Para Penabrak Demokrasi

PRINSIP jujur dan adil alias jurdil sebagai ruh pesta demokrasi yang demokratis dalam pemilu kali ini menghadapi tantangan luar biasa berat. Jurdil kian jauh panggang dari api lantaran ulah pejabat negara, termasuk presiden, yang di mulut selalu berkata netral tapi nyatanya berpihak dalam bertindak.

Presiden Joko Widodo berulang kali menyatakan dirinya netral. Dia pernah bilang mendukung semua kontestan pemilu, termasuk tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Dia juga menyatakan tak cawe-cawe. Akan tetapi, semua itu hanya katanya. Faktanya, dia semakin kentara bersikap tidak netral, kian terang menunjukkan keberpihakan, makin sering cawe-cawe.

Betul bahwa ketidaknetralan, keberpihakan, dan cawe-cawe Jokowi tak dilakukan secara telanjang. Ia dikamuflase, dibungkus, dengan beragam siasat, bermacam kiat, termasuk dengan menunggangi pelaksanaan program dan kebijakan pemerintah. 

Cek Artikel:  Presiden Jokowi, Dewasalah

Bagi empunya kewarasan, sulit untuk meyakini bahwa kunjungan Jokowi ke daerah yang semakin sering akhir-akhir ini hanya tugas kenegaraan. Bagi pemilik akal sehat, sukar memercayai bahwa kegiatan remeh-temeh untuk sekelas presiden yang gencar dilakukan Jokowi sekadar pelaksanaan kewajiban sebagai pemimpin pemerintahan. 

Teramat sulit, sangat sukar, untuk mengiyakan begitu saja gelontoran bantuan sosial yang semakin deras dan diberikan langsung oleh Jokowi semata bentuk kepedulian pemimpin kepada rakyatnya. Harus tegas kita katakan, itu semua kampanye terselubung buat paslon yang dia dukung, siapa lagi kalau bukan Prabowo-Gibran.

Like presiden like para pembantunya. Itu pula kelakuan sejumlah menteri yang juga petinggi partai politik sekaligus pendukung dan pengusung Prabowo-Gibran. Mereka kasat mata mengapitalisasi jabatan yang diberikan rakyat demi kepentingan sepihak. Mereka membajak program dan kebijakan negara untuk mendulang suara.

Cek Artikel:  Hak Angket Jangan Maju Ngaret

Lebih kasar lagi, mereka bersemangat mengelabuhi rakyat. Yang paling kentara ialah dengan mengatakan bahwa bansos adalah bantuan Jokowi, bapaknya Gibran. Padahal, bansos bersumber dari APBN, dari uang rakyat, bukan uang presiden, apalagi uang pribadi Jokowi.

Memang tak salah kata Jokowi, kemarin, bahwa presiden dan menteri boleh berkampanye asal tidak menggunakan fasilitas negara. Pertanyaannya, apakah selama ini Jokowi dan para pembantunya tidak memakai fasilitas negara untuk berkampanye secara terselubung? Bagaimana pula kita bisa memastikan mereka melakukan itu dalam kapasitas sebagai pejabat atau juru kampanye, dan tidak sedang cuti sebagai mana ketentuan? Harus lantang kita suarakan bahwa dalam hal ini, Jokowi dan para pembantunya tak jarang menabrak aturan.

Cek Artikel:  Sirekap Biang Kegaduhan

Memang benar kata Jokowi bahwa presiden punya hak politik atau mendukung paslon tertentu. Persoalannya, kenapa dia berjanji akan netral dan menginstruksikan seluruh jajarannya untuk netral?

Pejabat, apalagi presiden, memang dimungkinkan berpihak tetapi semestinya mereka mengabaikan keberpihakan itu. Mereka seharusnya berlaku sebagai negarawan, berdiri di atas semua golongan, tak berpihak sana sini, apalagi merestui dan membantu anak sendiri. 

Kalau syahwat untuk terus menggenggam kekuasaan kelewat tinggi, bersikaplah kesatria. Jangan pura-pura menjadi pemimpin ideal dengan berkata netral, tetapi sejatinya tak netral. Jangan bilang tidak menggunakan fasilitas negara, tetapi memanfaatkan jabatan dan sumber daya negara untuk kepentingan elektoral. Jangan sok jujur, sok adil, sok menjaga demokrasi, tetapi sebenarnya merusak karya agung reformasi ini. 

Mungkin Anda Menyukai