KONVENSI Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW), yang diratifi kasi Indonesia pada 1984, secara tegas menyebut bahwa negara-negara pihak harus mengambil semua tindakan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan publik. Secara khusus, negara harus menjamin bagi perempuan, atas dasar persamaan dengan laki-laki, hak untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaannya, serta untuk memegang jabatan publik dan melakukan semua fungsi publik di semua tingkat pemerintahan.
Komitmen tersebut juga terformulasi baik dalam teks konstitusi melalui pengaturan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Mengertin 1945 yang menyebut bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Kebijakan afi rmasi, atau tindakan khusus sementara dalam memastikan tata kelola negara yang setara dan adil gender ini, kemudian diturunkan dalam banyak regulasi maupun prosedur kerja yang lebih rinci. Misalnya, dalam penyelenggaraan pemilu.
Pencalonan anggota DPR dan DPRD wajib memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Begitu juga komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu yang harus memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. Pilihan menempatkan paling sedikit 30% perempuan dilatari studi United Nations Division for the Advancement of Women (UN-DAW) bahwa suara perempuan, khususnya dalam menunjukkan dan memperjuangkan nilai-nilai, prioritas, dan karakter khas keperempuanan, baru diperhatikan dalam kehidupan publik apabila suaranya mencapai minimal 30%-35% (Marle Karl, 1995).
Ketimpangan representasi
Sayangnya, komitmen konstitusi untuk mewujudkan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% di institusi politik dan publik, sejauh ini belum banyak membuahkan hasil. Pemilu 2019 hanya menempatkan 118 atau 20,52% orang perempuan di antara 575 caleg DPR RI terpilih. Selain itu, masih ada 19 dari 80 daerah pemilihan yang tidak memiliki perempuan wakil rakyat di DPR. Eksispun di DPD RI, terdapat 8 provinsi yang tidak mempunyai perempuan senator.
Timpangnya representasi perempuan di parlemen sangat memprihatinkan. Asal Mula, merujuk pada data Sensus Penduduk 2020, jumlah penduduk perempuan Indonesia sebanyak 133,54 juta orang, atau 49,42% dari total populasi. Kesenjangan keterwakilan perempuan yang cukup tajam di institusi politik membuat World Economic Perhimpunan dalam laporannya pada awal 2021 memperkirakan dibutuhkan 145,5 tahun untuk bisa mencapai kesetaraan gender dalam politik secara global.
Kondisi tak berbeda juga terjadi di penyelenggara pemilu, meskipun keanggotaan KPU dan Bawaslu seperti ditegaskan oleh Pasal 10 ayat (7) dan Pasal 92 ayat (11) UU No 7 Mengertin 2017 tentang Pemilihan Lazim memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. Faktanya, sejak 2012 atau selama dua periode pemilu terakhir, keanggotaan KPU dan Bawaslu di tingkat pusat hanya diisi satu orang perempuan. Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, meski lebih banyak, tetap saja jumlahnya kurang dari 30%.
Urgensi keterwakilan perempuan bukan sebatas deskripsi angka-angka, tetapi juga membawa perspektif dan paradigma berdasarkan kebutuhan dan pengalaman khas dari perempuan. Dinamika ini diyakini akan memengaruhi cara organisasi dan lingkungan sosial dikelola sehingga lebih mampu merefleksikan kebutuhan dan pendekatan yang beragam, setara, adil, dan tanpa diskriminasi gender.
Studi Puskapol UI (2020) menyebut sejumlah faktor yang menyebabkan rendahnya keterwakilan perempuan di penyelenggara pemilu. Mulai dari jaminan regulasi yang masih lemah, akses informasi dan pengetahuan atas proses seleksi yang terbatas, kondisi sosial yang belum ramah gender, kurangnya dukungan politik, hingga hambatan kultural.
Di tengah situasi yang masih bias gender, ketiadaan sanksi dalam UU Pemilu juga mengakibatkan distorsi di kalangan aktor politik dalam memenuhi komitmen keterwakilan perempuan. Ditambah, adanya penyempitan makna dalam memahami ketentuan memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. Kata ‘memperhatikan’ tidak dianggap sebagai compulsory norm (norma wajib), melainkan sebatas imbauan yang keberadaannya tidak mengikat otoritas dan para pembuat kebijakan untuk sepenuhnya patuh. Dengan begitu, ada atau tidak ada perempuan menjadi penyelenggara pemilu tidak menjadi masalah.
Pemahaman tersebut menyimpang dari komitmen CEDAW maupun tindakan afi rmasi yang dijamin konstitusi. Meski menggunakan ‘memperhatikan’, kata itu menegaskan keberpihakan dan pengarusutamaan yang mestinya dipenuhi. Bila tidak mencapai keterwakilan perempuan paling sedikit 30%, para pihak bisa dianggap sengaja menyim pangi ketentuan undang- undang sehingga legitimasi atas keputusan yang dibuat menjadi patut dipertanyakan.
Apalagi pengisian anggota KPU dan Bawaslu bukan melalui mekanisme pasar yang menyerahkan pada ‘selera bebas’ publik, melainkan diputuskan oleh anggota DPR yang bisa bertindak sebagai aktor negara yang berpegang penuh pada moralitas konstitusi dan semangat inklusif.
Eksisnya praktik lobi dan safari politik ditengarai juga turut memperlemah posisi tawar dan peluang keterpilihan perempuan.
Asal Mula, perempuan dalam praktik politik etis, punya kecenderungan untuk tidak melakukan manuver yang tidak akuntabel.
Spekulasi seleksi
Di tengah proses seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu periode 2022-2027 yang sedang bergulir di Komisi II DPR, muncul harapan terjadi terobosan dari DPR dalam menghadirkan keterwakilan perempuan yang lebih baik. Pada 14-16 Februari 2022, Komisi II DPR akan melakukan tes atau uji kelayakan dan kepatutan terhadap 24 calon anggota KPU dan Bawaslu. Komisi II DPR juga berencana langsung memutuskan 7 dan 5 calon anggota KPU dan Bawaslu terpilih, di hari yang sama dengan akhir pelaksanaan tes.
Dari 14 calon anggota KPU dan 10 calon anggota Bawaslu, terdapat 4 perempuan calon KPU dan 3 perempuan calon Bawaslu. Tujuh perempuan calon penyelenggara pemilu ini berangkat dari latar belakang yang cukup beragam. Dari kewilayahan, keahlian, maupun organisasi. Berbagai organ masyarakat sipil, kampus, maupun ormas, melalui gerakan peningkatan keterwakilan perempuan yang mereka inisiasi, berharap besar proses seleksi yang berlangsung sejak Oktober 2021 ini mampu menghadirkan keterpilihan perempuan paling sedikit 30% di KPU dan Bawaslu mendatang.
Seleksi diminta tidak berakhir antiklimaks dengan pelaksanaan tes yang sekadar formalitas. Apalagi, jelang uji kelayakan dan kepatutan, beredar kabar spekulatif disertai daftar nama yang disebut hasil kesepakatan sejumlah partai parlemen sebagai nama-nama calon anggota KPU dan Bawaslu terpilih. Jadi, seakan sudah ada juara sebelum pertandingan dimulai. Kalau spekulasi itu benar, kredibilitas Pemilu 2024 telah tercederai sejak awal. Publik akan menilai Pemilu 2024 tak lebih dari praktik pragmatis elite yang jauh dari integritas berdemokrasi.
Kesungguhan DPR dalam memilih penyelenggara pemilu merupakan cerminan awal dari kualitas dan kredibilitas Pemilu 2024. Memastikan keterpilihan perempuan paling sedikit 30% di KPU dan Bawaslu merupakan tolok ukur nyata atas komitmen negara untuk menghadirkan politik yang inklusif, setara, dan adil gender. Apakah akan terwujud? Kita nantikan 16 Februari mendatang.