Pajak Transaksi Kripto Dinilai Belum Ideal, Industri Minta PPN Dihapus

CEO Indodax Oscar Darmawan. Foto: dok Indodax.

Jakarta: Pelaku industri kripto menilai sistem pajak final terhadap transaksi aset kripto di exchange berizin dinilai kurang ideal karena tetap dikenakan meski trader mengalami kerugian. Berbeda dengan skema capital gains tax yang hanya dikenakan Demi Terdapat keuntungan.

Selain itu, CEO Indodax Oscar Darmawan menjelaskan, trader yang menggunakan exchange luar negeri menghadapi tantangan dalam pelaporan pajak. Karena hingga Demi ini, belum Terdapat sistem yang Jernih Buat menagih pajak dari transaksi yang dilakukan di platform asing.

“Pajak memengaruhi biaya transaksi di exchange lokal. Sebagian besar biaya transaksi di Indodax digunakan Buat membayar pajak,” ungkap Oscar dikutip dari keterangan tertulis, Jumat, 21 Februari 2025.

Oscar berharap, revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Pendapatan (PPh) Atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto dapat menghapus PPN, agar biaya transaksi semakin kompetitif dan mendorong adopsi kripto di Indonesia.
 

 

Implementasi aturan transaksi di exchange luar negeri

Terkait transaksi di exchange luar negeri atau yang belum Mempunyai izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sebut Oscar, PMK 68 mengatur pajak PPh final yang dikenakan adalah 0,2 persen atau dua kali lipat dari yang berlaku di exchange berizin. Tetapi, Terdapat ketidakpastian dalam implementasi aturan ini.

Cek Artikel:  Tak Berdaya, IHSG Dibuka Melemah dan Bergerak di Area Merah

“Semestinya, exchange luar negeri yang memungut pajak, bukan trader-nya. Tapi karena belum Terdapat mekanisme pemungutan oleh exchange luar, akhirnya trader yang harus melaporkan sendiri. Bahkan, di beberapa Area, pajak yang dikenakan Tetap menggunakan skema PPh progresif,” Jernih Oscar. Hal ini menyebabkan perbedaan interpretasi di berbagai kantor pajak.

Ia pun menyarankan agar para trader yang melakukan transaksi di exchange luar negeri berkonsultasi dengan Account Representative (AR) di kantor pajak tempat mereka terdaftar. “Setiap wajib pajak Mempunyai AR di kantor pajak masing-masing, yang Dapat diajak berdiskusi mengenai bagaimana Metode pembayaran pajak kripto yang sesuai dengan regulasi,” tambahnya.

Oscar menilai skema pajak final ini sudah cukup Bagus, tetapi Terdapat ruang Buat perbaikan, terutama terkait PPN. Menurutnya, karena aset kripto kini berada di Rendah regulasi OJK sebagai aset keuangan, Semestinya kripto Bukan Kembali dikenakan PPN, sebagaimana produk keuangan lainnya.

Apabila PPN dihapuskan, sebut dia, maka biaya transaksi akan menjadi lebih kompetitif, sehingga mendorong lebih banyak investor Buat bertransaksi di dalam negeri daripada menggunakan platform luar negeri dan ujungnya pendapatan negara dari PPh akan mengalami peningkatan lebih besar.

Cek Artikel:  Strategi SIG Jaga Kelangsungan Bisnis di Masa Depan

Dengan semakin berkembangnya industri kripto di Indonesia, kebijakan pajak yang lebih Elastis diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekosistem tanpa membebani investor dan trader.

“Semestinya, sebagai aset keuangan, kripto Bukan Kembali dikenakan PPN,” Jernih Oscar. Tetapi, karena PMK 68 Tetap berlaku, PPN tetap dikenakan hingga regulasi direvisi.


(Ilustrasi pergerakan harga aset kripto. Foto: dok KBI)
 

Pajak kripto di Indonesia

Pajak kripto di Indonesia kembali menjadi perbincangan setelah muncul Percakapan mengenai penerapan pajak terhadap airdrop serta transaksi di luar negeri. Oscar menegaskan, meski regulasi pajak kripto sudah berjalan sejak 2022, Tetap Terdapat tantangan dalam implementasinya, terutama terkait pajak transaksi luar negeri dan adanya PPN.

Adapun kripto pertama kali dikenakan pajak pada 2017 setelah dinyatakan sebagai komoditas yang Absah diperdagangkan berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan. Pada periode 2017-2022, pajak yang dikenakan bersifat self-reporting, di mana pendapatan dari kripto dilaporkan
dalam SPT dan dikenakan PPh progresif.

Sejak 2022, Pemerintah Indonesia menerapkan pajak final terhadap transaksi aset kripto di exchange berizin, Ialah PPh Final sebesar 0,1 persen dan PPN sebesar 0,11 persen. Skema ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tarif pajak kripto paling rendah di dunia.

Cek Artikel:  Tingkatkan Kepercayaan Investor, Bappebti Absahkan Tokocrypto sebagai Pedagang Fisik Aset Kripto

Oscar mengakui, kebijakan ini lebih kompetitif dibandingkan negara-negara lain yang menerapkan pajak progresif berdasarkan keuntungan. Di Amerika Perkumpulan (AS), misalnya, pajak atas keuntungan dari aset kripto Dapat mencapai 40 persen, terutama bagi investor dengan Pendapatan tinggi.

Sementara itu, di Eropa, tarif pajak atas keuntungan dari kripto dapat mencapai 50 persen. Sebaliknya, di Dubai dan beberapa negara Timur Tengah, Bukan Terdapat PPh sehingga transaksi kripto sepenuhnya bebas pajak.

Menurut Oscar, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang menerapkan sistem pajak final Buat kripto, serupa dengan mekanisme perpajakan di pasar saham. Di negara lain, pajak kripto umumnya mengikuti skema PPh progresif, di mana semakin besar keuntungan yang diperoleh, semakin tinggi pajak yang dikenakan dengan besaran tarif mengikuti pendapatan tahunan orang itu.

Dengan adanya pajak final, tarif pajak kripto di Indonesia Bahkan lebih ringan dibandingkan negara-negara lain yang mengenakan pajak berbasis keuntungan.

Mungkin Anda Menyukai