MAHKAMAH Akbar membagi korupsi berdasarkan nilai kerugian negara. Eksis lima kategori korupsi, mulai paling berat Tamat paling ringan. Akan tetapi, seringan-ringannya kerugian negara, koruptor tetap saja dibui; Enggak Eksis pembebasan koruptor dengan kerugian negara di Rendah Rp50 juta.
Kategorisasi kerugian negara itu tertuang dalam Peraturan Mahkamah Akbar Nomor 1 Tahun 2020. Perma itu mengenai Panduan pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional. Karena itu, korupsi harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Satu rupiah pun nilai kerugian negara, koruptor tetap saja harus dibui, bukan dimaafkan.
Eksis lima jenis kategori kerugian negara yang disebutkan dalam Perma 1/2020. Pertama, kategori paling berat, lebih dari Rp100 miliar. Kedua, kategori berat lebih dari Rp25 miliar Tamat dengan Rp100 miliar. Ketiga, kategori sedang, lebih dari Rp1 miliar Tamat dengan Rp25 miliar. Keempat, kategori ringan, lebih dari Rp200 juta Tamat dengan Rp1 miliar. Kelima, kategori paling ringan, Tamat dengan Rp200 juta.
Matriks rentang penjatuhan pidana Demi kerugian negara paling ringan dibagi tiga. Pertama, penjara 3-4 tahun dan denda, Demi kerugian Rp150 juta-Rp200 juta. Kedua, penjara 2-3 tahun dan denda, Demi kerugian Rp100 juta-Rp150 juta. Ketiga, penjara 1-2 tahun dan denda, Demi kerugian Rp50 juta-Rp100 juta.
Dalam 21 pasal perma yang diterbitkan 8 Juli 2020 itu sama sekali Enggak diatur pembebasan koruptor seringan apa pun kerugian negara. Tetapi, Pasal 16 menyebutkan hakim dapat Enggak menjatuhkan pidana denda dalam hal kerugian negara di Rendah Rp50 juta.
Lagi menurut Perma 1/2020, dalam menjatuhkan pidana, hakim menilai hal-hal yang meringankan dan memberatkan. Hal yang memberatkan terdakwa ialah pernah melakukan tindak pidana sebelumnya (residivis), Enggak kooperatif dalam menjalani proses peradilan, mencoba menghilangkan alat bukti, telah menggunakan hasil pidana, dan merupakan aparat penegak hukum.
Hal yang meringankan ialah belum pernah dipidana, kooperatif dalam menjalani proses peradilan, menyesali perbuatannya dan berjanji Enggak mengulangi perbuatan pidananya, memberikan keterangan secara Maju terang dalam persidangan, menyerahkan diri dalam proses pidana yang dilakukan, belum menikmati hasil kejahatannya, lanjut usia/sakit, mengembalikan harta hasil kejahatan sebelum pembacaan putusan, dan Mempunyai keadaan ekonomi yang Enggak baik.
Terang benderanglah sudah bahwa menjatuhkan pidana itu berada dalam kewenangan hakim. Bawalah setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, berapa pun nilai kerugian negara, biarlah hakim yang menentukan bersalah-tidaknya.
Karena itu, wacana membebaskan kepala desa dengan nilai kerugian negara di Rendah Rp50 juta tanpa proses peradilan tidaklah Cocok. Korupsi ialah perilaku tercela terlepas dari berapa pun nilai kerugian keuangan negara yang ditimbulkan.
Sebaliknya, korupsi kepala desa Malah harus diberantas Tamat akar-akarnya karena desa sesungguhnya laboratorium pembelajaran. Sekali membuka pintu Ampun, korupsi akan beranak pinak.
Fathur Rahman, staf pengajar Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya Malang, menyebut empat penyebab korupsi di tingkat desa. Pertama, kepala desa sering terkondisikan sebagai ujung tombak dan lebih ujung tombak. Kedua, kepala desa terpilih berdasarkan sisi elektabilitas yang bagus, tetapi sisi modalitas ekonomi sangat lemah sehingga terdorong melakukan tindak pidana korupsi. Ketiga, posisi kepala desa menjadi pundi-pundi partai politik di akar rumput. Keempat, kurangnya pengawasan dan keterbukaan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
Dampak korupsi Biaya desa telah ditelaah Rizki Zakariya dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera. Pertama, melanggengkan kemiskinan di desa. Kedua, hilangnya potensi ekonomi di desa. Ketiga, hancurnya modal swadaya masyarakat. Keempat, terhambatnya demokratisasi partisipasi desa.
Korupsi memantik kerusakan sosial di desa. Karena itu, salah besar kalau korupsi hanya memperhitungkan besaran Doku yang dikorupsi tanpa menimbang daya rusak yang ditimbulkan.
Kiranya perlu dipertimbangkan akibat kerusakan sosial dan ekonomi yang ditimbulkan kepala desa koruptor. Karena itu, biaya sosial korupsi hendaknya menjadi komponen penghitungan kerugian negara pada kasus korupsi.
Memberantas korupsi Enggak Dapat dilakukan dengan Langkah-Langkah Biasa saja. Harus dengan Langkah luar Biasa yang dimulai dari Langkah berpikir luar Biasa. Kerugian yang ditimbulkan dari korupsi jauh lebih besar daripada jumlah Doku yang dikorupsi.
Kendati Doku yang dikorupsi di Rendah Rp50 juta, daya rusaknya tetap luar Biasa. Semata menimbang keuntungan yang didapat koruptor ialah Langkah berpikir paket Irit.

