Pancasila, Tantangan dan Diplomasi Dunia

Pancasila, Tantangan dan Diplomasi Global
(Dok. Pribadi)

GLOBALISASI digital di Nyaris Sekalian aspek kehidupan berakibat pada perubahan tatanan dan nilai sosial. Perubahan itu telah menimbulkan guncangan dan kekacauan sosial (social disruption) yang berakibat melahirkan keterasingan Sosok. Keterasingan Sosok semakin diperparah oleh hantaman pandemi covid-19 dalam skala Dunia.

Dalam Interaksi Global pun mengalami perubahan tak kalah serius dan Bergerak. Lembaga dan sejumlah kesepakatan Global tak Tengah ditaati negara Personil PBB. Dunia seakan tak Mempunyai arah dan nakhoda. Kekuatan Barat, Amerika dan sekutunya, tak Tengah sedigdaya di masa Lewat, sebaliknya penetrasi Tiongkok makin progresif menjadi petanda perubahan Dunia itu. Bersamaan dengan ini, perang antara Rusia dan Ukraina menjadi salah satu Misalnya paling mencolok dari melemahnya muruah lembaga perkumpulan negara-negara dunia tersebut.

Dunia membutuhkan paradigma baru yang Kagak saling menegasikan, tapi saling menghidupkan dan semangat saling berhubungan (connectivity) menuju tatanan dunia baru yang lebih guyub. Dalam konteks ini, Pancasila dapat menjadi alternatif paradigma ‘serba saling’ tersebut. Watak Pancasila sebagai titik temu (common denominator) bangsa Indonesia saatnya naik kelas Buat dikenalkan kepada dunia.

Itu bukan tawaran baru, melainkan hanya pengulangan sejarah masa Lewat Demi Bung Karno dengan percaya diri mengenalkan Pancasila kepada dunia dalam pidatonya di Sidang Standar PBB di New York, September 1960. Semangat serupa telah dicontohkan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang menyerukan semangat Dasasila Bandung dalam pidatonya di hadapan Sidang Standar PBB ke-78 di New York, beberapa hari Lewat.

 

Membuminya Pancasila

Kemunculan era modern pada abad ke-18 dan ke-19 dengan mengusung kebenaran logika membutuhkan sebuah sistem nilai Buat mempertahankan eksistensinya. Setiap bangsa di dunia berlomba, dan bahkan bertarung Buat mempertahankan peradabannya melalui filsafat dan ideologi.

Pancasila lahir Kagak lepas dari situasi Dunia awal abad ke-20 yang ditandai oleh diskursus ideologi di Barat, Adalah liberalisme Musuh sosialisme. Masa itu merupakan era Perang Dunia II dan Tetap berlanjut setelahnya yang ditandai sebagai masa Perang Dingin. Periode itu berlangsung hingga awal 1990-an ditandai munculnya negara-negara demokrasi baru, termasuk Indonesia.

Cek Artikel:  Boxing Day Penentu Juara Paruh Kompetisi

Masa transisi Indonesia ditandai dengan tuntutan demokratisasi dalam kehidupan sosial dan politik. Sebuah tuntutan yang normal dalam kehidupan masyarakat modern. Di fase sejarah peralihan itu mayoritas rakyat Indonesia menuntut keterbukaan dan kebebebasan dalam berserikat dan berkumpul sesuai dengan konstitusi. Tak terdengar wacana meggantikan Pancasila dengan dasar negara atau ideologi lain. Bukti Pancasila telah membumi di sanubari bangsa Indonesia.

Fase selanjutnya Pancasila seolah tertelan bumi dalam hiruk pikuk Reformasi, tapi ia Tetap setia mendampingi Indonesia. Hingga Demi ini Pancasila tetap kukuh sebagai elemen Krusial Indonesia yang telah menghantarkannya sebagai negara demokrasi baru di dunia. Meski Pancasila Kagak menjadi diskursus publik kehidupan berbangsa dan bernegara seperti di masa Orde Baru, Pancasila di era Reformasi Tetap kukuh menjadi rujukan konstitusi dan politik nasional.

Sebagai falsafah negara, Pancasila berpijak pada dua nilai mendasar sebagai ontologinya, Adalah nilai ketuhanan dan nilai kemanusiaan. Nilai ketuhanan menunjukkan sebuah Watak Sosok Indonesia yang selalu terikat dengan kosmologi ketuhanan. Dengan sifat ketuhanan yang Terdapat dalam jiwa, Sosok Pancasila akan memperlakukan Sosok lainnya secara beradab, bahwa Sosok bertuhan sejalan dengan perilaku Sosok yang bermoral. Ketaatan kepada Tuhan diwujudkan dalam perilaku etik Sosok Indonesia.

 

Pancasila Buat dunia 

Postmodern lahir sebagai reaksi terhadap modernitas yang sarat logika dan ilmu pengetahuan. Keduanya kembali dipertanyakan dan digugat. Teknologi digital yang Bisa menjangkau Sosok di belahan mana pun dan telah menembus batas geografis ideologis.

Cek Artikel:  Regresi Judicial Leadership MK

Upaya melindungi sebuah keyakinan ideologi atau paham keagamaan kini seakan kurang relevan Tengah. Paham ideologis dan pandangan teologis terbuka Buat diuji oleh siapa pun. Membelanya secara membabi buta hanya akan meninggalkan kesia-siaan. Sekalian narasi terbuka Buat diuji, bahkan digugat. Itulah metode dekonstruksi yang tak padang bulu.

Dalam konteks kemanusiaan, kemunculan postmodern merupakan sebuah kritik tajam atas modernisme yang dinilai gagal mengangkat Derajat Sosok. Munculnya peperangan, kekerasan di mana-mana ialah bukti Konkret bahwa objektivitas logika dalam ilmu pengetahuan Sosok modern gagal mengatasinya (Setiawan dan Sudrajat, 2018). Lewat, bagaimana dengan Pancasila?

Pancasila kini berada dalam sebuah era bebas nilai. Munculnya pemikiran baru yang mendobrak segenap tatanan nilai dan Kebiasaan menjadi tantangan serius bagi Pancasila yang mengusung nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan sebagai ontologinya.

Satu hal yang tampak dalam peradaban postmodern ialah ketiadaan Arti Sosok sebagai subjek. Kehendak bebas atas nama humanism without values telah merusak eksistensi Sosok itu sendiri. Padahal, Sosok menjadi subjek yang utuh ialah karena nilai dan Kebiasaan yang diusungnya. Nilai dan Kebiasaan yang didobrak oleh kehendak bebas Sosok Bahkan berpotensi membawa Sosok ke dalam kelam peradaban.

Dalam situasi keterasingan Sosok umumnya mencari jalan pelarian melalui Religi atau spiritualitas. Religi selalu memberikan jalan keluar bagi problem peradaban sepanjang sejarah kemanusiaan. Tetapi, jalan itu Kagak Sunyi dari jebakan yang dapat menjadikan Sosok kurang manusiawi meskipun berbalut baju Religi.

Pemahaman Religi yang kaku harus serbapasti sering kali melahirkan sikap beragama yang cenderung formalistis dan dangkal. Itu banyak menjangkiti kaum terdidik perkotaan dan kalangan muda milenial. Yang pertama mewakili Golongan mapan, yang kedua mewakili Golongan instan dalam banyak hal, termasuk beragama.

Pengajaran pendidikan Religi Islam di sekolah Kagak Tengah menarik bagi Golongan itu. Bukan karena kurikulumnya, melainkan akibat pemahaman beragama yang intoleran di kalangan guru Religi. Fakta itu telah dibuktikan oleh sebuah riset lapangan yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta pada 2018.

Cek Artikel:  Cawe-Cawe Menkes dalam Urusan Etika Profesi Dokter

Intervensi itu tampaknya berkorelasi dengan kecenderungan ketertarikan kalangan muda kepada pandangan dan tren beragama para selebritas dan para propagandis, yang getol menyuarakan narasi intoleran dan esklusifisme dalam beragama.

Formalisme Islam sesungguhnya Kagak menjadi masalah, tetapi akan berpotensi menciptakakan sikap-sikap Tertentu dalam beragama. Itu telah menjadi realitas keberislaman Indonesia dewasa ini, ketika Religi pada ahirnya dijadikan sebagai unsur penentu diri dan Golongan. Hal itu sangat rentan melahirkan sikap dan perilaku yang berseberangan dengan semangat integratif membangun kohesivitas sosial yang Bergerak dan produktif dalam sebuah bangsa yang majemuk.

Menghadapi gejala Dunia kecenderungan ekslusivitas beragama tersebut, Pancasila dapat menjadi rujukan kembali ke titik normal, titik moderasi. Ruang dialog yang diberikan Pancasila memberikan Kesempatan bagi para diplomat dan diaspora Indonesia yang tersebar di penjuru dunia, Buat mengenalkan Pancasila kepada masyarakat dunia akan pentingnya dialog dan moderasi atau jalan tengah dalam segala hal.

Apabila PBB sudah menjadikan pidato Bung Karno To Build the World a New yang diorasikan di hadapan sidang PBB pada 30 September 1960 sebagai Warisan Arsip Dunia (Djumala, 2023), tak Terdapat Argumen bagi para diplomat dan diaspora Indonesia Buat mengenalkan Pancasila ke dunia secara meyakinkan.

Selagi dunia sedang mencari healing alternatif Buat mengurangi keterasingan umat Sosok. Pancasila dapat menjadi tawaran solusi keterasingan akibat dari disrupsi sosial yang tengah terjadi. Apabila bukan sekarang, Lewat Bilaman Tengah? Menunda Bisa dipahami sebagai sikap kurang percaya diri dengan dasar negara tercinta.

Mungkin Anda Menyukai