DEBAT keempat calon presiden/wakil presiden antara lain membahas isu ideologi dan hubungan internasional. Dalam waktu yang terbatas, memang sulit mengharapkan kedua calon presiden (capres) bisa memaparkan tema ini secara gamblang. Akan tetapi, baiklah kita teruskan dengan diskusi publik. Bagaimana menempatkan negara-bangsa dalam era globalisasi, dan bagaimana pula relevansi Pancasila dalam zaman yang bergegas ini: apakah sudah diusangkan oleh zaman atau justru kian relevan?
Kita tidak tahu persis bagaimana nasib keberlangsungan negara-bangsa di masa yang akan datang. Duniaisasi dan perkembangan teknologi (telematika) bisa saja membawa disrupsi pada pola-pola pengorganisasian masyarakat manusia, yang membawa perubahan signifikan terhadap eksistensi negara bangsa.
Yang bisa kita katakan saat ini ialah rasa syukur. Lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka, keberadaan superorganisme bernama ‘bangsa Indonesia’, dengan jejaring ‘sarang lebah’ yang menyatukan segala keragaman dan keluasaan Tanah Air ini, telah menjalankan fungsi emansipatorisnya secara mengagumkan. Ini mungkin terdengar ganjil bagi mindset kebanyakan kita yang telanjur rutin dibanjiri kabar buruk. Lebih dari itu, sejarah evolusi manusia dalam ratusan tahun lamanya membentuk otak manusia memiliki kesadaran yang sangat akut terhadap potensi bahaya. Kombinasi kedua hal ini merintangi kemampuan kita untuk bisa melihat kabar baik (Heningandis & Kotler, 2012).
Konkretnya, sejarah perjalanan ‘negara-bangsa’ Indonesia mengukir banyak kabar baik, selama mengarungi segala tantangan dan cobaan. Secara eksternal, solidaritas kebangsaan ini berhasil membebaskan aneka kelompok etno-religius dari belenggu penjajahan dari luar. Secara internal, solidaritas kebangsaan telah menjadikan Indonesia rumah yang relatif damai bagi segala kemajemukan yang ada.
Konflik-peperangan antarsuku dan antarkelompok agama menjadi lebih jarang terjadi. Tingkat kematian di negeri ini terus menurun secara gradual dari 14,6 per 1.000 penduduk pada 1967 menjadi 7,1 per 1.000 penduduk pada 2016. Nomor harapan hidup pun terus meningkat dari 52,8 tahun pada 1967 menjadi 69,2 tahun pada 2016; tumbuh dalam kisaran 0,55% per tahun (World Data Atlas, 2017). ‘Penemuan’ bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan telah menorehkan pencapaian yang fenomenal. Bermula dari rumpun bahasa Melayu Riau, bahasa ini dengan cepat berkembang menjadi lingua franca di seantero negeri, bahkan menjadi bahasa pertama bagi sebagian besar generasi baru, yang menyediakan sarana komunikasi yang amat penting bagi pergaulan lintas-kultural bangsa majemuk ini. Lebih dari itu, daya adapatif bahasa ini untuk mengikuti perkembangan zaman membuat beberapa peneliti bahasa di Eropa menyebut bahasa Indonesia sebagai contoh kasus tentang apa yang dinamakan modernisasi bahasa yang berhasil secara gilang-gemilang. Sedemikian rupa sampai-sampai seorang sarjana Prancis, Jerome Samuel, menulis buku Kasus Aneh Bahasa Indonesia (2008).
Ketegangan antaridentitas (suku, agama, ras, golongan) sesekali memang bisa meledak. Sebagian musababnya karena warisan patologi pascakolonial yang belum bisa disembuhkan sepenuhnya di rumah sehat kebangsaan. Bukan karena ketidakmanjuran resep nilai kebangsaan itu sendiri, melainkan justru karena kurangnya takaran dan konsistensi pemakaian obat nilai kebangsaan.
Horor pertumpahan darah juga pernah terjadi dengan melibatkan elemen masyarakat maupun negara, dalam pola aksi-reaksi yang dipicu oleh persepsi tentang ketidakadilan sosial-ekonomi, yang memancing reaksi balik dalam wujud ledakan aspirasi totalitarianisme, baik dalam corak ‘Hegelian kiri’ (komunisme) maupun ‘Hegelian kanan’ (fasisme). Tetapi, dalam semua peristiwa tragedi nasional itu, konflik tidak merobohkan rumah kebangsaan. Solidaritas kebangsaan malah diseru untuk menjadi penawarnya, dan komunitas bangsa diajak belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Nasib negara bangsa
Meski demikian, perkembangan negara-bangsa tidaklah bergerak di ruang vakum. Sebagai bagian dari lingkungan pergaulan dunia, Indonesia tidak kedap dari pengaruh dinamika perkembangan global. Dengan arus globalisasi yang makin luas cakupannya, dalam penetrasinya, dan instan kecepatannya, setiap negara bukan saja menghadapi potensi ledakan pluralitas dari dalam, melainkan juga tekanan keragaman dari luar. Memasuki awal milenium baru terjadi berbagai perubahan yang cepat, dinamis, dan mendasar dalam tata pergaulan dan kehidupan antarbangsa dan masyarakat.
Duniaisasi merestrukturisasi cara hidup umat manusia secara mendalam, nyaris pada setiap aspek kehidupan. Pada ranah negara-bangsa, di satu sisi, globalisasi menarik (pull away) sebagian dari kedaulatan negara-bangsa dan komunitas lokal, tunduk pada arus global interdependence, yang membuat negara-bangsa dirasa terlalu kecil untuk bisa mengatasi (secara sendirian) tantangan-tantangan global. Di sisi lain, globalisasi juga menekan (push down) negara-bangsa, yang mendorong ledakan ke arah desentralisasi dan otonomisasi. Negara-bangsa menjadi dirasa terlalu besar untuk menyelesaikan renik-renik masalah di tingkal lokal, yang menyulut merebaknya etno-nasionalisme dan tuntutan otonomi lokal beriringan dengan revivalisme identitas-indentitas kedaerahan.
Dengan mempertimbangkan implikasi globalisasi, kita bisa memperkirakan kemungkinan apa saja yang bisa terjadi menyangkut nasib negara-bangsa di masa datang. Dengan meminjam deskripsi Keith Suter (2003), ada empat skenario yang bisa diajukan.
Skenario pertama, negara-bangsa kuat/kohesi internasional lemah (steady state). Pemerintahan nasional masih pegang kendali atas nasib negara-bangsanya tanpa bersedia menyerahkan urusannya pada lembaga-lembaga kerja sama internasional. Skenario ini berdiri di atas asumsi bahwa dengan segala wacana tentang global governance (tata kelola global), struktur dasar negara-bangsa akan tetap bertahan. Negara-bangsa boleh jadi memiliki problemnya tersendiri, akan tetapi tetap merupakan pilihan terbaik.
Skenario kedua, negara-bangsa kuat/kohesi internasional kuat (world state). Pemerintahan nasional, meski masih pegang kendali atas nasib negara-bangsanya, bersedia untuk bekerja sama menyangkut masalah bersama, yang mana hal ini secara gradual berevolusi ke dalam bentuk global governance. Skenario ini berangkat dari asumsi bahwa tidak ada solusi yang murni bersifat nasional atas masalah-masalah trans-nasional. Maka dari itu, pemerintahan nasional harus bekerja sama melalui beberapa bentuk global governance untuk mengatasi masalah bersama.
Skenario ketiga, negara-bangsa lemah/kohesi internasional kuat (Dunia Inc). Pemerintahan nasional kehilangan kendalinya atas negara-bangsa, yang menyisakan kevakuman yang diisi oleh kekuasaan korporasi trans-nasional. Dengan memudarnya eksistensi negara-bangsa, satu-satunya organisasi yang mampu mengendalikan arah perubahan adalah korporasi trans-nasional, yang mengingat seluruh dunia ke dalam satu pasar bersama, pasar global, yang mengisi kekosongan pemerintahan. Selain itu, skenario memudarnya eksistensi negara-bangsa juga membuka ruang bagi kemunculan aspiran-aspiran ‘totalitarianisme’ (fasisme) dengan fantasi penyatuan negara-negara nasional ke dalam satu komunitas politik internasional berdasarkan kesamaan identitas, seperti gagasan kekhilahan internasional.
Skenario keempat, negara-bangsa lemah/kohesi internasional lemah (wild state). Pemerintahan nasional kehilangan kendali atas negaranya, sementara tidak ada organisasi lain yang dapat mengisi kevakuman, yang menyulut kekacauan. Ini adalah skenario ‘mimpi buruk’, di mana negara-bangsa ambruk dan pecah berkeping-keping. Sejumlah negara mengalami kegagalan (failed states), bersamaan dengan ledakan gerakan anarki massa rakyat, disertai meningkatnya masalah-masalah kesehatan dan lingkungan.
Dari keempat skenario tersebut, negara-bangsa Indonesia dihadapkan pada arus globalisasi (yang makin luas cakupannya, dalam penetrasinya, dan instan kecepatannya), tampaknya sulit dipertahankan dalam kerangka skenario pertama (steady state). Negara-bangsa kita juga tidak dikehendaki menjelma dalam skenario kedua (Dunia Inc).
Dalam jaringan korporatokrasi, masyarakat manusia lebih diperlakukan sebagai konsumen ketimbang citizen. Politik dan patriotisme menjadi barang usang karena bukanlah sesuatu yang menyenangkan seperti halnya musik, teknologi dan pakaian model terbaru. Pasar dan korporasi juga tidak memiliki loyalitas pada otoritas tradisi dan hal-hal yang ‘disucikan’ bersama, tidak pula punya komitmen pada keadilan sosial.
Lewat komodifikasi, ‘spirit’ budaya pudar, yang bisa berujung pada kematian elan vital kehidupan manusia. Sedangkan pengintegrasian komunitas internasional atas dasar aspirasi ‘totalitarinisme’ (kanan atau kiri), akan memutar jarum peradaban mundur ke masa lalu, dengan merayakan kembali peperangan antaragama dan antargolongan dalam skala mondial, yang mengarah pada aksi-aksi pembantaian kemanusiaan. Kita juga tidak menghendaki negara-bangsa Indonesia terjerumus pada barisan negara gagal, seperti dialami oleh beberapa negara di Afrika, meski kemungkinan ke arah itu bisa saja terjadi sekiranya pengelolaan negara mengalami salah urus.
Preferensi Indonesia adalah skenario kedua. Indonesia akan tetap berdiri sebagai negara bangsa, dengan bersedia menyerahkan urusan-urusan tertentu pada global governance. Inilah skenario yang sejak masa-masa persiapan kemerdekaan Indonesia telah diantisipasi dalam visi para pendiri bangsa. Dalam pidato 1 Juni 1945, Soekarno menyatakan, “Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia merdeka, tetapi harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.” Lebih jauh ia katakan, “Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme’, melainkan ‘kebangsaan yang menuju kepada kekeluargaan bangsa-bangsa’ (internasionalisme).” Di sisi lain, ia juga mengingatkan bahwa internasionalisme itu hanyalah bermakna sejauh bisa dibumikan dalam konteks sosio-historis partikularitas negara-bangsa yang heterogen sifatnya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan internasionalisme ini bukanlah ‘kosmopolitanisme’–yang tidak mau adanya kebangsaan. “Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitanisme, yang tidak mau adanya kebangsaan.”
Munculnya organisasi-organisasi supranasional dan perusahaan-perusahaan multinasional dengan kekuatan modal raksasa memang bisa mengurangi peran pemerintah dalam suatu negara-bangsa. Akan tetapi, negara-bangsa akan tetap berperan sebagai lokus utama bagi aktivitas kehidupan dan identitas warganya, paling tidak sebelum ada institusi lain yang secara adekuat dapat menggantikannya sebagai unit kunci dalam merespons perubahan global.
Negara-bangsa juga masih memiliki peran sentral dalam penegakan HAM internasional. Menurut hukum HAM sebagaimana dinyatakan dalam International Bill of Human Rights, pertanggungjawaban untuk mewujudkan HAM dalam hukum internasional berada di tangan negara. Pengertian kebebasan negatif yang dianut oleh liberalisme ekstrem–otonomi maksimum individu dari komunitas dan negara—adalah asing bagi UDHR. Kepada menghidupkan tanggung jawab itu, negara harus memikul beberapa perangkat kewajiban; untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), memfasilitasi (to facilitate), dan memenuhi (to fulfill) hak-hak dasar manusia melalui penyediaan (providing) akses pada kesejahteraan yang mencakup kebutuhan dasar seperti pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan.
Peran negara pun masih penting untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, seperti tecermin dari kegagalan ideologi dan proyek neoliberalisme yang membawa krisis Amerika Perkumpulan dan dunia pada awal milenium baru. Kecondongan neoliberalisme untuk mengecilkan peran negara membuat pasar bebas melenggang tanpa aturan maupun pengawasan, yang memunculkan aneka kebobrokan pelaku pasar (moral hazard), yang berujung pada krisis perekonomian. Lebih dari itu, Naomi Klein (2007) mendokumentasikan bagaimana kebijakan neoliberalisme menyumbang pada tumbuhnya otoritarianisme, eksploitasi, ketidaksetaraan, dan pengrusakan lingkungan. Bahkan sekalipun neo-liberalisme sering mengabaikan peran negara, dalam praktiknya, seperti ditunjukkan Robert Kuttner (2007), neoliberalisme Amerika Perkumpulan acap kali menggunakan kekuatan negara untuk menderegulasikan industri keuangan.
Akhirnya, ada perkembangan yang bersifat paradoks. Di satu sisi, globalisasi mengurangi otoritas negara-bangsa. Di sini lain, negara yang mampu mengambil keuntungan dari globalisasi justru negara yang kuat, seperti ditunjukkan oleh Tiongkok. Akan tetapi perlu dicatat, pengertian kuat di sini tidaklah sebangun dengan otoritarianisme, tetapi merujuk pada kapasitas negara untuk mempertahankan otoritasnya melalui regulasi dan penegakan hukum (law enforcement).
Dengan demikian, harus ada keseimbangan antara komitmen internasionalisme dan nasionalisme, pemberdayaan international governance dan pemberdayaan negara-bangsa. Pada titik ini, antisipasi sila kedua Pancasila seperti dikemukakan oleh Soekarno sudah tepat. “Globalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam tamansarinya internasionalisme.”
Modal sosial
Apa pun bentuk pengorganisasian politik di masa datang, suatu entitas politik hanya bisa dipertahankan sejauh memiliki modal sosial. Modal jaringan-jaringan konektivitas dan inklusivitas sosial yang mampu menyatukan keragaman kepingan-kepingan kepentingan pribadi dan kelompok ke dalam suatu komunitas persaudaraan bersama, yang menjadi tumpuan rasa saling percaya (mutual trust).
Kepada menjadi kekuatan kolektif yang kohesif, konektivitas dan inklusivitas ini harus diikat oleh kesamaan basis moralitas (shared values). Dalam konteks Indonesia, usaha merumuskan moral publik sebagai titik temu, titik tumpu, dan titik tuju dari kemajemukan bangsa Indonesia itu memperoleh perwujudannya pada Pancasila.
Di dalam kehidupan bangsa yang kian mengalami pruralisasi internal dan eksternal, nilai-nilai Pancasila tidaklah diusangkan zaman, malahan kian relevan sebagai ikatan persatuan dalam keragaman. Itulah sebabnya mengapa pembangunan ideologi bangsa merupakan elemen sentral, bukan pelengkap penderit, dari pembangunan nasional.