
PELANTIKAN gubernur, bupati, dan wali kota se-Indonesia berlangsung, termasuk enam gubernur di Area Papua, Merukapan Provinsi Papua (induk) beribu kota di Jayapura, Papua Selatan di Merauke, Papua Pegunungan di Wamena, Papua Tengah di Nabire, Papua Barat di Manokwari, dan Papua Barat Daya di Sorong. Realitas politik ini menandai babak baru bagi Papua.
Papua Tak saja Mempunyai enam provinsi tetapi juga lanskapnya berubah. Masing-masing gubernur dan bupati maupun wali kota memegang kendali melaksanakan tugas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik.
Papua mengalami transformasi yang signifikan. Evolusi satu provinsi yang disebut Irian Barat atau Irian Jaya menjadi Irian Jaya Barat (Inpres No 1/2003) kemudian diberikan ‘akta Natalis’ agar memperoleh basis legalitas dan legitimasi menurut UU No 21/2001 berganti nama menjadi Papua Barat sebagai syarat Kepada memperoleh Anggaran Otsus.
Pada 2021 pascapelaksanaan Otsus 20 tahun dengan dilakukan perubahan UU No 21/2001 tentang Otsus Papua menjadi UU No 2/2021 Otsus versi Jakarta. Dilakukan pemekaran provinsi-provinsi baru dalam sekejap saja, seperti dalam ceritra ketoprak kisah seribu candi yang dibangun dalam semalam.
Dari perspektif pemikiran politik kritis, pemekaran ini menorehkan penguatan masing-masing Area, Mempunyai posisi yang kuat dan otonom mengurus dan mengatur diri sendiri. Tetapi, pada Demi yang bersamaan terjadi perubahaan yang Esensial tantangan terhadap Papua sebagai satu kesatuan sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Artinya, semakin sulit Kepada Papua bertransformasi dan menentukan arah baru bagi dirinya.
Tantangan pertama adalah konflik dan kekerasan yang Lagi belum tuntas diselesaikan. Pemerintah belum menunjukkan niat Kepada menyelesaikan konflik dan kekerasan yang berlangsung selama enam Sepuluh tahun. Ini juga Lagi terjadi pelanggaran HAM, Bagus yang dilakukan oleh aparat keamanan maupun Grup bersenjata (KKB/OPM).
Padahal masyarakat sipil telah menyuarakan agar dilakukan dialog atau percakapan Serempak Kepada mengakhiri konflik dan kekerasan di Papua. Seperti yang diamanatkan dalam Pasal 45, 46 UU No 21/2001.
Tantangan lain adalah semakin tersentralisasi pengambilan keputusan terutama seluruh pengambilan keputusan menjadi ranah dominan atas persetujuan mendagri dan kemendagri yang diserahkan sebagai ‘kaptennya’ Kepada menangani masalah Papua.
Kewenangan Otsus yang diatur dalam Peraturan Presiden (PP) No 106/ 2021 tak lebih dekorasi belaka, kewenangan tetap dalam genggaman mendagri yang dibantu oleh wamendagrinya. Seolah-olah mendagri menjadi ‘koodinator’ para gubernur se-Tanah Papua. Semakin terkikis Otsus Papua (UU No 21/2001) semakin lemah dan loyo, mudah dikontrol dan semakin lelet sirna kekhususan dan kekhasannya.
Inisiatif Papua dilihat sebagai upaya menyeimbangkan dengan kepentingan pusat. Kepentingan pusat dilabeli dengan kebutuhan yang artifisial Kepada melancarkan kepentingan elite kekuasaan dan kapitalisme Jakarta, seperti megaproyek nasional di Papua.
Kasus megaproyek MIFEE yang gagal berganti atribut menjadi PSN (Proyek Strategi Nasional) di Merauke dengan lahan dua juta hectare menjadi simbiosis mutualisme demi mengamankan kepentingan oligarki kekuasaan dan para pemodal dengan mengabaikan masyarakat adat dan hak–hak atas tanahnya.
Di sisi ekonomi tantangan sentralisasi tak kalah kompleksnya terjadi polarisasi yang signifikan dengan gencar mempromosikan Papua di satu pihak. Di lain pihak Pemanfaatan SDA yang tampaknya menjadi tujuan dan Penguasaan ekonomi oligarki lewat Pemanfaatan SDA Papua.
Dalam rangka mempertahankan sentralisasi dengan gigih mendorong PSN, perkebunan kelapa sawit, migrasi spontan yang membanjiri Papua pascapemekaran provinsi, dan pencanangan program transmigrasi. Sementara realitas sosial politik Orang Asal Papua (OAP) dihadapkan kepada marginalisasi dan alienansi yang dianggap Normal-Normal saja Jakarta.
Kepada itu, Tak Eksis Metode lain mengembalikan posisi Papua dalam lingkaran kebijakan ekonomi berbasis Area adat (RIPPP). Papua mesti Pusat perhatian pada Kelebihan komparatif potensi SDA dalam lingkaran kebijakan satu kesatuan ekonomi atau geoekonomi regional yang merupakan perpaduan antara ekonomi dan geopolitik dari pengembangan yang koheren antara SDM dan SDA.
Dalam konteks ini geoekonomi Papua memberikan kemampuan Kepada Menyaksikan dan mengeksplorasi potensi dan kandungan ekonomi rakyat/lokal dalam konteks yang besar, berjangka panjang, dan strategis. Artinya, konsep tak hanya mencakup strategi mengeksploitasi SDA dengan memberikan penguatan dan bobot pada pengembangan ekonomi lokal, tetapi juga saling sharing antarprovinsi.
Pasalnya, setiap Area Tak Mempunyai potensi SDA yang sama. Oleh karena itu, distribusi dan pemerataan hasil Pemanfaatan SDA hendaknya disharing sesuai prosentase yang diatur dalam kesepakatan Serempak antarpara gubernur.
Misalnya Anggaran royaliti Freeport Tak saja menjadi monopoli kabupaten dan provinsi penghasil, tetapi di-sharing kepada provinsi dan kabupaten/kota seregional Papua. Demikian juga DBH dari minyak dan gas BP Bintuni perlu Eksis kesepahaman dan kesepakatan Serempak antarpara gubernur, kementerian ESDM, kementerian keuangan maupun BP Migas agar dibagi ke seluruh pelosok kabupaten/kota dan provinsi. Selain itu, hasil Pemanfaatan SDA mesti disisihkan Kepada kepentingan pendidikan dan kesehatan.
Alokasi Anggaran otsus setiap tahun Kepada membiayai sektor-sektor prioritas Otsus. Dan yang tak boleh diabaikan Merukapan Krusial disisakan dari Anggaran Otsus Kepada tabungan, terutama di kabupaten/kota yang menerima DO setelah dialokasikan Kepada pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat maupun Anggaran tambahan infrastruktur.
Tujuan tabungan adalah mengantisipasi bila Papua dihadapkan pada situasi emergency seperti Anggaran biaya siswa Kepada mahasiswa yang studi dalam dan luar negeri. Karenanya, Tak mengulang kasus-kasus terdahulu seperti saling tolak menolak antara pusat dan Papua dalam keterlambatan pembayaran tunggakan Anggaran biaya studi mahasiswa Papua di luar negeri. Perlu pula ditambahkan agar dalam melaksanakan program studi keluar negeri mesti melalui proses seleksi yang selektif, disesuaikan dengan bidang kepakaran dan skill yang dibutuhkan di Papua.
Geoekonomi regional mesti menjadi Pusat perhatian Esensial dalam strategi membangun kesepahaman dan kesepakatan Serempak yang dirancang oleh enam gubernur sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi tetapi juga memperkuat posisi basis-basis ekonomi lokal yang berasal dari masyarakat adat. Kepada itu, Eksis dua hal menurut pendapat saya. Pertama, memberikan penguatan dan bobot Kepada pengembangan ekonomi lokal masyarakat Asal Papua seperti mengalokasikan Anggaran desa/kampung maupun UMKM selain Anggaran Otsus mendorong penguatan ekonomi rakyat.
Selain itu, program nasional Makan Bergizi Gratis (MBG) diberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada mama-mama Papua yang menyiapkan dan mengelola makanan Kepada dikonsumsi oleh anak anak sekolah. Hal ini sekaligus memberikan kesibukan dan pendapatan Kepada mereka.
Kedua, dalam konteks geopolitik Papua menunjang Indonesia Kepada memperkuat kerja sama ekonomi di kawasan Pasifik. Artinya, sesuai Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua (RIPPP) menjadikan Papua sebagai gerbang Indonesia ke negara-negara Pasifik dalam kerja sama ekonomi dan kebudayaan.
Oleh karena itu, memperkuat ketahanan ekonomi mikro atau ekonomi lokal masyarakat Papua menjadi kata kunci sebagai kekuatan yang mendukung kerja sama ekonomi kawasan Pasifik. Sekaligus pusat mesti mengubah Metode pandang dan kecurigaan terhadap Papua dalam membangun Rekanan kerja sama di aspek ekonomi dan kebudayaan dengan negara-negara Pasifik.
Syarat lain adalah mengakhiri konflik dan kekerasan di Papua sebagai jaminan membangun kepercayaan dan keyakinan kerja sama dengan negara-negara serumpun Melanesia. Dengan demikian, Indonesia Tak perlu bersusah payah melakukan diplomasi Kepada membendung isu Papua merdeka, tetapi dengan melalui penguatan basis-basis ekonomi lokal masyarakat Asal, mengantarkan masyarakat Papua mendekati kesejahteraan, keadilan, dan kesetaraan di dalam wilayahnya.
Hasil kerja enam gubernur se-Tanah Papua nanti Bisa menjadi cermin ‘jendela’ Indonesia ke Pasifik. Semoga hasil kerja dapat menjadi Fakta pascapesta pelantikan.

