Papua, Damai Sebelah Hati

Papua, Damai Setengah Hati
Frans Maniagasi.(Dokpri)

SETIAP kali terjadi aksi kekerasan, seperti penyiksaan terhadap warga Papua yang dilakukan oleh aparat keamanan Batalion 300/ Brwj Kodam Siliwangi pada 3 Februari 2024 di Kabupaten Puncak Provinsi Papua Tengah, muncul pertanyaan mengapa damai di Tanah Papua masih jauh dari harapan. Padahal kalau kita berada di Papua selalu ditemui slogan bertuliskan ‘Papua Tanah Damai’.

Jernih peristiwa penyiksaan ini menampilkan bahwa kekerasan masih subur di atas tanah ini, sesubur kekayaan SDA (sumber daya alam) yang dimilikinya. Peristiwa kekerasan ini merefleksikan masih setengah hati damai di Papua diwujudkan. 

Ironi, seharusnya sejak Otsus ( UU No 21/2001) diberlakukan 23 tahun yang lalu konflik dan kekerasan tak boleh lagi terjadi.  Karena UU Otsus menjadi win-win solution–jalan tengah–mengakhiri konflik dan kekerasan. Tetapi hingga kini Papua belum terjadi rekonsiliasi, damai masih jauh dari harapan dan cita-cita. Sulitkah mewujudkan damai itu?

Baca juga : TNI-Polri masih Pulihkan Keamanan di Sugapa, Papua Tengah, dari KKB

Membayangkan damai yang jauh dari harapan, padahal di 2021 telah dilakukan perubahan terhadap UU Otsus ( UU No 21/2001 Junto UU No 2/2021). Realitas menunjukan, perubahan Otsus tidak dibarengi oleh perubahan paradigma dan cara kita mengelola Papua. 

Cek Artikel:  Nasib Perempuan di Demokrasi Bercorak Otoriter

Paradigma kita masih  memposisikan Papua sebagai zona konflik dan pola  mengelolanya konvensional melalui pendekatan keamanan dan kekerasan warisan Orde Baru. Separatisme masih dipandang musuh yang mesti dilibas.

Bagi sebagian masyarakat Papua, latar belakang peristiwa ini cukup jelas untuk mereka menyatakan Papua tidak mengalami perubahan sedikitpun dalam menangani konflik dan kekerasan. Kepribadianistik dan watak menyelesaikan permasalahan masih saja menggunakan metoda kekerasan yang telah usang.

Baca juga : 5 Personil KKB Tewas Ditembak di Intan Jaya

Kekerasan dibalas dengan kekerasan. Bukan ada upaya merangkul sesama anak bangsa, meskipun kelompok TNPPB/KKB ialah separatis (me)–mestinya metode yang digunakan bukan senjata dibalas dengan senjata–TNI/ Polri versus TNPPB/ KKB. Akibatnya, terjadi korban baik di antara kedua belah pihak TNI, Polri, dan TNPPB/ KKB, maupun masyarakat sipil.

Dilihat dari upaya membangun ke-Indonesiaan–national building ke Indonesiaan pun diremuk redam dengan cara kekerasan. Akibatnya berbalas pantun kekerasan sehingga membangkitkan luka lama masyarakat Papua.

Padahal pasca 20 tahun lebih pemberlakuan Otsus mestinya kehidupan di Tanah Papua telah damai. Tetapi, masih saja terdapat kecurigaan, ketegangan, konflik dan kekerasan yang menyelimuti kehidupan di Tanah Papua, seperti salju abadi yang menyelimuti puncak-puncak gunung di tanah itu.

Cek Artikel:  Kampanye Presiden, Putra Mahkota, dan Ambisi Satu Putaran

Baca juga : Polisi Selidiki Penyerangan KKB Papua terhadap Lima Pekerja Puskesmas

Dalam konteks itu, bila refleksi di awal reformasi putusan MPR RI (Tap No IV/MPR/1999) yang merespons aspirasi dan tuntutan pemisahan Papua, pascamundurnya Presiden Soeharto dan kehadiran delegasi 100 tokoh Papua ( Februari 1999) yang menyampaikan aspirasi dan tuntutan untuk keluar dari Negara Republik Indonesia kepada Presiden BJ Habibie, Tap MPR RI itu menjadi tonggak Papua  bersatu, dengan Indonesia melalui kebijakan Otsus merupakan ujian terhadap integritas NKRI.

Penetapan TAP MPR memberikan Otonomi Tertentu untuk Papua merupakan kompromi politik Jakarta-Papua untuk menyelesaikan soal Papua. Otsus solusi komperhensif, adil, demokratis dan bermartabat. Tetapi solusi ini justru dikesampingkan. Otsus digeser menjadi masalah, direduksi hanya persoalan uang ( Anggaran Otsus 2 % kini menjadi 2,25 %). Sejak saat itu  konflik dan kekerasan pun dilestarikan.

Meskipun telah dilakukan perubahan, tetapi itu hanya menyangkut ketentuan yuridis formal dari ayat dan pasal dari Otsus tanpa disertai perubahan substantif dalam mempersepsikan dan mengelola Papua. Bahkan, perubahan UU Otsus yang dilengkapi dengan seperangkat Peraturan Pemerintah (PP No 106, 107/ 20222) Peraturan Presiden, dan dibentuknya Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Papua (BPPP) lengkap dengan Rencana Induk. 

Cek Artikel:  Berpendidikan secara Utuh

Baca juga : Dua Korban Penembakan KKB Papua dari Personil Brimob Polda NTT

Tetapi, masih saja belum seiring dengan percepatan penyelesaian masalah Papua. Maksudnya, pendekatan kesejahteraan mewujudkan Papua Sejahtera ( pintar, sehat, dan produktif) belum ditunjang dengan upaya penyelesaian konflik dan kekerasan. Di tangan kiri masih memegang  gun sedangkan di kanan roses (gun and roses) dua hal yang saling kontradiktif. Karenanya, kecurigaan, ketegangan, konflik dan kekerasan, masih menjadi pegangan yang tak mengalami perubahan.

Janji manis Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dan kekerasan sejak 2016 hingga kini pun tak pernah ditepati. Janji tinggal janji. Padahal presiden telah berkunjung dan menyapa masyarakat Papua, menurut catatan saya, sudah 17 kali.  Rontok keramat bagi bangsa Indonesia Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Padahal setiap kali kunjungan Presiden dan menyapa masyarakat Papua ada harapan agar masalah konflik dan kekerasan teristimewa yang terjadi di masa pemerintahannya selama 10 tahun dapat diselesaikan melalui dialog agar dituntaskan. Tetapi, harapan untuk mewujudkan Papua Damai tampaknya masih setengah hati saja.

 

Mungkin Anda Menyukai