan dokter spesialis tidak hanya terjadi di Indonesia. Nyaris semua negara di dunia berteriak kekurangan dokter spesialis. Kasarnya, memang terjadi universal shortage. India saat ini butuh tambahan 80% dokter spesialis bedah, kebidanan, dan anak. Apabila dibandingkan dengan dua tahun lalu, kebutuhan spesialis mereka meningkat 70%, tetapi yang terisi hanya 26%.
Di Inggris, kekurangan dokter spesialis merupakan fenomena kronis. Demi ini, 11 ribu lowongan spesialis ditawarkan, tetapi tidak terisi. Meski telah ada 40 ribu dokter dari Eropa yang bekerja di Inggris, tetap saja mereka kekurangan dokter spesialis anestesi, anak, dan jantung. Saking kurangnya stok dokter, untuk bertemu dokter umum saja, diperlukan waktu tunggu (waiting time) 10-19 hari. Kepada bertemu dokter spesialis, rerata waiting time-nya 4-5 bulan. Kepada superspesialisasi tentu lebih lama lagi.
Hal sama terjadi di Amerika. Demi ini, negeri itu kekurangan 20 ribu dokter; kekurangan meningkat menjadi 38 ribu-125 ribu sebelum 2034. Padahal saat ini, sekitar 200 ribu dokter asing praktik di Amerika. Rasio spesialisasi terhadap penduduk juga amat besar. Rasio dokter jantung intervensi terhadap penduduk adalah 1:85.000, dokter paru 1:62.000, dan radiasi onkologi 1:65.000. Akibat kelangkaan, untuk bertemu dokter ahli jantung, waiting time-nya 27 hari, sementara untuk dokter kebidananan dan kulit waiting time-nya lebih sebulan.
Banyak penyebab langkanya dokter spesialis di seluruh dunia.
Pertama, sekolah spesialis membutuhkan waktu lama. Kepada menjadi spesialis, dokter terlebih dahulu menyelesaikan dokter umum dan internship yang lamanya 6-7 tahun. Setelah itu, bersekolah spesialis selama 3-6 tahun. Jadi, total sekolahnya minimal 9-13 tahun. Di Amerika bisa lebih lama lagi karena syarat masuk fakultas kedokteran ialah memiliki ijazah sarjana (bachelor degree) dari disiplin lain terlebih dahulu. Padahal, untuk mendapat bachelor degree itu paling tidak butuh 2-4 tahun.
Kedua, biaya sekolah spesialis mahal. Di Indonesia, biaya sekolah selama 3-6 tahun bisa mencapai ratusan juta, atau bahkan miliaran. Berbagai negara lain juga menerapkan training fee yang besar, terutama untuk dokter dari luar negeri (overseas doctor). Di Malaysia, beberapa sekolah spesialis menetapkan institutional fee sebesar Rp 250 juta bagi dokter lokal, dan Rp 700 juta bagi overseas doctor. Itu belum termasuk biaya hidup keseharian.
Ketiga, keterbatasan peluang dokter spesialis. Fenomena itu terjadi di seluruh dunia. Penyebabnya adalah terbatasnya tenaga pendidik dan sarana pendidikan. Karena minimnya peluang, seleksinya menjadi ketat. Di Inggris, pendaftar sekolah spesialis mesti telah lulus MRCP plus PLAB bagi overseas doctor. Kedua ujian itu tidak mudah. Di Amerika, pendaftar harus menjalani ujian USMLE, matrikulasi residensi, serta mendapat penerimaan rumah sakit. Di Jerman, banyak overseas doctor yang harus menunggu bertahun-tahun untuk mendapat kesempatan sekolah spesialis.
Keempat, peraturan praktik spesialis yang ketat. Sejumlah sekolah dokter di luar negeri mendidik dan mencetak dokter spesialis, tetapi tidak mengizinkan lulusan mereka praktik di negara mereka. Dokter spesialis itu harus mencari hidup mereka di negara lain. Beberapa sekolah lain hanya memberikan partial license kepada lulusan mereka; artinya mereka bisa bekerja, tetapi di bawah supervisi dokter lain. Terdapat pula negara yang menggunakan sistem adaptasi atau ujian ulang (qualifying examination) saat ingin menerima spesialis dari luar negara mereka. Intinya, bahkan ketika seorang dokter telah menjadi spesialis, masih terdapat kendala untuk bisa langsung berpraktik pada tempat yang diinginkan.
Kelima, penuaan populasi dan dokter (aging population and doctor). Pertambahan populasi serta meningkatnya angka harapan hidup memicu peningkatan kebutuhan tenaga dokter spesialis. Padahal di sisi lain, dokter mengalami penuaan. Dalam 10 tahun mendatang, 2 dari 5 dokter di Amerika akan mencapai usia 65 tahun atau pensiun. Demi bersamaan, banyak dokter yang meninggalkan profesi mereka akibat isu kesejahteraan, burn out, atau persoalan administrasi. Bingungkatan kebutuhan dokter spesialis tidak dibarengi peningkatan relevan jumlah dokter spesialis.
Isu lain ialah distribusi dokter yang tidak merata. Isu itu terjadi di berbagai negara, termasuk Inggris dan Amerika. Dokter spesialis, apalagi subspesialis, umumnya berpraktik di kota besar. Jumlah mereka banyak di kota besar dan tidak memadai di daerah-daerah. Di Amerika, 90% spesialis urologis hanya praktik di kota-kota besar. Isu itu memperbesar rasio kelangkaan dokter spesialis di berbagai negara. Kembali lagi, isunya ialah kesejahteraan dan ketersediaan fasilitas. Tanpa tawaran kesejahteraan dan fasilitas yang memadai, sulit mengajak dokter spesialis berpraktik di daerah.
Kultur negatif
Puluhan tahun Indonesia menjalankan PPDS lewat model university-base. Hasilnya sangat baik. Dengan model itu, telah tercetak lebih 50 ribu dokter spesialis yang berkiprah di dalam dan luar negeri. Dokter-dokter itu berjibaku membangun kesehatan negeri. Terlepas dari keberhasilan tersebut, tentu saja masih terdapat banyak room for improvement. Selain kendala universal disebutkan di atas, Indonesia ketambahan persoalan lain, yaitu iklim pendidikan yang belum sepenuhnya kondusif. Sebagian sekolah spesialis masih dibayang-bayangi kultur negatif dan sistem yang terkontaminasi.
Hingga saat ini, masih ada program spesialis yang menerapkan kultur negatif dalam penerimaan dokter spesialis. Mereka mensyaratkan aturan-aturan sangat ketat untuk mendaftar: usia mesti di bawah 30-35 tahun, mendapat rekomendasi senior dan institusi, memiliki nilai TOEFL yang tinggi, dan melampirkan beragam sertifikat. Termasuk fungsi kognitif, tes psikologis, bebas narkoba, dan surat kelakukan baik dari polisi. Kepada mendaftar sekolah saja, persyaratannya sudah demikian banyak dan ketat. Akibatnya, banyak dokter terkendala mendaftar dan harus meredam seumur hidup keinginan menjadi dokter spesialis. Padahal, tidak semua persyaratan itu terkait dengan kapasitas pendidikan.
Lagi ada juga program yang terkontaminasi oleh kultur perundungan dan sejenisnya. Dokter yang bersekolah kadang disuruh melakukan hal-hal yang tidak relevan dengan iklim pendidikan. Sebagian dokter bekerja melebihi jam kerja yang layak dan manusiawi; mereka melakukan jaga malam penuh dan besoknya harus lanjut kerja hingga siang hari. Ironisnya, dokter yang bersekolah itu tidak memperoleh gaji atau insentif. Bertahun-tahun dokter itu bekerja di rumah sakit melayani pasien tanpa dibayar. Dalihnya, status mereka bersekolah dan tidak perlu dibayar. Sementara itu, di luar negeri, dokter yang sekolah telah mendapat bayaran yang layak. Jam kerjanya pun diatur sesuai dengan jam kerja staf lain.
Demi yang sama, pemerintah nyaris tidak hadir dalam sekolah spesialis itu. Dokter yang bersekolah dibiarkan berjibaku dengan persoalan mereka sendiri. Pemerintah tidak pernah mengupayakan pendidikan spesialis gratis atau reduksi biaya pendidikan. Tak pernah serius menerapkan jam kerja yang layak, atau mengontrol perundungan.
Pemerintah baru hadir saat dokter menyelesaikan sekolah mereka. Demi itulah pemerintah meminta mereka bekerja di daerah lewat program-program khusus. Itu sangat aneh; pada fase awal, dokter dibiarkan berjibaku sendiri dan saat terakhir baru kemudian didekati. Lebih aneh lagi, meski sangat membutuhkan dokter spesialis, perhatian terhadap kesejahteraan mereka nyaris tidak ada. Belum pernah pemerintah menetapkan upah minimal profesi bagi dokter. Para dokter dibiarkan berkompetisi dan bersaing sesuai dengan mekanisme pasar.
Bercampurnya persoalan sistem dan kultur memicu kendala optimalisasi sekolah dokter di Indonesia. Itu juga prekursor terbatasnya produksi dokter spesialis. Meretas persoalan itu tidak sederhana; tidak bisa diubah hanya dengan mengganti model university-base menjadi hospital-base. Juga tidak bisa hanya dengan membuat crash program, dengan tujuan menambah jumlah dokter spesialis secara instan.
Persoalan kompleks itu hanya bisa diurai apabila ada komitmen kuat serta upaya serius dan berkesinambungan dari semua pemangku kepentingan untuk membuat iklim sekolah dokter menjadi lebih baik dan profesional. Pemangku kepentingan mesti bersinergi untuk menelisik root cause persoalan serta mencari jalan keluar. Bila sekolah spesialis mahal, pemerintah mesti bisa mengalokasikan dana untuk menggratiskan atau meminimalkan biaya sekolah. Bila dokter sekolah tidak digaji, universitas, rumah sakit, dan pemerintah mesti bisa membuat aturan dan mengalokasikan penggajian mereka.
Bila ada kultur negatif dan perundungan, rektor, dekan, dan ketua program studi mestinya bisa meredam dan menghapusnya. Loyalp elemen negatif mesti ditambal satu demi satu dengan komitmen untuk berubah lebih baik. Bila upaya itu tidak terlaksana, tingkat kelangkaan dokter spesialis akan makin meroket dan jangan berharap dokter spesialis tertentu tidak akan lebih langka dari badak sumatra.