P2G Tolak Usulan Menkeu Anggaran Pendidikan Dialokasikan dari Pendapatan Negara Bukan dari Belanja Negara

P2G Tolak Usulan Menkeu Anggaran Pendidikan Dialokasikan dari Pendapatan Negara Bukan dari Belanja Negara
Sejumlah siswa kelas empat mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan lesehan di ruang kantin SD Negeri Kudus, Kota Serang, Banten, Rabu (7/8/2024).(ANTARA/Muhammad Bagus Khoirunas)

PERHIMPUNAN Pendidikan dan Guru (P2G) memperhatikan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang meminta agar dilakukan kajian ulang terhadap skema mandatory spending 20% APBN untuk pendidikan.

Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim, menyatakan menolak usulan Sri Mulyani agar belanja wajib 20% pendidikan dari APBN dialokasikan dari pendapatan negara, bukan dari belanja negara.

“Ide Menkeu Sri Mulyani ini justru berpotensi inkonstitusional, terkesan mengakali konstitusi. Ide Menkeu justru akan makin memperkecil anggaran pendidikan. Alasan dalam APBN pendapatan negara lebih kecil ketimbang belanja negara. Karena APBN sering mengalami defisit. Artinya, jika ide Menkeu anggaran pendidikan 20 % diambil dari pendapatan bukan dari belanja, pastilah anggaran pendidikan makin mengecil nominalnya,” ungkapnya, Minggu (8/9).

Baca juga : APBN 2025 Dibahas, DPR Tekankan Transparansi dan Prioritas untuk Kesejahteraan Rakyat

Lebih lanjut, P2G berpendapat bahwa anggaran pendidikan harus mengikuti kewajiban konstitusional berdasarkan pasal 31 ayat 4 UUD 1945, bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari APBN dan APBD.

“Dengan anggaran wajib 20% APBN atau setara Rp665 triliun saja biaya pendidikan masih terasa mahal bagi masyarakat. Nomor 20% sifatnya sudah minimalis. Jadi mengapa mesti diakali lagi untuk dikurangi? Jernih kami menolak usulan tersebut!,” kata Satriwan.

Memang realitanya selalu ada kenaikan anggaran pendidikan di APBN setiap tahun. Pada 2023 anggaran pendidikan Rp612,2 triliun, 2024 naik menjadi Rp665,02 triliun, dan 2025 naik lagi menjadi Rp722,6 triliun.

Baca juga : Mendikbud-Ristek: Pagu Anggaran 2025 Pusat perhatian pada Kesejahteraan Guru

“Persoalannya bukan 20 % tapi bagaimana penggunaan atau realisasi anggaran dan pengelolaannya. Meskipun anggaran pendidikan selalu naik tiap tahun, tapi masalah pendidikan kita masih berkutat pada masalah yang sama,” tegasnya.

Cek Artikel:  Menko PMK Pimpin Shalawat Massal Tutup MTQ Nasional ke-30

Data BPS pada 2022 menunjukkan, sebanyak 60,60% bangunan SD kondisi rusak, lulusan SMK menjadi penyumbang terbesar angka pengangguran, rata-rata lama sekolah (RLS) masih relatif rendah 8,77 tahun alias bersekolah hanya setara SMP, gaji guru honorer masih di bawah kata layak bahkan jauh di bawah upah minimum Indonesia, kemampuan literasi, numerasi, sains siswa kita masih sangat rendah bahkan di bawah rata-rata skor negara OECD.

“Potret pendidikan nasional kita masih rendah kualitasnya, yang sedang membutuhkan keberpihakan anggaran, tata kelola yang benar-benar menjadi prioritas perbaikan, tapi mengapa malah ingin mengurangi anggaran?,” tegas Satriwan.

Baca juga : 20% Anggaran Pendidikan Harusnya Murni Diberikan pada Kemendikbud-Ristek

Dia menekankan bahwa angka alokasi 20 % dari APBN dan APBD yang seolah-olah besar itu, sebenarnya tidak semuanya dikelola oleh kementerian pendidikan. Kemendikbud-Ristek dikatakan hanya mengelola sekitar 15 % atau Rp98,9 triliun dan Kemenag hanya 9 % atau sekitar Rp62,3 triliun. Bahkan alokasi anggaran pendidikan dari APBN paling besar adalah dalam bentuk transfer ke daerah dan dana desa yang mencapai Rp346 triliun atau sekitar 52 %.

“Skema anggaran pendidikan seperti inilah yang sejak awal kami tolak. Masa dana desa diambil dari dana pendidikan yang sifatnya mandatory perintah konstitusi,” tuturnya.

P2G juga mendorong agar pemerintah mendesain ulang (redesain) realisasi 20 % APBN dan APBD untuk pendidikan yang berdampak secara langsung pada kualitas pendidikan, memperluas akses pendidikan, dan memperpendek disparitas. Misal dengan memperbesar anggaran pendidikan bagi Kemendikbudristek dan Kemenag.

Cek Artikel:  Bingungkatan Pelayanan Kesehatan Dilakukan untuk Niscayakan Keselamatan Pasien

Baca juga : Ekonom: Alokasi MBG Rendah Mestinya tak Bebani Defisit APBN

“Menurut kami yang tidak tepat adalah dana desa, seharusnya jangan diambil dari 20 persen karena tak melaksanakan fungsi pendidikan,” lanjut Satriwan.

P2G juga merasa perlu dikaji ulang anggaran pendidikan pada belanja kementerian dan lembaga lain seperti sekolah kedinasan yang angkanya cukup jumbo Rp32,85 triliun. Sementara itu menurut KPK, untuk pembiayaan mahasiswa di seluruh Perguruan Tinggi anggarannya hanya Rp7 triliun.

Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri menegaskan, kebijakan anggaran seperti ini bertentangan dengan amanat Pasal 49 ayat (1) UU Nomor 20 Mengertin 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang menyebutkan bahwa alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN tidak termasuk biaya pendidikan kedinasan.

“Ironis sekali, karena minimnya pembiayaan Perguruan Tinggi Negeri berujung pada mahalnya Doku Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa. Hasilnya, para mahasiswa terjerat pinjol,” ungkap Iman.

P2G mendorong realisasi anggaran pendidikan harus menyentuh kebutuhan riil di masyarakat. Misal, Biaya BOS jika ditelaah lebih dalam, sebenarnya belum mampu menutupi pembiayaan riil peserta didik di sekolah. Biaya BOS nyatanya tidak dapat memenuhi pembiayaan pendidikan siswa yang sifatnya primer.

Teladan, anggaran Biaya BOS untuk siswa SD sebesar Rp900 ribu/siswa/tahun, SMP sebesar Rp1,1 juta, SMA sebesar Rp1,5 juta, dan SMK sebesar Rp 1,6 juta. Kalau dibaca sekilas seolah Biaya BOS ini besar, namun faktanya sepanjang tahun ajaran 2022/2023, siswa putus sekolah di tingkat SD mencapai 40.623 orang, tingkat SMP 13.716 orang, tingkat SMA 10.091 orang, dan SMK 12.404 orang, dan angka ini naik dari tahun sebelumnya.

Cek Artikel:  75 Pelajar Indonesia Raih Beasiswa Uni Eropa

Menurut BPS anak putus sekolah ini karena faktor ekonomi yaitu mahalnya biaya sekolah sehingga orang tua tak mampu membiayainya. Fakta terkini yang sungguh memilukan, seorang ayah di Bogor bunuh diri setelah menanyakan biaya sekolah pada anaknya, diduga karena motif ekonomi.

“Meskipun sudah ada dana BOS, tapi orang tua murid masih mengeluarkan biaya tambahan yang besar untuk membeli seragam sekolah, batik, olahraga, pramuka, beli buku paket, kunjungan lapangan (field trip), bayar ekstrakurikuler, dan biaya lainnya untuk menunjang pembelajaran,” lanjut Iman.

Iman menegaskan, P2G sangat menyesalkan adanya temuan APBN pendidikan sebesar Rp111 triliun yang tidak terserap. Tata kelola anggaran pendidikan 20 % APBN menyisakan masalah, ini menjadi bukti lemahnya tata kelola anggaran, monitoring, evaluasi, supervisi, dan audit anggaran pendidikan.

“Di tengah biaya sekolah mahal, gedung sekolah rusak, dan upah guru honorer yang tak manusiawi, anggaran pendidikan justru tak terserap sampai 111 triliyun. Nomor sebesar ini sesungguhnya mampu mensejahterakan guru honorer dan memperbaiki fasilitas sekolah,” ucap Iman.

Iman menjelaskan bahwa saat ini Indonesia mengalami persoalan menumpuk akibat pembiayaan pendidikan makin mahal, tata kelola yang salah, dan salah alamat karena tidak langsung menyentuh kebutuhan siswa dan kesejahteraan guru.

P2G berharap pemerintah baru Prabowo-Gibran melakukan perbaikan sistematis dan meredesain tata kelola anggaran pendidikan 20%. Sebagai langkah awal, Mendikbud baru hendaknya merancang Cetak Biru Peta Jalan Pendidikan Nasional Menuju Indonesia Emas 2045.

Mungkin Anda Menyukai