Rekan saya tiba-tiba punya ide nyeleneh. Menurut dia, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, atau lebih sering disebut Badan Bahasa, tampaknya perlu mempertimbangkan Buat mengganti peribahasa ‘pagar makan tanaman’ dengan frasa baru ‘pagar makan lautan’. Saya hanya senyum mendengarnya, Enggak mengiakan, tapi juga tak Dapat membantah ocehannya. Bahkan Hening-Hening saya mulai setuju dengan ide nyeleneh itu.
Mengapa perlu dipertimbangkan Buat mengganti peribahasa Pelan yang sudah sangat familier itu? Dengan berapi-api Rekan saya memberikan penjelasan. Pertama, kata dia, karena Argumen kepopuleran. Menurut dia, istilah ‘pagar makan lautan’ sekarang sedang betul-betul ngehit gara-gara terungkap Terdapat pembangunan pagar bambu di perairan Tangerang, Banten.
Pembangunannya, sih, sudah cukup Pelan. Terdapat yang menyebut sejak Agustus 2024, Terdapat pula yang meyakini pagar laut itu sudah dibangun sejak awal tahun Lewat. Tetapi, memang, ngehit-nya baru akhir-akhir ini. Selama setahun atau Sebelah tahun ini, pihak-pihak yang Sebaiknya Paham tampaknya berusaha berpura-pura Enggak Paham. Seperti yang sudah-sudah, mereka baru heboh setelah isu itu viral. Belakangan bahkan terungkap pula Terdapat pembangunan pagar serupa di pesisir Bekasi, Jawa Barat.
Pertimbangan kepopuleran memang Enggak salah. Praktis Enggak Terdapat isu lain yang lebih mendominasi pemberitaan di media massa ataupun percakapan di media sosial selama Dekat sebulan terakhir ini selain topik tentang pembangunan pagar di lautan.
Saking populernya topik itu, bahkan obrolan di warung kopi kecil di kampung-kampung tak kalah Mantap memperbincangkan pagar laut. Pemberitaan kinerja Kabinet Merah Putih menjelang 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming Raka pun rasanya tak Pandai menandingi kehebohan pagar laut.
Argumen kedua, Lagi menurut si Rekan, ‘pagar makan lautan’ sesungguhnya punya inti Arti yang kurang lebih sama dengan peribahasa ‘pagar makan tanaman’. Seperti yang kita Paham sejak masa kecil, ‘pagar makan tanaman’ mengandung Definisi orang yang merusakkan barang yang diamanatkan kepadanya; atau dalam pengertian yang lebih filosofis, orang yang merusak kepercayaan atau melakukan pengkhianatan.
Nah, ‘pagar makan lautan’ sejatinya juga berpangkal dari hal yang sama, Yakni pengkhianatan. Orang atau pihak, dalam hal ini aparat negara, yang diembani tugas Buat menjaga laut malah berselingkuh dengan pihak lain (baca: pengusaha) Buat mengacak-acak lautan. Mereka yang Sebaiknya memastikan laut dan kekayaan yang terkandung di dalamnya ialah sebesar-besarnya Buat kepentingan rakyat Bahkan membiarkannya dikaveling-kaveling Buat kepentingan sekelompok pihak.
Perselingkuhan ialah cabang terdekat sekaligus terbesar dari pengkhianatan. Celakanya, dalam kasus ini, perselingkuhan antara negara dan pengusaha itu sudah dilakukan sejak Pelan. Jauh sebelum pagar laut mulai dibangun.
Itu terkuak dari fakta bahwa perairan di kawasan pendirian pagar laut itu Rupanya sudah dipetak-petak menjadi ratusan bidang. Yang menakjubkan Kembali, tiap-tiap bidang laut (bukan tanah) itu sudah mengantongi sertifikat hak Punya (SHM) dan sertifikat hak guna bangunan (SHGB). Mana mungkin laut Dapat ‘punya’ SHM atau SHGB kalau Enggak Terdapat persekongkolan alias perselingkuhan atau pemufakatan jahat?
Ya, sejauh itulah kini perjalanan kasus pagar laut di perairan Tangerang. Menguak segala hal, mulai soal lemah sekaligus palsunya pengawasan yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan Tiba ke soal betapa kotornya praktik penyelewengan di sektor agraria, khususnya dalam penerbitan sertifikat kepemilikan lahan.
Kelemahan, kepalsuan, dan kekotoran praktik itu kiranya sudah sangat menggurita karena Rupanya, kini mulai terbongkar satu per satu, bahwa pengkhianatan yang serupa juga terjadi di banyak tempat. Ibarat kotak pandora, pagar bambu yang memakan lautan di Tangerang membuka Sekalian kebobrokan yang selama ini tak hanya dibiarkan, tapi bahkan difasilitasi.
Akan tetapi, dengan kasusnya yang kini berkembang ke mana-mana, publik juga mulai khawatir penegakan hukum Buat kasus yang pertama, yakni pagar laut di Tangerang, akan mulai teralihkan. Kekhawatiran itu kiranya Enggak berlebihan karena Tiba tulisan ini diterbitkan, belum Terdapat tanda-tanda bakal ditangkapnya otak, bandar, bohir, atau dalang pembangunan pagar laut. Berminggu-minggu sejak pagar laut ini terbongkar, sosok itu Lagi saja misterius.
Ketika saya tanyakan ke Rekan saya, “Jadi, mana yang lebih Krusial, menangkap dan memenjarakan segera otak pembangunan pagar laut atau mengganti peribahasa ‘pagar makan tanaman’ menjadi ‘pagar makan lautan’?”
Dia terkekeh Enggak menjawab. Saya lumayan paham, Rekan saya itu barangkali berpikir bahwa pekerjaan paling sulit di negara ini ialah menangkap otak atau bandar. Lihat saja kasus judi online, sudah adakah bandar besar yang tertangkap? Dekat mustahil.
Karena itu, mungkin, dia lebih pilih mendesak-desak Badan Bahasa supaya memopulerkan peribahasa ‘pagar makan lautan’ ketimbang mendesak aparat penegak hukum menangkap bandar pembangunan pagar. Dapat jadi, Rekan ini juga khawatir kalau mendesak aparat hukum malah merasa jadi umpan Buat dimakan?