Pancasila dan Moderasi Beragama

Pancasila dan Moderasi Beragama
(Dok. Pribadi)

KASUS intoleransi dalam beragama Lagi Lanjut terjadi di Indonesia, Bagus dalam bentuk fisik seperti perusakan rumah ibadah maupun dalam bentuk pemikiran dan pernyataan yang bersifat diskriminatif terhadap Keyakinan lain.

Kepada menyebutkan sebagian tindakan intolerasi beragama yang Lagi sering muncul dalam masyarakat ialah mempersulit pendirian rumah ibadah, penyebaran Keyakinan dengan Metode-Metode yang merusak persatuan dalam masyarakat, serta pergaulan yang ekslusif hanya dalam Golongan agamanya dan Enggak mau bergaul dengan Golongan Keyakinan lain.

Pandangan dan tindakan intoleransi itu terutama didasari oleh paham dan tafsir keagamaan yang sempit dan tentu saja ini bertentangan dengan maksud dan nilai yang terkandung dalam Pancasila, khususnya sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sila pertama Enggak saja mengandung nilai kebebasan dalam memilih Keyakinan dan jaminan Kepada menjalankan ajaran Keyakinan bagi pemeluknya masing-masing, tetapi juga toleran terhadap pemeluk Keyakinan lain, bahkan secara sosial kemasyarakatan para pemeluk Keyakinan harus bergaul, bekerja sama, dan bergotong royong satu sama lain sebagai satu Keluarga sebangsa dan se-Tanah Air.

Dengan kata lain, Metode beragama di Indonesia ialah Metode beragama yang moderat, toleran, dan inklusif, dan sebaliknya bukan Metode beragama yang radikal, intoleran, dan Tertentu. Pengertian sila pertama Pancasila yang mengandung nilai-nilai moderasi beragama itu setidaknya didukung dua argumen di Rendah ini, Yakni secara historis melalui keteladanan para pendiri bangsa ketika merumuskan Pancasila, dan secara filosofis melalui pemaknaan Pancasila dengan Rekanan antarsilanya.

MI/Duta

 

Moderasi dan toleransi

Dalam catatan sejarah, terdapat Enggak kurang dari 40 orang yang berpidato di sidang BPUPK pertama 29 Mei-1 Juni 1945, dengan agenda merumuskan dasar negara bagi Indonesia merdeka. Dalam sidang tersebut, sebagaimana kesaksian Mohammad Hatta dalam Kitab Uraian Pancasila (1975), satu-satunya orang yang mengusulkan dasar negara ialah hanya Soekarno, Yakni mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara, yang beliau sampaikan pada pidato 1 Juni 1945.

Pidato Soekarno tersebut kemudian dibukukan menjadi Lahirnja Pantja Sila: Bung Karno Menggembleng Dasar-Dasar Negara (1947). Sidang BPUPK pertama itu menyepakati pidato Soekarno menjadi acuan dalam perumusan dasar negara dan membentuk Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang Kepada merumuskannya lebih lanjut.

Cek Artikel:  Membangun Budaya Sekolah Inklusif melalui Keadilan Restoratif

Panitia Delapan yang dibentuk tersebut, kemudian diubah menjadi Panitia Sembilan oleh Soekarno sebagai ketua Panitia Kecil, dalam rangka Kepada mengakomodasi Golongan Islam. Panitia Delapan yang terdiri dari 6 Golongan nasionalis dan 2 orang dari Golongan Islam, kemudian diubah menjadi Panitia Sembilan yang komposisinya lebih berimbang, Yakni terdiri dari 1 ketua dan 8 Member, 4 Member dari Golongan nasionalis dan 4 Member dari Golongan Islam.

Hal ini karena sebagaimana diketahui, dalam sidang BPUPK yang pertama terjadi perdebatan yang tajam antara Golongan nasionalis dan Golongan Islam. Tawaran Pancasila Bung Karno, menurut Mohammad Hatta, dapat meredakan perdebatan yang panas tersebut, yang kemudian ditindaklanjuti masuknya beberapa orang dari Golongan Islam Kepada menjadi Member Panitia Sembilan.

Panitia Sembilan, sebagaimana diketahui, merumuskan draf Pembukaan bagi UUD NRI pada 22 Juni 1945, yang di dalamnya memuat Pancasila sebagai dasar negara. Draf tersebut, kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Hasil rumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta Nyaris sama dengan Pancasila Begitu ini, dengan adanya perbedaan redaksi pada sila pertama, Yakni Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Redaksi sila pertama itu, kemudian diubah pada sidang PPKI 18 Agustus 1945 menjadi Ketuhanan yang Maha Esa. Perubahan sila pertama tersebut diusulkan Mohammad Hatta setelah mendapatkan informasi bahwa Indonesia bagian Timur Enggak akan bergabung dengan Negara Republik Indonesia, apabila sila pertamanya Enggak berubah. Atas dasar itu, sidang PPKI kemudian menyepakati redaksi Pancasila sebagaimana Begitu ini.

Dalam rentang waktu Kelahiran Pancasila 1 Juni 1945 melalui pidato Soekarno, kemudian pembahasan oleh Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945, dan Tamat penetapannya pada 18 Agustus 1945 di sidang PPKI, Pancasila dibahas secara Bergerak dan mengalami perubahan urutan sila dan perubahan redaksional yang signifikan. Walaupun secara substansial Mempunyai nilai-nilai yang Enggak berubah, Yakni nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan bangsa, kerakyatan, dan kesejahteraan sosial, sebagaimana gagasan awal dari pidato Soekarno 1 Juni 1945.

Cek Artikel:  Mewaspadai Penyakit Enggak Menular Sebagai Penyebab Kematian

Apabila dicermati, redaksi Pancasila awal yang ditawarkan Soekarno tersebut, kemudian mendapatkan nuansa Islam yang kental dengan tetap Mempunyai substansi nilai kebangsaan yang kuat.

Dari uraian di atas, terlihat dengan Jernih keteladanan para pendiri bangsa Kepada mengutamakan kepentingan dan persatuan bangsa Indonesia yang lebih besar dari pada kepentingan satu Golongan tertentu.

Di satu sisi, khususnya Bung Karno sebagai ketua Panitia Kecil memberi keteladanan Kepada mengakomodasi Golongan yang berbeda pandangan, dalam hal ini Golongan Islam, dalam perumusan Pancasila sehingga kemudian melahirkan Piagam Jakarta. Di sisi lain, Golongan Islam dengan lapang dada bersedia mencoret tujuh kata pada sila pertama demi persatuan dan keutuhan NKRI. Keteladan para pendiri bangsa dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa itu, tentu saja dilandasi pemikiran yang moderat dan toleran, Bagus dalam masalah kenegaraan maupun dalam masalah keagamaan.

 

Nilai moderasi beragama dalam sila pertama

Soekarno dalam Kitab Pancasila Dasar Negara: Kursus Pancasila oleh Presiden Soekarno (2017) menyatakan bahwa antara satu sila Pancasila dan sila lainnya Mempunyai Interaksi yang erat dan saling terkait. Dengan kata lain, tiap-tiap sila tersebut Enggak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.

Oleh karena itu, sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa, misalnya, di samping Enggak Bisa dilepaskan dari sila-sila lainnya, terutama sila kedua dan sila ketiga, juga dalam waktu yang sama menjiwai sila-sila yang lainnya. Sila pertama, dengan demikian, harus dipahami sebagai nilai-nilai religiositas yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan sila kedua, dan juga memelihara nilai-nilai persatuan bangsa sesuai dengan sila ketiga.

Dari sila pertama ini, dapat dipahami bahwa negara menjamin Sekalian Penduduk negara Kepada memeluk dan menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Tetapi demikian, dalam menjalankan ajaran agamanya tersebut, pemeluk Keyakinan di Indonesia harus juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sehingga Keyakinan yang dianut harus bersifat moderat dan toleran.

Cek Artikel:  Ekspektasi Penganekaragaman Pangan

Dengan demikian, Enggak dapat dibenarkan apabila Eksis seseorang atau sekelompok orang, misalnya, yang mengatasnamakan ajaran Keyakinan tertentu Kepada melakukan kekerasan terhadap Golongan yang berbeda. Atas dasar itu, Indonesia dengan sila pertamanya ini sesunggunya menolak kecenderungan radikalisame Keyakinan, ekstremisme, apalagi tindakan terorisme.

Di samping itu, ajaran Keyakinan di Indonesia, sebagaimana prinsip-prinsip Sekalian Keyakinan, harus menjunjung tinggi nilai persatuan, kesatuan, dan kerukunan dalam masyarakat. Bahkan, lebih dari itu, ajaran Keyakinan dapat mendorong para pemeluknya Kepada lebih meningkatkan rasa cintanya terhadap Tanah Air. Dengan demikian, Penyelenggaraan ajaran Keyakinan apa pun di Indonesia Enggak boleh mengurangi apalagi membahayakan dan merusak persatuan dan persaudaraan sebagai satu bangsa (ukhuwwah wathaniyyah).

Atas dasar itu, KH Hasyim Asy’ari menyatakan kecintaan terhadap Tanah Air merupakan bagian dari keimanan (hubbul wathan minal iman). Artinya, corak, model, dan praktik keberagamaan yang Eksis di Indonesia harus selaras dengan kecintaan terhadap Tanah Air serta upaya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.

Pengertian sila pertama itu, dan juga keteladanan yang dicontohkan oleh para pendiri bangsa di atas perlu menjadi dasar bagi praktik beragama masyarakat dan bangsa Indonesia.

Penyelenggaraan nilai-nilai religius yang moderat dan toleran dari sila pertama ini diharapkan dapat menjadi dasar dan titik tolak bagi bangsa Indonesia Kepada dapat meningkatkan implementasi dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam sila lainnya. Termasuk, dalam proses berdemokrasi politik yang berpegang pada keluhuran moral dan bertujuan mewujudkan kesejahteraan ekonomi yang merata.

Apabila hal tersebut dapat terimplementasi dengan Bagus, akan dapat membawa Indonesia sebagai negara yang dicita-citakan para pendiri bangsa, Yakni Enggak saja menjadi negara maju yang adil dan Makmur, tetapi juga turut berkontribusi pada perdamaian dan kesejahteraan dunia.

Mungkin Anda Menyukai